Perundungan muslim oleh nasionalis Hindu di India, perlakuan rasis dan diskriminatif terhadap imigran di Eropa, dan naiknya para politisi sayap kanan di kursi pemerintahan merupakan tiga fenomena yang menandakan bangkitnya konservatisme di seluruh dunia. Fenomena ini menyebar dari satu negara ke negara lain dan menjadi semakin masif secara global. Di tengah semakin majunya peradaban, bangkitnya konservatisme menjadi ironi kondisi dunia yang semakin mengglobal.
Dalam bukunya yang berjudul Political Ideologies: An Introduction, Andrew Heywood menyebutkan bahwa konservatisme secara etimologi berasal dari kata ‘to conserve’ yang berarti keinginan untuk mempertahankan. Sebagai suatu ideologi politik, konservatisme adalah suatu pandangan yang menginginkan konformitas (keajegan) dan resistensi terhadap perubahan serta hal-hal asing. Konservatisme menginginkan tradisi masyarakat untuk dipertahankan dan cenderung menolak masuknya pengaruh asing ke dalam tatanan sosial masyarakat.
Konservatisme berupaya untuk mempertahankan nilai-nilai yang sudah mengakar kuat di dalam masyarakat, termasuk di dalamnya nilai agama dan budaya. Oleh karena itu, hampir di semua negara, konservatisme sangat identik dengan menguatnya peran institusi keagamaan di ranah publik.
Saat ini, dunia sedang menyaksikan fenomena bangkitnya konservatisme di hampir seluruh region. Fenomena ini pun semakin nyata ketika konservatisme tidak hanya bangkit sebagai ideologi politik di kalangan elit partai, tetapi juga di masyarakat luas. Banyak ahli politik menyebut fenomena ini sebagai popular conservatism. Imbasnya, para politisi sayap kanan semakin mendapatkan dukungan dan menduduki kursi pemerintahan.
Salah satu peristiwa yang menandakan kebangkitan konservatisme adalah Brexit. Brexit menjadi salah satu kemenangan bagi Partai Konservatif yang sejak lama mendukung Inggris untuk keluar dari Uni Eropa. Peristiwa lainnya adalah kemenangan Donald Trump pada pemilu AS 2016. Meskipun pemilu 2020 dimenangkan Joe Biden yang berasal dari kalangan liberal, peristiwa kerusuhan di Gedung Capitol oleh pendukung Trump yang tidak puas dengan hasil pemilu pada awal tahun lalu menjadi bukti bahwa konservatisme semakin menguat di negeri Paman Sam.
Di Eropa, kondisinya pun tidak jauh berbeda. Di Perancis misalnya, kelompok sayap kanan semakin menguat bersama Marine Le Pen sebagai representasinya. Di Hungaria, Viktor Orban menjadi figur sentral di balik kebijakan-kebijakan konservatif di negara itu. Negara-negara Eropa lain seperti Polandia, Ceko, Italia, dan Austria pun mengalami hal serupa. Bahkan, politisi sayap kanan seperti Geert Wilders semakin vokal dan mendapat tempat di Belanda, negara yang identik dengan gerakan progresif.
Tidak hanya di Eropa, fenomena konservatisme juga menguat di belahan dunia lain. Di India, Narendra Modi menjadi tokoh yang mendorong penguatan nilai-nilai nasionalisme Hindu di negaranya. Belakangan, gerakan nasionalis Hindu menjadi kontroversial karena tindakan dan kebijakan diskriminatif yang diberlakukan terhadap kaum muslim. Selain itu, Turki yang dahulu direformasi menjadi negara sekuler oleh Kemal Ataturk pun kini semakin menunjukkan sisi konservatifnya di bawah pemerintahan Erdogan.
Hal-hal tersebut menimbulkan suatu pertanyaan: mengapa gerakan konservatif mengalami kebangkitan secara global? Salah satu penyebabnya adalah globalisasi. Pesatnya arus globalisasi sering kali dianggap sebagai ancaman bagi tradisi dan tatanan sosial masyarakat karena globalisasi membuat batas-batas antarnegara menjadi semakin kabur dan mobilisasi menjadi semakin leluasa. Kelompok-kelompok konservatif tentu mengkhawatirkan hal tersebut akan mengikis nilai-nilai dan tatanan sosial masyarakat yang telah ajeg. Maka tidak heran, kelompok konservatif cenderung menolak bentuk integrasi regional seperti Uni Eropa.
Selain itu, masuknya para imigran ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat juga menyebabkan ketakutan tersendiri karena dianggap akan merebut pekerjaan-pekerjaan warga asli. Terlebih, para imigran yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika kerap kali hanya dianggap sebagai beban ekonomi karena pemerintah harus menyediakan kebutuhan bagi mereka. Citra imigran muslim yang identik dengan kekerasan dan ekstremisme juga semakin mendasari alasan penolakan terhadap para imigran. Oleh karena itu, banyak negara Eropa yang berada di bawah pemerintahan konservatif menerapkan kebijakan anti-imigran di negaranya seperti halnya yang diterapkan Viktor Orban di Hungaria.
Menguatnya konservatisme ini membawa implikasi yang besar bagi masyarakat dunia. Para imigran misalnya, mereka kerap kali mendapatkan penolakan untuk masuk ke suatu negara karena kebijakan negara tersebut. Mereka juga kerap kali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari orang-orang sekitar yang dapat berbuntut panjang pada kekerasan dan pelanggaran hukum. Alhasil, banyak dari mereka yang nasibnya masih abu-abu di tengah pelariannya dari tanah air yang sedang berkonflik.
Tidak hanya para imigran, kelompok-kelompok marjinal dan minoritas lain pun ikut merasakan imbas dari fenomena ini. Di Polandia misalnya, gerakan-gerakan anti LGBT semakin menguat seiring dengan menguatnya kelompok-kelompok konservatif di negara tersebut. Di India, baru-baru ini kelompok nasionalis Hindu melakukan tindakan-tindakan diskriminatif terhadap muslim yang bahkan mengarah pada rencana genosida. Homofobia, xenofobia, dan kebencian terhadap kelompok-kelompok minoritas semakin mendapatkan bahan bakar hingga tidak jarang berimplikasi pada tercerabutnya hak-hak kelompok marjinal dan minoritas di berbagai negara.
Implikasi lainnya adalah terancamnya multikulturalisme dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kebijakan-kebijakan konservatif yang diterapkan oleh pemerintah di berbagai negara kerap menjadi tantangan bagi multikulturalisme. Di sisi lain, kebijakan progresif yang mengusahakan hak-hak kaum minoritas, kesetaraan kedudukan, dan kebebasan semakin melemah.
Di tengah arus globalisasi yang semakin masif, kebangkitan kelompok konservatif di seluruh dunia menjadi ironi tersendiri. Apakah kebangkitan konservatisme akan menjadi ancaman bagi kelompok marjinal, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan multikulturalisme?