Kita sudah memasuki tahun 2018. itu artinya akan digelar pesta demokrasi serentak untuk memilih kepala daerah. Hangatnya suhu politik memang sudah mulai terasa di tahun 2017.
Panasnya suhu politik dipastikan akan terjadi menjelang pilkada serentak di pertengahan tahun ini. Setiap aktor politik akan berlaga bebas, tidak sekedar untuk memenangkan kadernya di daerah saja. Namun tarikan panjangnya, adalah untuk menguatkan posisi tawar di tahun 2019.
Ibarat Piala Dunia, Pilkada Serentak 2018 adalah fase kualifikasi. Hal ini menandakan, kuat lemahnya posisi tawar suatu Partai Politik tergantung peta konstelasi daerah. Semakin banyak kemenangan yang direbut baik di tingkat Kabupaten maupun Provinsi, akan menjadi indikator sekuat apa Partai Politik tersebut berlaga di ajang Pilpres 2019. Hal tersebut akan membuat elit politik nasional benar-benar harus ikut terjun bebas di daerah.
Setiap elit politik nasional memang memiliki kepentingan besar. Seperti misalnya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. Di beberapa titik, terpasang Baliho berukuran besar yang menandakan deklarasinya sebagai Calon Wakil Presiden. Deklarasi menjadi RI 2 hanya akan menjadi isapan jempol, jika partainya tak banyak memenangkan kontestasi di daerah.
Sebut misalnya Bakal Calon Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf-Azwar Anas yang diusung PKB dan PDIP kalah. Tentu kans PKB mengantarkan Ketua Umumnya sebagai Cawapres begitu tipis. Atau setidaknya, bergaining powernya begitu lemah.
Hal yang sama juga terjadi dalam kasus Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Ia didorong oleh Partainya untuk mengincar kursi Cawapres. Dalam Pilkada DKI Jakarta, Partainya memang terlibat dalam koalisi pemenang. Namun untuk menguatkan posisi tawarnya, ia juga harus bermain di tataran daerah. Hal itu dibuktikan dengan sikap PAN Jawa Timur dalam Pilgub Jatim.
Partai tersebut belum menentukan sikap resmi terkait siapa yang bakal diusung. Itu tandanya, partai tersebut terus berhitung, dan mencari cara agar memiliki peran kunci. Kemungkinan strategi yang dipakai, tentu tidak jauh-jauh dari memunculkan figur alternatif sebagai poros tengah. Sambil berharap semoga Pilkada Jatim dilaksanakan dua putaran.
Lalu apa alasan lain yang membuat Pilkada 2018 begitu penting selain untuk menyiapkan kantong-kantong kekuasaan menjelang Pilpres 2019?. Tentu jika kita bertanya pada seorang aktor politik, jawabannya tidak jauh-jauh dari demi kesejahteraan masyarakat. Politik kesejahteraan menuntut siapa saja berlaku bak malaikat. Sebagaimana harga gula, cabe, kemiskinan, hingga pengangguran adalah bagian dari konsekuensi politik.
Itu artinya, yang membuat politik menjadi barang pertaruhan yang mahal bukan atas apa jabatannya. Melainkan sejauh apa otoritasnya. Jika politik dapat mempengaruhi sendi-sendiri kehidupan, berarti secara normaitf, pada derajat inilah ideologi Partai Politik dapat diimplementasikan. Lantas untuk menjawab pertanyaan, apa yang sebenarnya direbutkan dalam tahun-tahun politik adalah otoritas yang melekat pada eksekutif dan legislatif, bukan pada krusi atau jabatan.
Memang kondisi politik kontemporer, menghadapkan pada realita bahwa tinggi rendah otortias tergantung tinggi rendah jabatan. Atau dengan kata lain, otoritas berbanding lurus dengan jabatan. Lantas menjadi kenyataan bahwa jika Pilkada Serentak 2018 ataupun Pilpres 2019 itu gaduh karena perebutan jabatan politik, itu artinya juga terjadi perebutan otoritas. Menurut prinsip ekonomi, barang yang terbatas itulah yang mahal harganya. Jabatan yang terbatas pada kurun waktu, dan otoritas yang tidak semua bisa memiliki, pada dua titik itulah politik menjadi barang mahal.
Semakin mahal lagi, jika di era kontemporer, maraknya privatisasi atau swastanisasi menjelma dalam ruang-ruang kebijakan. Hal ini menandakan peran swasta menjadi dominan dan menguasai hajat hidup orang banyak. Kepala daerah hingga Presiden memiliki kebutuhan tinggi terhadap investasi untuk memajukan daerah dan negaranya. Sebagaimana pihak swasta membutuhkan dukungan otoritas dari Kepala Daerah dan Presiden, untuk mengelola surplus kapital yang dimiliki.
Pada kondisi ekonomi global seperti sekarang, terlalu sulit ketika otoritas yang terbatas dan masa kepemimpinan yang dibatasi konstitusi, untuk menghindar dari proyek investasi swasta. Yang terjadi kemudian adalah “menggadaikan” otoritas untuk kepentingan sesaat. Fatalnya hal ini melahirkan logika politik bahwa money for power, power for more money, and more money for more power. Romantisme logika kapital dan politik pada titik negatif adalah kecenderungan prakter korupsi. Sedangkan pada titik positif, adalah demi kesejahteraan masyarakat.
Otoritas yang terbatas dan mahalnya otoritas itu dalam kacamata ekonomi inilah yang membuat politik 2018 hingga Pilpres 2019 menjadi gaduh. Setiap aktor politik menyadari mewahnya otoritas kekuasaan, dalam era gencarnya sirkulasi dan mobilisasi kapital. Lantas tak dapat dipungkiri, untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas, dibutuhkan pengorbanan. Yang menjadi permasalahan jika pengorbanan ini dimaknai dengan menghalalkan segala cara. Agama hingga narasi seputar Pancasila, menjadi instrumen politik untuk membenarkan kelompoknya dan menyalahkan kelompok lain. Semua itu dilakukan demi narasi politik dominan.
Lantas kapankah politik rendah biaya atau politik tertib terjadi? maka menurut penulis bukan di tahun 2018 apalagi 2019. Kegaduhan semacam Pilkada DKI Jakarta nyaris akan terjadi dengan pola masing-masing. Mahkamah Konstitusi pun seyogyanya kuda-kuda karena tentu akan menerima banyak laporan gugatan. Itu lebih baik daripada pagelaran aksi demonstrasi yang mudah disulut tindakan anarkis. Kesiapan aparatur negara mengadili setegak-tegaknya menjadi bagian penting di era demokrasi.
Incumbent berhasrat memimpin lagi, sebagaimana penantang berusaha merebut. Pertarungan ini semakin panas, tentu dengan narasi-narasi politik dan ditunjang dengan kemajuan media sosial, dan di saat bersamaan, keberpihakan politik beberapa media massa mainstream. Lalu kapankah pesta demokrasi di Indonesia bisa tertib bahkan sunyi runyi?, prediksi penulis terjadi di tahun setelah 2045. Ini bukan saja perkara ramalan Mckensey yang menyatakan Indonesia akan menjadi negara besar. Tapi lebih jauh, pada titik inilah otoritas negara sudah punah. Itu artinya, politik akhirnya menjadi barang murah.
Apa yang terjadi terhadap politik di tahun 2045, mungkin tidak jauh dari falsafah jawa yang sudah terbalik; “Banda tanpa kaya (Harta tanpa kaya), aji tanpa sekti (jabatan tanpa otoritas), bolo tanpa nglurug (pertemanan tanpa perjuangan).” Harta tanpa kaya itu artinya kelompok menengah ke atas masyarakat Indonesia secara indeks ekonomi tinggi. Hal ini dibuktikan dengan akses ekonomi dan tingkat konsumsi yang tinggi.
Meskipun terlalu sulit untuk mengakui itu sebagai sebuah kekayaannya. Hal yang sama juga terjadi, bahwa aji tanpa sekti atau jabatan tanpa otoritas. Presiden masih ada, Bupati masih ada, namun otoritasnya tidak seluas apa yang melekat sekarang. Kebijakan Private Partnership Project misalnya, mengharuskan pemerintah menggadaikan otoritasnya pada waktu yang cukup lama.