Jumat, April 26, 2024

Politik Pengetahuan Kolonial Atas Islam-Jawa

Raha Bistara
Raha Bistara
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Aqidah dan Filsafat Islam

Pasca Perang Jawa (1825-1830), ada traumatik tersendiri bagi pemerintah kolonial terhadap Islam. Pasalnya, dengan diwakili para ulama, kiai, dan santri mereka semua memerangi kaum kolonial atas tindak ketidakadilan terhadap bangsa jajahan yang mereka duduki. Dengan begitu, mereka membentuk suatu badan ilmu pengetahuan yang mengakomodir, mensortir, memilah-milah baik naskah yang dibuat oleh para ulama, kiai, dan pujangga, sesuai dengan keinginan dan kehendak mereka terutama terkait naskah yang berkaitan dengan ajaran Islam.

IBJ (Institut Bahasa Jawa) lembaga pertama yang didirikan oleh kaum kolonial pada tahun 1832 di Surakarta atas usul J.F.C. Gericke (1799-1857), sebagai lembaga dalam mempelajari bahasa pribumi. Jelas, lembaga ini berfungsi sebagai penyortiran naskah-naskah yang dikerjakan oleh para misionaris seperti Gericke dan C.F Winter (1799-1859). Tak ayal, naskah-naskah Jawa seperti sastra Jawa, tata bahasa Jawa, Kamus Jawa-Belanda-Melayu, menerjemahankan Bibel dalam bahasa Jawa-Melayu yang berkaitan dengan misi politik pengetahuan terhadap Islam begitu digenjarkan.

Tidak hanya IBJ, dalam rangka menaklukan pengetahuan pribumi, pemerintah kolonial Hindia-Belanda juga mendirikan Kantor Penasihat Urusan Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam dalam kerangka orientalisme dan kolonial. Kantor ini bekerja sebagai penasehat dalam memberikan pertimbangan, mengambil kebijakan, secara cermat dan tegas dari sudut pengetahuan Islam. Nur Khalid Ridwan menandaskan lembaga ini hadir sebagai lembaga penelitian terhadap tokoh-tokoh dan naskah-naskah Islam yang beredar di masyarakat yang tatkala tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah kolonial maka akan disita dan dipenjarakan (Nur Khalid Ridwan, 2020:174).

Jelas saja, yang berada di dalam kantor ini adalah nama-nama yang tidak asing lagi dalam kajian keislaman, yang dilahirkan dari rahim kolonial, sebut saja ada Snouck Hurgronje, T.G Pigeud, G.W.J Drewes, D.A Rinkes, LWC. Van den Berg, B.J.O. Schrieke, dan lain sebagainya. Di  antara nasihat-nasihat mereka telah diterbitkan dan menghasilkan berjilid-jilid buku yang dikemudian hari diterbitkan oleh INIS, khususnya Snouck Hurgronje sebanyak 11 jilid yang sampai saat ini masih bisa kita baca, amati, dan kritisi.

Selain KPUP, upaya penaklukan ilmu pengetahuan juga melalui lembaga Balai Poestaka yang dikemudian hari lembaga ini mengambil tenaga-tenaga dari Indonesia, seperti Sutan Takdir Alisahbana dan masih banyak lagi. Seperti halnya dengan KPUP, lembaga ini dimunculkan untuk menerbitkan, mencetak, dan menyebarluaskan naskah-naskah lama yang berhasil ditemukan dengan kacamata baru, tentunya kacamata kolonial bukan kacamata kaum pribumi terutama Islam. Salah satu propaganda politik yang dilakukan kaum kolonial adalah dengan menyebarluaskan buku terbitan Balai Poestaka ke penjuru-penjuru distrik, tentunya tidak lupa dengan misi kristenisasi.

Lebih parahnya, pemerintah kolonial Belanda menerapkan peraturan dalam mengontrol pengetahuan dan kritisisme terhadap para kiai dan pesantren. Menurut Ahmad Baso, pendekatan, penumpasan, pemusnahan dan pengusiran tersebut diganti dengan pendekatan polisional dan pengawasan yang preventif atas saran Snouck Hurgronje (Ahmad Baso, 2005:239). Inilah hal yang paling aneh dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap ilmu pengetahuan, ada semacam traumatik terhadap Islam akibat gerakan bawah tanah yang dilakukan para kiai dan santri pada Perang Jawa dan Pembenrontakan Petani Banten.

Bukan hanya membuat sebuah lembaga ilmu pengetahuan dan mengawasi secara preventif, Pemerintah kolonial juga merekrut tokoh-tokoh potensial pribumi yang bisa berkooperatif dengan mereka dalam menjaga marwah para intelektual Belanda. Hal ini tentu bertujuan untuk melacak naskah-naskah pribumi supaya mereka bisa memahami kondisi, sosio-politk dan kultural masyarakat pribumi. Seperti yang kita pahami bersama pada waktu itu, kelompok yang melek literasi hanya ada dua, yakni pujangga keraton dan para pemuka agama di pesantren-pesantren, tanah perdikan, dan kampung Mutihan.

Di kalangan tokoh agama, seperti para kiai dan habaib, mereka ditundukkan dengan megambil tokoh yang kharismatik sebagai Penasihat untuk Urusan Arab dan Islam, salah satunya adalah Sayyid Utsman. Sedangkan di kalangan bangsawan keraton para pujangga direkrut, dilibatkan dalam kajian riset dan mengajar, sekaligus berfungsi sebagai informan untuk melacak naskah-naskah dan legitimasi agar tidak mendapatkan popularitas yang lebih tinggi dari kaum intelektual pemerintah Hindia-Belanda. Sebenarnya, kegiatan semacam ini untuk menekan perkembangan Islam dan mencari Jawa lama dengan berkolaborasi dengan para priyayi Jawa yang notabene muslim.

Pencarian terhadap Jawa Lama menjadikan priyayi Jawa yang berorientasi ke Islam Jawa dan mendapatkan sokongan pendanaan dan pengetahuan justru semakin menjauhkan mereka dari kalangan Islam yang berkembang di kalangan pesantren. Inilah politik pengetahuan yang paling efektif dilakukan oleh pemerintah kolonial dalam memisahkan hubungan keraton dan pesantren yang sudah terjalin ratusan tahun silam. Proyek indianisasi ini yang kemudian memuncul beberapa karya yang menyerang bahkan tidak jarang mencela Islam-tradisi ajaran Wali Songo.

Kita lihat misalnya Serat Kalam Wadi atau Dharma Gandhul yang terbit pada zaman kolonial dan bahkan sampai sekarang masih bisa kita baca, Serat ini cenderung menyerang ajaran Islam yang diajarkan oleh Wali Songo dan ada Babad Kadiri yang menyerang Sunan Bonan dengan mengambil inspirasi dari Jin Botalocaya dengan cara dimasukkan ke dalam badan seorang dalang. Tendensi dalam dua karya yang disebutkan sengaja disusun untuk menyerang Islam tradisional khas para Wali Songo dan itu sangat mencerminkan pola pengetahuan kolonial untuk memusuhi guru agama Islam tradisional.

Upaya memperkuat penemuan Jawa Lama dilanjutkan oleh generasi selanjutnya, kita lihat misalnya Zoetmulder intelektual yang berlatar Katolik menghasilkan karya sastra yang berjudul Kalangwan: Sastra Jawa Kuno. Karya ini adalah karya sastra untuk menghilangkan kesusatraan Islam-Jawa yang sudah ditorehkan oleh para wali zaman dulu. Dengan adanya politik pengetahuan semacam demikian, pengharapan mereka (kaum kolonial) atas Islam yang sudah melekat dan mengakar dalam ke-diri-an Jawa dapat digantikan dengan keyakinan baru yang dibawa oleh para orientalis dan misionaris.

Dengan begitu, sudah seyogyanya bagi para sarjana terutama sarjana yang bernafaskan Islam mengembalikan kembali khazanah intelektual Islam Jawi yang sejak lama sudah dikooptasi oleh kaum kolonial. Dengan cara bersifat kritis apa yang datangnya dari luar, dan mandiri serta melakukan dinamisasi untuk diri sendiri. Meminjam apa yang disampaikan oleh KH Achmad Siddiq al-muhafazha al-qadimish shalih wa akhdu bil jadidil ashlah.

Raha Bistara
Raha Bistara
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Aqidah dan Filsafat Islam
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.