Kurang dari satu bulan lagi memasuki masa pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berkontestasi di pemilihan presiden 2019 mendatang. Seluruh partai politik semakin gencar melakukan lobi-lobi politik yang tentunya bermuara pada siapa-siapa saja jagoan yang sesuai dengan kesepakatan partai dan kehendak rakyat.
Disemarakkan pula oleh beberapa aktor politik nasional dan lokal yang melakukan manuver politik turut menghangatkan isu-isu seantero negeri. Baik mitra koalisi pendukung incumbent maupun pihak oposisi masih sama-sama belum mantap dalam menentukan langkahnya menuju gegap gempita puncak pesta demokrasi.
Di jajaran partai petahana masih terus menyeleksi nama-nama pendamping Jokowi, sedangkan deretan oposisi sibuk mencari formula untuk menemukan pengganti.
Elit partai politik oposisi sampai sejauh ini masih terlihat belum kompak dan solid. Hal ini tercermin dari masih banyaknya melemparkan wacana-wacana mengenai pembentukkan poros ketiga di Pilpres nanti.
Hal tersebut tentunya beralasan karena terlihat dengan jelas bahwa masing-masing partai politik ngotot untuk mengusung tokoh terbaiknya menjadi penguasa istana. Lihat saja bagaimana Partai Gerindra yang dengan lantang mendeklarasikan Prabowo Subianto untuk maju di posisi yang sama seperti 2014 lalu.
Kemudian terdapat Partai Demokrat yang ingin membangun trah politik Yudhoyono dengan slogan next leader dalam diri Agus Harimurti Yudhoyono. Ada juga Amien Rais, tokoh pendiri Partai Amanat Nasional yang terinspirasi kemenangan tokoh senior Mahathir Mohamad di Malaysia baru-baru ini.
Masih ada lagi Partai Keadilan Sejahtera yang telah lama menyodorkan 9 nama kader terbaik mereka sebagai bakal calon Wakil Presiden, meskipun lambat laun menghembuskan wacana baru dengan menduetkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.
Belum lagi Partai Kebangkitan Bangsa yang sedang harap-harap cemas karena merosotnya elektabilitas Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon pendamping Joko Widodo di barisan petahana. Dan yang tidak dapat dipandang sebelah mata yakni manuver politik Jusuf Kalla yang berpotensi menjadi sosok sentral percaturan ini.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, situasi politik yang masih dinamis ini memungkinkan segala kemungkinan tidak terkecuali terbentuknya poros ketiga. Namun kemudian upaya mewujudkan poros ketiga ini tidaklah sesederhana membongkar pasang posisi capres-cawapres, melainkan hitung-hitungan presidential threshold yang sampai saat ini masih dalam proses uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang No. 7 tahun 2017 mengharuskan tercukupinya 20% perolehan kursi parlemen berdasarkan Pemilu 2014 membuat persoalan baru dalam peta politik nasional. Serangkaian aturan tersebut pada akhirnya dapat membatasi ruang gerak partai oposisi dalam membangun koalisi dalam hal ini poros ketiga. Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, mengungkapkan hal senada perihal hambatan ini. “Apakah mungkin poros ketiga? Mungkin saja tapi perlu keajaiban. Itu pendapat saya,” ungkapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/7/2018).
Sedangkan apabila melihat dari sisi yang berbeda, wacana pembentukan poros ketiga justu dianggap dapat menghambat dan memecah suara oposisi. Mada Sukmajati, dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, melihat peluang kemenangan poros ketiga amatlah kecil. Menurutnya pula, poros ketiga hanya akan dimanfaatkan oleh para tokoh muda sebagai batu loncatan menuju Pilpres 2024.
Terlalu jauh memang, namun setidaknya hal ini menguatkan asumsi bahwa terbentuknya poros ketiga malah akan membuat pergantian kekuasaan semakin berat terwujud. Bila menilik pada hasil survei elektabilitas terbaru yang dirilis oleh Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) menempatkan Joko Widodo di urutan teratas dengan 47,8 persen diikuti oleh Prabowo Subianto dengan 24,4 persen dan Gatot Nurmantyo sebesar 2,6 persen. Selisih yang tergolong jauh antara nama kedua dan ketiga menyiratkan bahwa belum ada tokoh yang cukup mampu menyaingi dua nama utama yang juga bertarung di 2014 silam.
Bagaimanapun juga, konstelasi politik masih dalam situasi yang amat cair. Seluruh pimpinan partai politik tak ayal perlu mematangkan kembali kalkulasi politis mengenai arah kebijakan dan keberpihakan partai politik yang tentunya sesuai dengan aspirasi rakyat.
Bagi koalisi penantang petahana, bukan tak mungkin alotnya negosiasi dan sulitnya menurunkan tuntutan malah membuat pihak petahana dapat menang mudah di Pilpres 2019 mendatang. Dan petahana tetap perlu berhati-hati mengingat tren kekalahan petahana dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah bukanlah sesuatu yang tabu lagi akhir-akhir ini.
REFERENSI
JPNN. 2018. “Hasil Survei Terbaru Elektabilitas Kandidat Capres, Wouw!” dalam https://www.jpnn.com/news/hasil-survei-terbaru-elektabilitas-kandidat-capres-wouw diakses pada 11 Juli 2018 pukul 21.25
Umam, Chaerul. 2018. “Zulkifli Hasan: Perlu Keajaiban Bentuk Poros Ketiga” dalam http://www.tribunnews.com/nasional/2018/07/10/zulkifli-hasan-perlu-keajaiban-bentuk-poros-ketiga diakses pada 11 Juli 2018 pukul 20.55
Utama, Abraham. 2018. “Poros ketiga di luar Jokowi-Prabowo mencuat, namun dianggap tak berpeluang” dalam https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44781348 diakses pada 11 Juli 2018 pukul 21.17
Rahadian, Lalu. 2018. “Sulitnya Peluang Poros Ketiga Pilpres 2019 Terwujud” dalam https://tirto.id/sulitnya-peluang-poros-ketiga-pilpres-2019-terwujud-cJ5Y diakses pada 11 Juli 2018 pukul 21.01