Media sosial saat ini tidak hanya digunakan sebagai tempat curhat atau sekedar ajang narsisme belaka, melainkan sudah merambat pada fungsi yang lebih luas. Apalagi dengan adanya reformasi, kebebasan bersuara atau menyampaikan pendapat terbuka untuk siapa saja. Tak terkecuali bagi mereka yang bergelut di dunia politik praktis. Misalnya seperti politisi-politisi di Indonesia yang kita ketahui sudah lama akrab dengan media sosial seperti Facebook, Twitter ataupun Instagram.
Media sosial digunakan politisi saat ini untuk membentuk citra, dalam menyampaikan gagasan, program, visi-misi dan lain sebagainya. Namun kenyataannya tidak sedikit politisi yang menggunakan media sosial dengan tidak bijak. Ada banyak pernyataan politisi di media sosial yang cenderung provokatif sehingga melahirkan kegaduhan. Meski tidak bisa dipukul rata, tetapi sikap oknum politisi tersebut bisa semakin memperburuk citra dunia politik praktis saat ini.
Salah satu yang paling banyak dilakukan politisi Indonesia di media sosial adalah dengan menulis pernyataan, status, atau cuitan yang menjatuhkan (down grade) lawan politiknya dengan pernyataan yang tidak etis. Misalnya dengan menyebarkan berita palsu atau hoaks, menyebarkan isu yang kebenarannya tidak bisa dipertanggung jawabkan, sampai membuat dagelan seperti mempelesetkan lagu anak-anak dengan nyinyiran tertentu. Sikap tersebut tentu bisa memperkeruh situasi politik yang awalnya sejuk dan tenang menjadi memanas.
Politisi saat ini sering membuat statement dalam bentuk ejekan kemudian dibalas oleh politisi lain dengan ejekan juga. Akhirnya sesama politisi saling mengejek, memperlihatkan sikap tidak dewasa. Sikap mereka yang mengejek, menyindir atau menulis statement yang tidak berbasis fakta terlihat seperti bocah SD yang saling menghina nama-nama orang tua.
Kebebasan dalam mengungkapkan pendapat memang tidak bisa disalahkan. Sebab hakekatnya seorang warga negara termasuk seorang politisi pun bebas menulis apa saja di media sosial selama tidak berbuat SARA, hoaks dan fitnah. Tetapi seharusnya, para politisi ini sadar bahwa posisi mereka adalah sebagai pejabat publik yang segala perilakunya disorot media dan dilihat masyarakat.
Terutama di media social, di mana netizen dengan maha benarnya dapat saling bersuara dengan nada yang lebih keras. Akhirnya media sosial makin hari malah makin ramai dengan debat kusir yang tidak sehat. Istilah cebong dan kampret selalu memenuhi komentar di media sosial. Ada yang membela, ada pula yang mengkritik. Dari perang komentar sampai perang tagar memenuhi beranda Facebook atau timeline Twitter.
Perdebatan itu kebanyakan yang terjadi justru diawali oleh pernyataan politisi yang asal ceplas-ceplos, argumennya yang lemah dengan fakta, standar ganda, playing victim dan kadang juga labil. Hari ini mengatakan A, besok mengatakan B lalu lusa mengatakan C.
Contoh politisi yang sering disorot karena buat gaduh di media sosial adalah cuitan duo F yang sekarang duduk sebagai wakil ketua DPR RI yakni Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Dua tokoh politisi ini sering disorot karena cuitannya di Twitter seringkali berlawanan dengan kebanyakan orang, terutama dengan sikap pemerintah. Mereka sering melakukan cuitan-cuitan yang berbau kontroversi dan meramaikan jagat maya. Beberapa kali keduanya juga pernah terbukti menyebarkan hoaks, tapi setelah ketahuan mereka berdalih sebagai korban hoaks.
Sikap-sikap ini yang membuat orang-orang kurang simpati. Hampir tidak pernah Fahri dan Fadli meminta maaf dengan statement mereka di media sosial selain kasus Ratna Sarumpaet. Itupun dilakukan dengan dalih sebagai korban dan tidak ada permintaan maaf apapun kepada pemerintah sebagai sasaran fitnah ataupun masyarakat Indonesia yang telah banyak dirugikan dengan cuitan demi cuitan mereka yang membuat situasi politik indonesia makin gaduh.
Apalagi mereka juga pernah memberikan argumen yang seolah-olah pro terhadap korupsi. Kita ingat ketika Setya Novanto terjerat kasus korupsi E-KTP. Duo F inilah yang paling gencar membela. Bahkan Fahri Hamzah menyarankan agar lembaga anti rasuah seperti KPK segera dibubarkan karena menganggapnya telah bekerja di luar batasan. Padahal argumennya itu sangat bertentangan dengan harapan masyarakat Indonesia yang selama ini menginginkan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Kemudian ada pula kebijakan pemerintah yang banyak didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia tetapi selalu dikritik oleh Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Tidak ada yang salah dengan kritik, hanya saja kritik yang keluar sayangnya tidak berbasis fakta. Mereka lebih suka beragumen dengan isu-isu yang mereka angkat sendiri, hingga kritikan tersebut malah menjurus pada fitnah dan cuma nyinyir saja.
Sudah setumpuk besar cuitan dua tokoh ini bernada nyinyir dan saling mempertontonkan sikap kekanak-kanakan mereka dengan berbalas nyinyir pada politisi lain yang beda dukungan politik. Fahri dan Fadli pernah berseteru dengan Ruhut Sitompul di media sosial tentang cuitan ‘kacung’. Kemudian secara tidak etis, Fahri sering melakukan body shaming dengan menghina fisik Jokowi dengan sebutan kerempeng. Padahal hinaan tersebut seharusnya tidak keluar dari seorang wakil ketua DPR yang (katanya) terhormat.
Dalam politik saat ini sering digaungkan tentang budaya politik santun, di mana setiap ucapan yang dikeluarkan oleh politisi idealnya tidak memancing amarah dan dikatakan dengan nada yang sopan. Tetapi bagi Fahri dan Fadli budaya tersebut tidak dihiraukan. Mereka tidak memberikan contoh-contoh positif bagaimana menjadi politisi yang menjaga etika politik dengan baik. Bahkan keduanya nampak semakin hobi membuat kegaduhan di media sosial seakan pekerjaan utama mereka adalah bikin gaduh jagat maya sedangkan posisi Wakil ketua DPR hanya dianggap pekerjaan sampingan.
Fahri dan Fadi dalam hal ini menganggap politik seperti sebuah arena ring tinju yang lawan-lawannya harus terus diserang agar mencapai kekalahan. Sehingga cara-cara politik apapun dilakukan, meski itu berlawanan dengan pengetahuan politik mereka yang sudah diemban sejak masa kuliah. Sekalipun pernah menjadi aktivis dan vokal terhadap pemerintah, tetapi jika melihat dengan prilaku politiknya yang sekarang, keduanya seakan telah berubah dan meninggalkan idealismenya.
Sejatinya, politik bukan sebuah tontonan perkelahian untuk mendapat sorak-sorai dukungan dari penonton. Politik sesungguhnya merupakan wadah untuk mengimplementasikan aspirasi dari rakyat yang kemudian dieksekusi dalam bentuk regulasi dan kebijakan yang pada akhirnya akan membawa kepentingan rakyat juga.
Intrik politik yang selalu bikin gaduh seharusnya tidak mendapat tempat yang bagus dalam ruang publik di media social, karena tak berpengaruh apa-apa pada kesejahteraan rakyat. Justru malah semakin memperkeruh suasana yang nantinya berimplikasi pada situasi sosial masyarakat yang mudah panas dan tersulut emosinya.
Politik praktis kian terlihat kotor karena banyak politisi senang membuat warga negaranya berkelahi hanya karena cuitan mereka. Apalagi cuitan-cuitan gaduh di media sosial jarang berbicara solusi dan hanya memberikan kritik yang menyudutkan pihak lain yang tidak sepaham, sehinga kritikan tersebut menjadi tidak objektif.