Sabtu, April 20, 2024

Politisasi Ayat Itu Diving dalam Beragama

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.

Dalam sepakbola, diving adalah aksi berpura-pura dilanggar pemain lawan agar mendapatkan keuntungan bagi tim sendiri, terutama mendapatkan penalti. Jika wasit jeli, pemain yang diving akan diberi kartu kuning.

Jika wasit tidak jeli, pemain yang diving akan dihadiahi penalti; namun, setiap sorot mata penonton yang objektif, pasti akan memandang buruk pemain yang melakukan aksi diving tersebut. Anehnya, selalu ada pemain yang diving dengan memanfaatkan ketidak-jelian wasit, demi mendapatkan keuntungan bagi tim sendiri, sekalipun melukai tim lain.

Fenomena diving juga terjadi dalam kehidupan beragama melalui politisasi ayat-ayat al-Qur’an untuk kepentingan pribadi dan golongan. Untuk mengurai bahaya politisasi ayat al-Qur’an, saya akan menguraikan Surat Ali ‘Imran [3]: 7-8:

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat”.

Ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua kategori: muhkamat dan mutasyabihat. Muhkamat berarti jelas maknanya, sedangkan mutasyabihat berarti samar maknanya. Akan tetapi, Allah SWT tidak menunjukkan mana ayat yang muhkamat dan mana ayat yang mutasyabihat.

Oleh sebab itu, ada ayat yang menurut satu ulama tergolong mutasyabihat, namun menurut ulama lain, ayat tersebut tergolong muhkamat. Misalnya, alif lam mim dinilai mutasyabihat, yaitu hanya Allah SWT yang mengetahui maksudnya. Namun menurut ulama lain, alif lam mim itu muhkamat, yaitu abjad hijaiyah yang menunjukkan bahwa al-Qur’an disusun dari abjad hijaiyyah sebagaimana alif lam mim.

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya. Orang-orang yang mempolitisasi ayat-ayat al-Qur’an, sejak awal memiliki kecenderungan menyimpang. Antara lain keberpihakan (subyektivitas), sehingga menafsirkan ayat secara tidak adil atau obyektif. Misalnya, Surat al-Ma’idah [5]: 51 akan didengung-dengungkan oleh mubaligh yang mendukung cagub-cawagub yang 100% muslim; namun mendadak tidak lagi membahas ayat itu saat dia mendukung cagub-cawagub yang tidak 100% muslim, seperti cawagubnya non-muslim.

Demikian halnya Surat al-Nisa’ [4]: 34 akan dijadikan senjata utama untuk meruntuhkan cagub-cawagub yang tidak 100% laki-laki, seperti cawagubnya wanita. Namun, akan dimaknai kontekstual oleh mubaligh yang mendukung cagub-cawagub yang tidak 100% laki-laki, yaitu ayat ini hanya berlaku di wilayah domestik (keluarga), bukan di wilayah publik seperti jabatan politis.

Masyarakat awam lah yang menjadi korban kesimpang-siuran penafsiran al-Qur’an yang dilandasi keberpihakan (subyektivitas), demi meraih keuntungan politis. Lalu timbul fitnah di tengah masyarakat. Misalnya, antar kubu saling berperang dalil ayat. Kubu A menjadikan Surat al-Nisa’ [4]: 34 sebagai senjata menghantam kubu yang mengusung cagub/cawagub wanita; sedangkan kubu B bersikeras bahwa Surat al-Nisa’ [4]: 34 hanya berlaku dalam ranah domestik (keluarga), bukan ranah publik (jabatan politik).

Dampak berikutnya, ayat-ayat lain, Hadis, Ushul Fikih, Kaidah Fikih, Fikih, bahkan Akidah (Kalam) akan dibawa-bawa demi memberi penakwilan yang sesuai dengan “nafsu syahwat keberpihakan politis” mereka. Ibarat bola salju yang terus bergulir, dari polemik satu ayat, menjadi polemik satu aliran, hingga kemudian menjadi polemik satu agama. Sungguh miris dan membahayakan umat muslim dan NKRI.

Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”

Harus disadari sejak awal, bahwa takwil ayat-ayat mutasyabihat itu hanya diketahui oleh Allah SWT. Ini jika kita memahami ayat ini berhenti pada kata “illa Allah” (selain Allah). Namun bagi orang yang memahami ayat ini berhenti pada kata “wa al-rasikhuna fi al-‘ilm”, maka mufasir yang memiliki keilmuan mendalam, juga dapat menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat.

Apapun itu, seorang mufasir tetap harus tunduk kepada Allah SWT, salah satunya dengan cara tidak menjadikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai legitimasi apalagi apologi atas keberpihakan politiknya. Artinya, pemahaman ayat al-Qur’an disetir oleh keberpihakan politik; bukannya memahami ayat-ayat al-Qur’an terlebih dahulu secara objektif dan komprehensif, baru memutuskan keberpihakan politik sesuai pemahaman tersebut. Dengan catatan, keberpihakan politiknya tidak perlu diproklamirkan kepada seluruh masyarakat, jika berpotensi menimbulkan fitnah atau madarat yang lebih besar.

Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. Hanya ulu al-albab yang dapat mengetahui “motif busuk” para pelaku politisasi ayat al-Qur’an. Ulu al-albab adalah orang yang hatinya jernih, sehingga dapat melihat segala sesuatu dari segi tampilan fisik, sekaligus hakikat psikis.

Dalam bentuk sederhana, ulu al-albab ini mirip seperti wasit yang adil dan awas, serta tidak berkepentingan dengan dua tim yang bertanding; sehingga dia dapat menilai dengan jernih terhadap seorang pemain yang jatuh di kotak penalti, apakah pemain itu melakukan diving (pura-pura) atau sungguh-sungguh.

Jadi, untuk mengetahui apakah ayat-ayat al-Qur’an itu dipolitisasi atau tidak, sebaiknya bertanya kepada ulama atau ahli tafsir al-Qur’an yang objektif, berkompeten dan tidak memihak partai politik mana pun. Sehingga hasil pemahamannya lebih jernih dan objektif, serta layak untuk diikuti. Inilah figur yang sedang dibutuhkan oleh umat muslim Indonesia, di tengah kegaduhan politik berbumbu agama sekarang ini.

Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaytana wa hab lana min ladunka rahmat, innaka anta al-wahhab. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).”

Sebagai alternatif solusi, lebih baik kita aktif mengamalkan doa ini. Yaitu kita memohon kepada Allah SWT agar tidak sampai melenceng dari jalan kebenaran, hanya gara-gara membaca atau mendengar ulasan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah dipolitisasi sedemikian rupa. Dalam doa Rasulullah SAW,

“Ya Allah, mohon tampakkanlah kepada kami, kebenaran itu terlihat benar dan anugerahkanlah kami untuk mengikutinya; dan mohon tampakkanlah kepada kami, kebatilan itu terlihat batil dan anugerahkanlah kami untuk menjauhinya”.

Kita juga memohon agar politisasi ayat-ayat al-Qur’an tidak memecah belah umat muslim. Karena begitu umat muslim terpecah belah, maka rahmat Allah SWT akan menjauh. Sebaliknya, jika umat muslim masih tetap bersatu-padu dan mengabaikan provokasi dari “jago-jago diving dalam beragama” yang mempolitisasi ayat-ayat al-Qur’an, Insya Allah, rahmat Allah SWT akan mengguyur bangsa ini.

Semoga kita semua semakin pandai dan bijaksana dalam menyikapi fenomena diving dalam beragama. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.