Dunia digital telah melahirkan kekuatan politik baru: viralitas konten. Setiap cerita yang meledak di media sosial bisa tiba-tiba mengubah narasi publik. Algoritma platform – yang menyaring dan mempersonalisasi informasi – kini berperan sebagai rezim kebenaran modern[1][2]. Lebih dari sekadar filter bubble, algoritma cenderung mengutamakan konten emosional dan provokatif[1].
Hasilnya, ruang diskusi politik kita berubah menjadi semacam panoptikon digital: konten yang dipilih mesin akan membentuk opini banyak orang, sesuai pola pikir Foucault tentang kuasa yang tersebar dalam wacana[2]. Dalam era itu, sebuah unggahan atau tagar yang viral bisa “menggoncang” keputusan politik dan hukum. Mari menelusuri jejak perjalanan fenomena ini di Indonesia, dari Baiq Nuril hingga aksi demo Agustus 2025.
Baiq Nuril: Narasi Keadilan Lewat Tagar #SaveIbuNuril
Kasus Baiq Nuril (2018–2019) menjadi contoh awal bagaimana kemarahan publik online mempengaruhi keputusan negara. Nuril, guru honorer di Lombok, dihukum karena merekam dan membagikan bukti pelecehan seksual atasan[3]. Putusan Mahkamah Agung yang memvonis Nuril bersalah menimbulkan gelombang protes di media sosial[3]. Aktivis dan netizen menggagas tagar #SaveIbuNuril, yang cepat tersebar luas[4]. Penelitian mencatat bahwa hashtag #SaveIbuNuril sempat “went viral on Twitter” dan akhirnya Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada Nuril[4].
Viralitas tagar ini jadi momentum politik: publik tidak hanya mengekspresikan simpati secara daring, tetapi mendesak penguasa bertindak. Kasus Nuril menunjukkan bagaimana kekuatan algoritma yang mendistribusikan konten populer bisa menekan lembaga hukum: gelombang dukungan digital akhirnya memaksa Kejaksaan Agung menangguhkan eksekusi hukuman Nuril bahkan sebelum amnesti resmi disetujui[3]. Dari sini tampak bahwa konten viral bisa mendisrupsi proses politik dan hukum, melibatkan negara dalam perhitungan opini publik.
#ReformasiDikorupsi: Hashtag Mahasiswa Bergerak
Momentum lain terjadi pada September 2019, ketika wacana online bertransformasi menjadi aksi nyata. Isu revisi undang-undang KPK dan RKUHP memicu tagar #ReformasiDikorupsi yang menyebar dengan cepat di kalangan mahasiswa dan netizen. Media mencatat, “In 2019, the #ReformasiDikorupsi hashtag amplified calls for the public to join the street protests…”[5].
Tagar itu menjadi titik kumpul digital, memobilisasi pemuda turun ke jalan raya. Demonstrasi besar-besaran di berbagai kota menyamai gelombang Reformasi 1998, kali ini didorong oleh kekuatan sharing dan trending topic di media sosial. Di sisi lain, pemerintah dan aparat pun menyadari bahwa narasi di jagat maya bisa menciptakan tekanan politik. Pelanggaran terhadap postingan kritis dinyatakan, menimbulkan pro-kontra tentang pembungkaman hak berekspresi.
Namun yang jelas, #ReformasiDikorupsi memperlihatkan pola klasik kekuatan algoritmik: opini publik dapat dipicu oleh percakapan daring, dan offline activism ditengarai sebagian bersumber dari “percikan” di timeline sosial[5]. Publik pun semakin memahami bahwa tagar sederhana bisa menjadi kekuatan politik, menuntut respons konkret dari lembaga legislatif dan pemerintah.
Kasus Brigadir J: Kebenaran dan Kebohongan di Timeline
Pada 2022, dunia mengamati pembunuhan Brigadir J (Nofriansyah Yosua), yang kemudian menjadi peperangan narasi di media sosial. Di satu sisi, aparat sempat menutup-nutupi motif sebenarnya.
Di sisi lain, netizen menyebarkan potongan video, foto, dan cerita yang memecah keheningan. Misalnya, foto viral yang diunggah akun Twitter @AimanWitjaksono memperlihatkan Brigadir J sedang menyetrika pakaian di rumah Ferdy Sambo[6]. Foto itu menunjukan interaksi sehari-hari yang sebelumnya tidak terungkap, sehingga menimbulkan pertanyaan: bila Brigadir J tampak berbaur normal, mengapa ia harus tewas dengan kekerasan?
Unggahan-unggahan semacam itu tersebar luas, dan memaksa publik meragukan narasi resmi. Walau pengaruh algoritma kurang terukur dalam kasus ini, satu hal terlihat: media sosial membawa ruang privat ke ranah publik, mengubah cara masyarakat menilai bukti dan fakta. Kasus Brigadir J menggarisbawahi bagaimana wacana rakyat (yang digerakkan oleh posting viral) dapat melawan narasi kenegaraan. Bahkan pejabat tinggi mengaku terpengaruh oleh tekanan opini publik yang meluap lewat Twitter dan Instagram. Ini menunjukkan bahwa dalam era digital, “bukti visual” yang dikonsumsi netizen bisa membuat keadilan berjalan dengan logika baru: kecepatan informasi menjadi bagian dari proses menegakkan hukum.
Mario Dandy: Video Kekerasan Beredar
Contoh kekuatan viral lain terlihat pada kasus Mario Dandy (2023). Mario Dandy Satriyo tertangkap kamera menghajar korban remaja secara sangat brutal—aksi yang ia sendiri abadikan di video dan disebarkan. Rekaman tersebut memicu kemarahan publik hingga memaksa polisi mengusutnya[7].
Detik-detik pemukulan dan selebrasi kemenangan ala pemain bola terekam dan viral di media sosial. Berkat viralnya video itu, polisi langsung menetapkan Mario Dandy dan dua rekannya sebagai tersangka[7]. Peristiwa ini menunjukkan dua hal: pertama, algoritma media sosial memampukan konten kekerasan tersebar masif dalam hitungan jam. Kedua, konten provokatif semacam ini memotong jalur hukum biasa; publik menuntut pengadilan cepat. Kasus Mario Dandy menjadi bukti bahwa di zaman sekarang, pelaku kejahatan bisa “terbongkar” bukan hanya lewat penyelidikan tradisional, tetapi lewat tekanan viral. Para penyelidik juga menegaskan menggunakan forensik digital (chat WA, video HP, CCTV) untuk mengumpulkan bukti[8]. Singkatnya, video yang viral itu tidak hanya menghasut emosi, tetapi memaksa infrastruktur penegakan hukum bergerak.
Pemilu 2024: Algoritma, Polarisasi, dan Hoaks
Pemilihan Umum 2024 di Indonesia adalah puncak pertempuran informasi digital. Selama kampanye, Kominfo mencatat adanya 203 isu hoaks yang tersebar dengan total ribuan konten[9]. Hoaks seputar para kandidat dan kebijakan mereka mengudara di Facebook, Twitter (X), TikTok, dan lain-lain. Inilah wujud politik viral: informasi (atau disinformasi) menyebar dalam skala organik tapi dikatalisasi oleh algoritma yang menciptakan “gema” pendukung tertentu[1][10]. Penelitian memperingatkan bahwa algoritma cenderung menampilkan konten emosional dan provokatif pada pengguna[1].
Akibatnya, kampanye politik semakin terpolarisasi. Pendukung calon A dan B terjebak di ruang gema masing-masing, melihat berita yang mengkonfirmasi preferensi awal mereka. Berbagai bot, akun palsu, dan kampanye tagar berperan besar dalam membentuk kesan “dukungan masif”[10]. Data Kominfo tersebut menggambarkan algoritma sebagai “alat propaganda” tak kasatmata yang nyata: konten viral saja bisa menjadi bahan bakar polarisasi.
Di situlah paradoks: demokrasi menuntut debat, tetapi algoritma dan berita palsu memanipulasi arus informasi. Foucault akan mengingatkan bahwa kuasa tak tampak ini bekerja melalui pengetahuan yang tersebar; pengetahuan yang dibentuk oleh algoritma kini menjadi “kebenaran” dalam arena politik. Meski begitu, publik tetap berjuang lewat media sosial untuk menyeimbangkan wacana, misalnya dengan tagar dan kampanye literasi media. Pemilu 2024 menjadi panggung paling jelas bahwa politik dan algoritma telah bersekutu – menentukan siapa yang didengar dan siapa yang ditenggelamkan dalam kebisingan digital.
Aksi 25 Agustus 2025: Hoaks AI dan Demokrasi
Dinamika terbaru terjadi pada demo 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR. Aksi protes memuncak ketika pemerintah menyebut ada konten seruan demo viral yang direkayasa oleh kecerdasan buatan (AI). Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Angga Raka memperingatkan bahwa video dan gambar hoaks AI tentang kerusuhan bisa “mengaburkan aspirasi” massa[11]. Misalnya, ia menyinggung soal beredarnya konten seolah bangunan DPR dibakar padahal kenyataannya tidak. Hal ini dianggap merusak demokrasi karena membuat unjuk rasa damai menjadi bias[11].
Pemerintah pun meminta platform menindak konten manipulatif semacam itu. Peristiwa ini menegaskan kekhawatiran baru: selain algoritma yang memfilter konten, kini muncul AI yang bisa menciptakan narasi palsu. Situasi ini menimbulkan dilema: netizen ingin bebas menyampaikan aspirasi dengan media sosial, namun konten viral (apalagi kalau dibuat AI) tak selalu mencerminkan realitas. Demo 25 Agustus menjadi contoh bagaimana kekuatan algoritma modern dan teknologi baru bisa memperumit perjuangan warga – serta bagaimana negara berusaha mengambil kembali kendali wacana lewat aturan dan sensor.
Michel Foucault: Wacana, Pengetahuan, dan Algoritma
Melihat pola di atas, kita perlu refleksi filosofis. Pemikiran Michel Foucault sangat relevan: ia menyebut kuasa bekerja lewat pengetahuan dan wacana. Algoritma media sosial bisa dipandang sebagai “alat kekuasaan modern” yang membentuk rezim kebenaran baru[2]. Konten yang disukai algoritma menjadi benar, sementara yang tidak tersaji—lengkap dengan filter bubble-nya—seolah tak ada haknya untuk disebarkan.
Dari perspektif Foucault, infrastruktur media sosial ini membangun panoptikon digital, di mana perilaku masyarakat “terawasi” dan terprogram lewat sistem rekomendasi konten[2]. Viralitas suatu isu kini mencerminkan who has the power: mereka yang menguasai narasi (dengan mengoptimalkan algoritma, influencer, atau dukungan pendanaan) otomatis memiliki pengaruh politik. Misalnya, perjuangan Nuril, seruan #ReformasiDikorupsi, atau bahkan tuntutan keadilan untuk Brigadir J dan Mario Dandy, diukur sejauh mana berhasil menembus wacana publik. Dalam bahasa Foucault, warga rakyat dan pemilik algoritma saling berlomba membangun “kebenaran” mereka masing-masing di arena media sosial. Hal ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan tak lagi hanya di tangan lembaga resmi; ia bisa juga berada dalam barisan like, retweet, dan trending topic.
Akhirnya, setelah rentetan peristiwa ini, publik harus bertanya: kekuasaan politik dan moral kita ada di mana? Apakah demokrasi akan dikuasai oleh mesin-mesin algoritmik yang menyeleksi berita dan opini? Apakah rakyat sendiri yang memegang kendali narasi atau justru tak kasat mata mengendalikan layar? Dalam lanskap media sosial yang semakin rumit, kita perlu memikirkan ulang makna diskursus dan keadilan. Siapa yang sebenarnya mengendalikan pesta demokrasi kita – manusia atau algoritma?
Referensi
[1] [10] “Peran Algoritma Media Sosial dalam Penyebaran Propaganda Politik Digit” by Ismail Zaky Al Fatih, Rachmatsah Adi Putera et al.
https://scholarhub.ui.ac.id/jkskn/vol7/iss1/6/
[2] Efek Polarisasi Algortima Media: Analisis Teori Power Dan Knowlegde Michel Foucault | RIGGS: Journal of Artificial Intelligence and Digital Business
https://journal.ilmudata.co.id/index.php/RIGGS/article/view/1070
[3] Selangkah Lagi, Yuk Bebaskan Nuril! • Amnesty International Indonesia
[4] eprints.whiterose.ac.uk
https://eprints.whiterose.ac.uk/id/eprint/194757/8/4_f.pdf
[5] Online crackdown haunts Indonesia protests – Asia News NetworkAsia News Network
[6] Ini Foto Terakhir Brigadir J Setrika Baju Anak Ferdy Sambo, Diambil Putri Candrawathi
https://www.merdeka.com/trending/ini-foto-terakhir-brigadir-j-setrika-baju-anak-sambo-dijepret-putri-candrawathi.html
[7] [8] Jejak Kasus Mario Dandy hingga Divonis 12 Tahun Bui Usai Aniaya David Ozora
https://news.detik.com/berita/d-6918584/jejak-kasus-mario-dandy-hingga-divonis-12-tahun-bui-usai-aniaya-david-ozora
[9] InfoPublik – Kominfo Identifikasi 203 Isu Hoaks Pemilu 2024 di Platform Digital
https://infopublik.id/kategori/nasional-sosial-budaya/813584/index.html
[11] Wamenkomdigi ajak publik waspadai konten provokatif buatan AI – ANTARA News
https://www.antaranews.com/berita/5066289/wamenkomdigi-ajak-publik-waspadai-konten-provokatif-buatan-ai