Selasa, Oktober 8, 2024

Soekarno, Pasca Kolonialisme dan Abad Asia

Fatah Mustaqim
Fatah Mustaqim
Penulis lepas, alumnus Fisipol UGM

Pertengahan abad 20 tercatat dalam sejarah sebagai era lahirnya negara-bangsa. Ada semangat zaman (zeitgeist) yang mendukung gerakan anti-kolonialisme. Dunia waktu itu sedang menghendaki perubahan tatanan pasca perang dunia kedua. Pada masa itu gelombang anti-kolonialisme memang tengah naik daun. Ada semacam era baru (new era) yang menentang kolonialisme.

Keberpihakan zaman pada gerakan anti-kolonialisme terbukti dalam sejarah ketika Presiden Soekarno bersama beberapa kepala negara Asia-Afrika melalui forum Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung mendesak Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) agar mengakui kemerdekaan Aljazair, Libya, Sudan, Tunisia hingga Palestina.

Tidak lama setelah itu, negara-negara tersebut memperoleh pengakuan kemerdekaan kecuali Palestina. Maka KAA 1955 di Bandung tercatat dalam sejarah sebagai konferensi legendaris yang berhasil menampung dan menyalurkan aspirasi negara-negara asia-afrika yang pada waktu itu tengah berjuang keluar dari belenggu penjajahan.

Kini perang kemerdekaan (minus palestina) telah berakhir namun bukan berarti persoalan telah berakhir, justru muncul persoalan baru terkait tingginya ketimpangan ekonomi dan konflik teritorial di antara negara-negara asia-afrika. Meskipun secara fisik penjajah telah terusir dari teritorial asia-afrika, namun masalah multidimensi yang melanda negara asia-afrika masih tetap ada. Barangkali inilah yang pernah diperingatkan Presiden Soekarno kala itu mengenai neo-kolonialisme dan neo-imperialisme (nekolim) pasca berakhirnya kolonialisme fisik.

Dalam pidatonya di depan Sidang Umum PBB di New York, 30 September 1960, Bung Karno dengan lantang mengecam dominasi segelintir negara-negara kaya di belahan bumi utara atas ratusan negara lain di dunia.

Mengapa negara-negara asia-afrika yang secara de-facto mempunyai kekayaan alam, jumlah penduduk yang besar serta kejayaan peradaban masa silam justru tidak mempunyai peran penting dalam setiap pengambilan keputusan di dunia.

Maka salah satu tujuan gerakan non-Blok, yang juga lahir melalui KAA di Bandung, adalah menentang dominasi segelintir negara adikuasa seraya menempatkan kedudukan dan peran negara-negara asia afrika dengan semestinya. Bukankah setiap keputusan penting di dunia akan berdampak langsung pada penduduk asia-afrika dimana mayoritas penduduk dunia bermukim di sana.

Gerakan Non-Blok menghendaki dunia yang tidak terpolarisasi dalam dua kutub yang bertentangan dan mengancam perdamaian dunia. Soekarno dan gerakan non-Blok-nya menghendaki tatanan dunia yang multipolar daripada unipolar dimana hubungan antar negara terjalin dalam semangat kesetaraan bukan atas dasar penindasan dan pemerasan.

Agaknya harapan Bung Karno akan kemajuan peran negara-negara asia afrika sudah mulai tampak dewasa ini. Meskipun bagaimana atau seperti apa peran ideal menurut cita cita Bung Karno belum tentu sejalan dengan era saat ini mengingat semakin tumbuh pesatnya kapitalisme di seluruh dunia, termasuk di negara-negara asia-afrika.

Namun tak bisa dipungkiri bahwa abad 21 hari ini adalah abad Asia. Salah satu indikatornya ialah munculnya raksasa-raksasa ekonomi baru di kawasan asia seperti China dan India. Bahkan volume ekonomi atau PDB China saat ini telah melampaui Amerika Serikat.

Pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh bonus demografi dan kekayaan alam yang melimpah telah memunculkan bintang-bintang baru bahkan ‘kuda hitam’ dalam peta politik dan ekonomi dunia. Kini perlombaan kemajuan negara-negara di dunia agaknya akan segera dimenangkan oleh negara-negara di kawasan asia.

Pendulum sejarah sepertinya tengah bergeser kepada negara-negara di asia di tengah semakin lambannya pertumbuhan ekonomi dan struktur demografi yang kian menua di negara-negara Eropa. Kini dunia mau tidak mau akan menambatkan harapan masa depannya pada asia. Meski demikian, persoalan kesenjangan ekonomi, konflik teritorial, krisis iklim hingga demografi penduduk masih menjadi ancaman yang nyata bagi negara-negara di asia.

Fatah Mustaqim
Fatah Mustaqim
Penulis lepas, alumnus Fisipol UGM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.