Fraser Institute Annual Survey of Mining Companies merupakan survei yang mengukur faktor geologi dan kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi iklim investasi pertambangan. Survei yang diselenggarakan oleh institusi asal Kanada ini telah mengeluarkan laporan survei terbaru di tahun 2020. Survei ini diketahui mulai diselenggarakan dan dipublikasikan dari tahun 1997.
Secara garis besar, survey ini menghasilkan penilaian berupa Best Practices Mineral Potential Index dan Policy Perception Index. Best Practices Mineral Potential Index menimbang persepsi pelaku industri sebagai responden dari segi daya tarik geologi. Meskipun begitu, hal ini juga dipengaruhi oleh pengetahuan para responden terkait geologi maupun kondisi pertambangan, yang juga berkaitan dengan pengalaman individu responden terhadap masalah di lokasi tambang sehingga indeks ini tidak dapat dikaitkan langsung dengan cadangan atau potensi.
Sedangkan Policy Perception Index, atau yang juga disingkat PPI, mengukur dampak dari kebijakan pemerintah terhadap iklim investasi tambang. PPI dihitung dari penilaian berbagai aspek mulai dari perpajakan hingga infrastruktur. PPI ini dihasilkan atas dasar bahwa keputusan investasi pertambangan tidak semata-mata bergantung pada cadangan dan kualitas deposit tambang, tetapi juga dari otoritas yang bersangkutan. Bahkan faktor kebijakan mempengaruhi sekitar 40% dari keputusan investasi tambang.
Hal ini menunjukkan bahwa dampak kebijakan pemerintah terbilang signifikan dalam mendukung atau menghambat investasi. Mengutip dari booklet sebagai publikasi survei, hasil survei ini dapat digunakan untuk evaluasi pemerintah dalam meningkatkan kebijakan publik dalam pertambangan, sehingga mampu menciptakan iklim investasi yang lebih mendukung. Selain pemerintah, para pelaku industri tambang hingga akademisi juga dapat menggunakan publikasi ini untuk melihat potensi hingga risiko investasi tambang di wilayah-wilayah survei.
Survey terbaru dilaksanakan dari 6 Agustus hingga 6 November 2020. Dari 2200 individu yang dikirimkan kuesioner survey, 276 memberikan respon dan mewakili penilaian terhadap 77 wilayah yurisdiksi. Individu yang berpartisipasi sebagai responden merupakan jajaran eksekutif hingga manajer dari industri pertambangan. Diketahui bahwa 57 persen responden merupakan pimpinan perusahaan, yang kemudian diikuti oleh manajer dan konsultan sebagai responden terbesar. Dari segi jenis perusahaan, lebih dari setengah total responden berasal dari perusahaan eksplorasi. Kurang dari 25% responden mewakili perusahaan produksi, yang kemudian diikuti oleh perusahaan konsultan dan lainnya.
77 wilayah tersebut tidak hanya sebatas negara, tetapi juga mencakup provinsi atau negara bagian. Institut Fraser juga tidak memasukkan semua wilayah yurisdiksi yang berpartisipasi. Diketahui bahwa badan penyelenggara survey ini menetapkan minimal lima responden yang berbeda dari tiap wilayah, sehingga negara atau negara bagian dengan responden di bawah lima tidak masuk ke dalam publikasi. Dari 77 wilayah yurisdiksi tersebut, Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia yang masuk dalam publikasi penilaian survey tersebut. Meskipun begitu, Indonesia hanya menyumbang sekitar 5 hingga 9 responden, relatif sedikit daripada negara atau wilayah lain.
Inti dari survei ini bertujuan untuk menarik pendapat subyektif jajaran manajer hingga direktur mengenai iklim investasi yang diciptakan dari pemerintah tempat penambangan mereka beroperasi. Hasil survei nantinya juga dapat digunakan pelaku industri untuk melihat wilayah yang lebih prospektif.
Responden diberikan pertanyaan terkait 15 aspek kebijakan, yang terdiri dari ketidakpastian regulasi & administrasi, regulasi lingkungan, kesinambungan regulasi antar tingkat pemerintah di wilayah yang sama, sistem hukum, perpajakan, kekhawatiran terhadap konflik lahan, peraturan lahan konservasi seperti hutan lindung, infrastruktur, kondisi sosioekonomi masyarakat, perdagangan, stabilitas politik, regulasi sumber daya manusia, kualitas database geologi, faktor keamanan, serta ketersediaan buruh maupun tenaga ahli.
Selain Best Practice Mineral Potential Index dan PPI, kedua indeks tersebut juga digabungkan bersama dengan standar kuantifikasi yang telah ditetapkan untuk membentuk Investment Attractiveness Index, atau Indeks Daya Tarik Investasi.
Negara bagian Nevada, Amerika Serikat (AS) menempati peringkat pertama pada indeks daya tarik investasi. Arizona, AS dan Saskatchewan, Kanada menyusul dalam posisi kedua dan ketiga. Posisi sepuluh besar lain diisi oleh negara-negara bagian di Amerika Serikat, Kanada, Australia, serta Finlandia sebagai satu wilayah yurisdiksi.
Berdasarkan PPI, negara bagian Idaho di AS menduduki posisi puncak, yang diikuti oleh Wyoming, AS dan Finlandia. Posisi sepuluh teratas lainnya pun ditempati oleh negara-negara bagian di Amerika Utara, dengan pengecualian Irlandia. Sementara jika melihat Best Practices Mineral Potential Index, posisi tiga besar dipegang oleh Arizona, Nevada, dan Turki. Sedangkan posisi atas lain di sepuluh besar rata-rata ditempati oleh Alaska dan Colorado di AS; Saskatchewan, Quebec, dan British Columbia di Kanada; serta negara bagian Australia Barat dan Australia Selatan.
Bagaimana dengan posisi Indonesia?
Secara umum, Indonesia menempati posisi sepuluh terbawah di semua indeks. Dalam Indeks Daya Tarik Investasi, Indonesia menempati peringkat empat dari bawah, setelah Venezuela, Provinsi Chubut di Argentina, dan Tanzania. Peringkat Indonesia ini merosot tajam dari yang sebelumnya menempati peringkat 27 teratas di tahun 2019. Skor Indonesia di indeks ini pun juga menurun tajam, dari 73.09 pada survey 2019 menjadi 44.32 pada survey terbaru di 2020.
Dari segi PPI, Indonesia masih masuk sepuluh terendah. Meskipun begitu, skor Indonesia meningkat dari yang sebelumnya 47.74 menjadi 54.54. Sementara dalam indeks Best Practice Mineral Potential, posisi Indonesia merosot sangat tajam ke peringkat ke-69 dari yang sebelumnya menduduki tiga besar. Skor Indonesia pun merosot tajam sebesar kurang dari 55 dari yang sebelumnya mendapatkan skor 90 di survey tahun 2019.
Secara umum, 90% responden Indonesia menyatakan bahwa sistem hukum lah yang menjadi penghambat dalam investasi pertambangan. Meskipun begitu, para responden dari Indonesia menyatakan bahwa mereka merasakan adanya peningkatan dari beberapa aspek yang turut membantu iklim investasi Indonesia lebih baik. Aspek tersebut berupa pembagian lahan, regulasi lahan konservasi, dan konsistensi birokrasi dari pemerintah pusat dan daerah.