Jumat, April 26, 2024

Populisme Islam dalam Romansa Aksi Bela Islam 212

Anggi Supriyadi
Anggi Supriyadi
Penulis, Penikmat Alam

Kebangkitan agama di Indonesia sedang menjadi tren utama. Kembalinya semangat keagamaan yang tinggi ditandai dengan maraknya pemeluk agama secara berbondong-bondong melaksanakan perintah ajaran agama (Islam) secara estetis.

Seperti makin banyaknya orang yang pergi haji, semakin rajinnya melaksanakan shalat subuh berjamaah, maraknya fasilitas publik berlabel islami, hingga rejuvenasi Aksi Damai 212 di Monas (Monumen Nasional) Jakarta (2/12/18) oleh umat Muslim kelas menengah.

Aksentuasi agama oleh umat Muslim kelas menengah mengalami perubahan model yang semakin menarik untuk dicermati. Kembalinya agama di tengah masyarakat Indonesia yang terglobalisasi oleh budaya hedonisme dan rasionalisme justru semakin menambah kesan saleh umat beragama di tengah gelimang teknologi industri. Kembalinya agama ke tren baru manusia modern telah menepis anggapan umum atau setidaknya telah menangkal tesis tentang kematian Tuhannya Nietzsche.

Di tengah kehidupan masyarakat modern yang serba chaos agama hadir memberi harapan bagi umat manusia. Manusia modern seperti menemukan kembali (re-discovery) agama mereka sebagai sumber semangat baru dan orientasi hidup bagi manusia di tengah arus modern yang tanpa nilai saling mengeksploitasi antar sesama dan sumber daya alam beserta seluruh isinya.

Maka, gerakan kembali pada skripturalitas Alquran banyak dilakukan oleh umat Muslim (fundamentalis) dengan harapan mampu merubah keadaan umat manusia modern yang terbebas dari segala nilai kembali menemukan bentuk kesalehan sosialnya.

Menurut hasil survei PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) sebagaimana dikutip oleh Jamhari (2003) umat Muslim Indonesia menyatakan bahwa agama (70%) selalu menjadi pertimbangan setiap kali mengambil keputusan dalam masalah sosial dan politik. Dengan demikian, secara antropologis dan sosiologis, suasana kehidupan sosial yang kacau hingga terjadinya krisis moral yang tajam agama (masih) menjadi sandaran bagi masa depan umat manusia.

Pun halnya dengan yang terjadi dalam Aksi Damai 212 di Monas Jakarta kemarin. Semangat yang terhimpun dalam aliansi antar kelas dan golongan menemukan euforianya pasca Aksi Bela Islam 411 dan 212 dalam kasus penjegalan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Organisasi massa Islam menemukan momentumnya dengan memainkan isu populisme Islam untuk menjatuhkan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. Dalam Aksi (damai) di Monas secara kolosal dilakukan sebagai romantisisme terhadap Aksi Bela Islam 212 tahun lalu.

Aksi 212, Jalan Menuju Kuasa?

Re-aksi 212 menjelang Pilpres 2019 merupakan romantisisme sejarah. Isu populisme Islam menemukan momentumnya dalam fenomena Ahok dan Pilkada tahun 2017, meski Ahok telah dipenjarakan namun Aksi Bela Islam tetap berlangsung, tujuannya adalah menumbangkan “rezim” Jokowi yang selama ini dinilai tidak pro terhadap umat Muslim.

Kita tahu bersama bahwa benih Aksi Bela Islam 411 dan 212 lahir pasca Reformasi. Hasrat yang sudah membuncah dalam dada kini telah menemukan kembali posisi dan peran mereka di tengah masyarakat Indonesia yang lebih demokratis. Namun, patut disayangkan dalam kasus Pilkada Jakarta 2017 lalu organisasi Islam justru menjadi tunggangan politik demi menggapai mahligai kekuasaan. Pesan mereka yang begitu transenden selama ini berupa membela Islam dan menegakkan hukum yang islami tergantikan oleh kepentingan pribadi yang sarat politis.

Berkaca dari pengalaman di Mesir. Peran Ikhwanul Muslimin secara perlahan berhasil menumbangkan Hosni Mubarak dari tampuk kekuasaan dengan strategi menyuarakan populisme Islam. Indonesia memiliki pola yang serupa dalam fenomena Ahok dengan apa yang pernah terjadi di Mesir tahun 2011 silam. Romantisisme aksi 212 tampaknya (masih) akan terjadi menjelang Pilpres 2019 mendatang dengan pola serupa atau bahkan berbeda sama sekali.

Dalam teori gerakan sosial, kesempatan politik, mobilisasi masa, dan framing menjadi  katalisator utama dalam tercapainya suatu tujuan. Dari ketiga katalisator di atas yang paling utama dan strategis dalam tercapainya suatu tujuan selain hasrat untuk berkuasa ialah pembingkaian aksi (framing).

Dalam gerakan sosial, para aktor harus mampu membingkai aksi yang mereka rencanakan dalam bahasa dan slogan-slogan yang mudah dipahami agar dapat menyentuh sentimen mereka. Inilah seni dalam komunikasi untuk menyampaikan sebuah pesan kepada audiens supaya terpompa partisipasi dan loyalitas mereka dengan didukung oleh ideologi sebagai efektivitas sebuah framing.

Menyoroti kasus Ahok dalam Pilkada 2017 aktivisme Islam berhasil membingkai Islam sebagai ideologi kalangan menengah Muslim yang sedang tumbuh. Melalui kecermatannya dalam membingkai gerakan dengan pesan menjalankan kewajiban moral agar turut serta memperbaiki kualitas hidup manusia, kini di era kepemimpinan “rezim” Jokowi aksi serupa mulai merundung gedung istana.

Bagi mereka, pemerintahan Jokowi adalah rezim, oleh sebab itu ia harus diganti. Setidaknya ada tiga isu utama yang digunakan sebagai bahan bakar (frame) untuk menggagalkan Jokowi dalam Pilpres 2019 mendatang. Pertama, pemerintahan Jokowi dinilai tidak pro terhadap umat Muslim. Kedua, karena Jokowi menerapkan Perppu Ormas yang dinilai merugikan umat Muslim, dan ketiga pemerintah Jokowi memberlakukan kebijakan 20% presidential threshold.

Aksi Bela Islam yang dimotori oleh Front Pembela Islam (FPI) tereduksi oleh kepentingan semu yang sarat dengan muatan politis. Dalam jurnal Studia Islamika, vol. 24, no. 2, 2017 Endi Aulia Garadian mencatat, gerakan populisme Islam yang secara pure telah bertransformasi ke dalam model baru oleh sekelompok populis yang tergabung dalam aliansi antar kelas guna mendapat kekuasaan. Sehingga, gerakan populisme Islam telah menjadi frame belaka yang terletak di bawah kepentingan kehendak untuk berkuasa.

Pada akhirnya, spirit Aksi Bela Islam 212 secara berkala telah menjadi dinamisator wajah Islam Indonesia. Aksi Bela Islam menurut hemat saya lebih dipandang sebagai selebrasi keberagamaan umat Muslim Indonesia dalam ruang demokrasi. Demokrasi yang terbuka memberi ruang tanpa batasan waktu untuk terus berdialektika dengan berbagai sentimen sebagai parameter bagi wajah baru dari Islam Indonesia yang dinamis.

Anggi Supriyadi
Anggi Supriyadi
Penulis, Penikmat Alam
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.