Dengan gonjang-ganjing perilaku para politisi yang jauh panggang daripada api, maka bersiap-siaplah kecewa bagi mereka yang pernah mempelajari mata kuliah ilmu politik. Kenapa begitu? Ya, tentu saja, dalam banyak teori dasar ilmu politik, di sana dijelaskan berbagai macam pengertian normatif dari ilmu politik itu sendiri yang begitu luhurnya untuk kemaslahatan masyarakat.
Saya sendiri dulu pernah membaca buku karya Prof. Miriam Budiardjo yang berjudul ”Dasar-dasar Ilmu Politik”. Menurutnya, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang perpolitikan. Politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik.
Nah, apakah yang dimaksud dengan “untuk mencapai kehidupan yang baik itu?” untuk bisa menjawab itu perlu disampaikan mengenai fungsi instrumen politik, yaitu partai politik (parpol). Setidaknya ada 6 fungsi Parpol yaitu: sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, sarana rekruitment politik, pengatur konflik, sarana kontrol politik dan terakhir, sebagai sarana partisipasi politik.
Keenam fungsi parpol tersebut didesain untuk mencapai tujuan-tujuan mulia politik, yaitu, keadilan dalam hukum, kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat, kesejahteraan rakyat dan sebagainya. Untuk itu diperlukanlah rekrutment politik guna menjaring orang-orang yang bercita-cita tinggi, penuh idealisme dan rela mengorbankan dirinya untuk mengurusi hajat hidup orang banyak. Inilah apa yang disebut sebagai fungsi rekrutment politik di parpol. Jadi mestinya yang tersaring adalah orang-orang hebat, para politisi yang idealnya mendekati manusia setengah dewa. Dan tentunya sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
Lalu, apa lacur dengan fakta saat ini? Das sein das sollen. Dalam ilmu sosial, teori tidak sama dengan prakteknya, apa yang seharusnya, akan berbeda dengan apa yang terjadi. Maka jangan termehek-mehek, meratap dan mengutuki nasib jika jagoan pilihannya setelah terpilih inkonsisten dengan janji yang pernah diucapkn ketika kampanye. Dan jangan pula menjadi berlebih senangnya bukan kepalang, ketika pendukung calon yang kalah melihat konsistensi itu terjadi. Bukan tidak mungkin keadaan akan berbalik. Bukankah Allah Maha membolak-balikan hati manusia? Yang jelas, selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah transaksi politik. Mau contoh?
Berapa banyak wakil rakyat yang menjadi pasien KPK setelah terciduk dalam operasi tangkap tangan? Padahal mereka adalah yang mulia anggota dewan yang terhormat, yang dipilih atas nama rakyat yang percaya bisa membawa perubahan agar konsisi sosial, politik dan ekonomi kearah perubahan agar menjadi lebih baik. Justru mereka memainkan mandat rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongan. Siapa yang berhak disalahkan? fungsi rektutment politiknya atau konstituennya? Yang jelas, ketika para politisi berjanji, tugas pemilih adalah mencatatnya dengan baik dan menagihnya tanpa ampun bak kolektor ketika mereka terpilih.
Contoh lain adalah kondisi saat ini mengenai kelangkaan gas tabung 3kg bersubsidi. Sudah harganya mahal, (harga terakhir Rp. 20.000,-/tabung dari harga awal Rp. 15.000,-/tabung) langka pula dipasaran. Padahal konversi minyak tanah ke tabung gas untuk kalangan masyarakat kelas bawah yang disubsidi dimaksudkan sebagai cara penghematan subsidi sekaligus memudahkan rakyat dalam penggunaannya.
Di kasus lain, tarif listrik PLN pun naik dari Rp 415,-/Kwh menjadi Rp. 1.352,-/Kwh. Tarif toll dibeberapa ruas efektif per 8 Desember 2017 pun naik dikisaran angka Rp. 500,-. belum lagi pengenaan biaya administrasi untuk kartu toll secara sepihak. Lalu sebuah situs berita mainstream menulis judul berita, bahwa masyarakat tidak meminati BBM jenis premium yang bersubsidi. Bagaimana mau meminati dan menikmati premium bersubsidi, wong pasokannya sering tidak ada.
Weladalah, ini sudah jelas pembohongan publik atas pesanan nasi bungkus. Dan uniknya, tidak ada interupsi atas kenaikan tarif yang sepihak pada beberapa konsumsi subsidi (listrik, gas, bbm) dari para politisi yang dipercayakan oleh rakyat untuk mengurusi hajat hidup orang banyak di DPR. Tidak ada tangisan Puan dan kesedihan Megawati dan keluarga Bantengnya atas perilaku pemerintah terhadap rakyatnya, sebagaimana yang pernah dilakukan sebelumnya.
Belum lagi kasus kesaktian papah Setnov yang berujung drama telenovanto dipengadilan tipikor beberapa waktu lalu. Secara terang-terangan, yang mulia Ketua DPR yang juga Ketua Golkar mencoba mengerahkan segala kesaktiannya untuk berupaya melawan hukum. Adalah ironis, ketika proyek pengadaan E-KTP bernilai triliunan rupiah, hampir separuh anggarannya menguap kebeberapa kelompok, disatu sisi banyak masyarakat yang belum mempunyai E-KTP karena kehabisan blanko.
Dan kontradiktif pula ketika subsidi untuk rakyat dikurangi oleh pemerintah, sementara tidak ada otoritas yang menghitung komparasi antara berapa subsidi yang dikeluarkan oleh negara untuk kesejahteraan masyarakat dengan berapa kerugian negara yang dikorupsi oleh segelintir elit para politisi dan pejabat melalui “transaksi politik”. Sebenarnya, ini semua adalah intrik politik yang berujung pada perebutan keuntungan ekonomi melalui penyalahgunaan wewenang politik para pejabat. Maka tak heran jika disinyalir beberapa calon pejabat “mengijon” jabatan sebelum pejabat itu terpilih.
Namun demikian, jangan pula banyak berharap jika kubu lawan memenangi pertarungan, karena kondisinya setali tiga uang. Sama saja. Mereka adalah orang yang sama, hanya beda bendera saja, beda isu yang dimainkan dan tentu saja ada harga yang harus dibayar. Sebuah novel karya Andrea Hirata berjudul Maryamah Karpov menyebutkan “dinegeri ini kawan, janganlah kau terlalu banyak berharap pada pemerintah, mereka pun bingung hendak berbuat apa untuk kita”
Kalau sudah begini, kapan kiranya para politisi bisa memperjuangkan martabat negara dan hajat hidup masyarakat kearah yang lebih baik? Ketika rekruitment politik memilih secara serampangan (bahkan transaksional) orang-orang untuk menjalankan amanah. Sebaliknya, harkat dan martabat masyarakat pun tidak akan pernah berubah kearah yang lebih baik, jika masih memilih para politisi serampangan. Kedua hal ini sangat berkaitan erat, maka diperlukan peran serta aktif masyarakat (civil society) untuk menjadi kontrol sosial dinegara demokrasi dan jangan hanya bermodalkan mantra “viralkan!!!” menyebarkan berita yang tak pasti.
Sambil menunggu traffic jump dan hujan reda, tutup buku teori politikmu. Silahkan renungkan fungsi partai politik secara teori dan kondisi politik yang sedang terjadi. Jangan lupa cemilannya dimakan, sesekali bolehlah mengumpat “ngehe, pedes banget ini makaroni!”