Senin, Oktober 14, 2024

Poskolonial dalam Film Avatar

Ranah, Rantau dan Jokowi

Membedah Anxiety

Elisabet Hana Kartika Lana
Elisabet Hana Kartika Lana
Saya mahasiswa, mimpi ingin menjadi penulis dan editor.

Poskolonial adalah sebuah istilah yang hingga saat ini masih memiliki ambiguitas dalam penggunaannya.Terdapat sejumlah pandangan dan pemikiran yang saling berbeda dalam memandang istilah ini. Akan tetapi pada dasarnya, munculnya studi poskolonial merujuk pada fakta historis dari kolonialisme yang dilakukan oleh barat yang berdampak terhadap masyarakat yang dijajah.

Jika dilihat juga pada makna yang hadir dalam sejumlah penggunaan istilah tersebut, penggunaan istilah “pos” setelah kata kolonial menandakan mengenai era setelah kolonial. Akan tetapi pembedaan kedua istilah tersebut dirasa tidak tepat, karena kolonialisme tidak hadir dalam suatu kekosongan budaya yang kemudian diisi oleh kebudayaan penjajah dan ditinggalkan begitu saja setelah suatu negara merdeka.

Pada dasarnya wacana poskolonial hadir untuk menggugat konstruksi kolonial yang telah menindas kelompok-kelompok yang dimarginalkan. Bentuk-bentuk wacana ini tersebar di sekitar kehidupan sehari-hari. Kolonialisme tidak hanya berkaitan dengan penjajahan saja, akan tetapi juga mengenai dampak dan efek yang ditimbulkan dari proses tersebut.

Kolonialisme juga tidak terhenti setelah diperolehnya kemerdekaan suatu negara, proses tersebut berlangsung hingga saat ini. Mengenai bagaimana relasi yang terbangun antara barat dan timur bisa dijumpai dalam kajian-kajian yang dilakukan oleh Said, utamanya dalam orientaslime dan culture and imperialism.

Sebagai sebuah karya sastra, film tidaklah dipahami sebagai hasil kesusastraan yang hanya menyajikan estetika, akan tetapi terdapat wacana atau kepentingan lain di balik produksi sebuah film. Pemikiran Said akan sangat berguna dalam melihat permasalahan tersebut, karena pada realitasnya terdapat suatu wacana yang hampir serupa denganr ealitas mengenai upaya kolonialisme pada masa lalu yang datang untuk menjajah negara timur. Di sisi lain, melalui tokoh Jake Sully, James Cameron menghadirkan sisi lain kemanusiaan di balik upaya kolonialisme bangsa barat terhadap para suku asli di suatu wilayah.

Dalam film Avatar dinyatakan secara tegas melalui tokoh Selfridge yang mewakili sebuah perusahaan di Bumi yang datang ke Pandora hanya untuk mengeksploitasi sumber daya alam di sana, yaitu unobtanium yang bernilai sangat mahal. Terlihat tujuan jelas dari kehadiran manusia di Pandora hanyalah untuk mengusai sumber daya alam di sana. Mereka menciptakan sebuah “avatar” dengan teknologi canggih yang mampu menghubungkan manusia dengan avatarnya.

Melalui avatar tersebut mereka berinteraksi, memberikan pendidikan, memberikan obat-obatan, pengetahuan, dan mempelajari kehidupan suku Omaticaya hanya untuk mendekati mereka agar dimudahkan untuk mengeksploitasi unobtanium yang sangat melimpah. Hubungan seperti ini mengingatkan kita kepada peristiwa upaya kolonialisme awal negara-negara Eropa yang melakukan ekspansi dan penjelajahan besar-besaran ke seluruh dunia pada masa silam. Seperti kedatangan bangsa Belanda di Indonesia.

Strategi serupa mereka lakukan dengan melakukan hubungan perdangangan dengan penduduk lokal. Akan tetapi dengan melihat sumber daya alam Indonesia yang melimpah mereka datang untuk menguasai dan menduduki Indonesia. Mereka datang untuk mengeksploitasi kekayaan alam untuk bangsa mereka.

Potret permasalahan yang digambarkan oleh James Cameron memperlihatkan arogansi bangsa kulit putih terhadap negaranegara yang dianggapnya sebagai primtif, tidak bermartabat, ataupun hanya sekumpulan manusia purba. Kehadiran bangsa kulit putih di Pandora murni hanya untuk megambil kekayaan alam di sana. Akan tetapi melalui wacana yang dibuat oleh James Cameron justru memperlihatkan hal yang berkebalikan.

Melalui avatar yang digunakan oleh manusia Bumi untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat suku asli Pandora telah memperlihatkan bahwa jika selama ini dipahami bahwa justru masyarakat terjajah yang banyak meniru pakaian, bahasa, adat-istiadat penjajah, di sini justru penjajah datang untuk meniru masyarakat lokal agar dapat mempelajari kehidupan masyarakat di sana. Dalam hal ini terlihat bahwa bangsa penjajah justru meniru masyarakat yang akan dijajahnya.

Pembaca dihadirkan dalam pemilihan kepentingan, antara kolonial dan antikolonial. James Cameron menghadirkan wacana anti-kolonial yang bertolak belakang dengan citra barat yang selalu dimenangkan dan cenderung menjadi subjek. Melalui tokoh Jake Sully, Cameron memberikan sudut pandang lain bahwa tidak semua orang kulit putih bersikap seperti para kolonialis yang selalu menekan dan menginferioritaskan bangsa lain, khususnya yang tidak satu ras dengan mereka.

Di samping isu mengenai lingkungan yang tersirat, arogansi Barat dan upaya kolonialisasi atas bangsa lain demi kekayaan sumber daya alam mereka dikritik secara keras melalui wacana anti-kolonial dalam film ini.

Elisabet Hana Kartika Lana
Elisabet Hana Kartika Lana
Saya mahasiswa, mimpi ingin menjadi penulis dan editor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.