Surabaya bakal memiliki kota baru yang disebut Singapore of Surabaya. Kota Bandung memiliki konsep kota masa depan yang dikenal dengan istilah Bandung Teknopolis. Sedangkan di pinggiran Ibukota, bakal dibangun sebuah konsep kota futuristik dengan istilah Meikarta. Ketiganya memang belum pada tahap pembangunan yang signifikan. Namun pembebasan lahan, hingga konsep perencanaannya sudah begitu matang. Beberapa malah sudah berani memasarkan kepada publik.
Dari tiga perencanaan kota masa depan itu, kita bisa memahami bahwa ruang adalah obyek politik. Lantas ruang tidak hanya bersifat geografis dan pasif. Melainkan bersifat politis dan aktif. Konflik, kontestasi dan negosiasi merupakan bagian dari bagaimana menguasai ruang perkotaan. Hal ini tentu melibatkan pemerintah, kelompok kapitalis dan masyarakat.
Pemerintah membutuhkan kelompok kapitalis untuk memajukan wilayahnya. Sebagaimana kelompok kapitalis juga membutuhkan pemerintah untuk dukungan dan kemauan politiknya untuk mengoperasikan sirkuit kapitalnya. Yang terjadi di Surabaya, Bandung, dan Jakarta, adalah surplus tenaga kerja dan surplus kapital. Surplus tenaga kerja adalah istilah lain untuk menjelaskan mengenai pertumbuhan penduduk yang terus naik setiap tahun. Pertumbuhan ini banyak disebabkan karena kota sebagai magnet ekonomi. Sedangkan surplus kapital terjadi sebagai bukti kuatnya relasi antar Pemerintah kota dan Kelompok Kapitalis.
Pertumbuhan ekonomi tiga kota tersebut rata-rata diatas angka 6 persen. Sejalan dengan itu, maka penerimaan anggaran daerah (PAD) kota pun juga tinggi. Paling besar kontribusi PAD adalah dari sektor pajak. Semakin banyak investasi masuk, dan kencangnya roda ekonomi kota, adalah tujuan Pemkot. Begitupun logika kapitalis untuk meraih profit yang semakin banyak tanpa terinterupsi. Semakin besar penerimaan pajak pemerintah, semakin besar pula laba kelompok kapitalis.
Surplus tenaga kerja dan surplus kapital atau modal ini tentu membutuhkan mesin pertumbuhan ekonomi baru. Kepadatan kota sebagai bukti bahwa ruang memiliki kapasitas yang terbatas. Jika hal ini dibiarkan, tentu akan menyebabkan krisis. Salah satu krisis yang sudah kita rasakan dari surplus tenaga kerja adalah kemacetan. Banyak jumlahnya penduduk tentu mendorong aktivitas mobilisasi yang tinggi.
Pemkot dengan instrumen kebijakannya, tentu bisa mengambil solusi. Pemkot sebagai aktor politik tata ruang memiliki otoritas dalam perencanaan, penataan dan pengendalian ruang. Bandung Teknopolis misalnya, telah tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Bandung No. 18 Tahun 2011 RPJMD Kota Bandung tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung Tahun 2011-2031 menyatakan bahwa pengembangan tata ruang kota diarahkan ke Wilayah Bandung Timur. Begitupun konsep Singapore of Surabaya, yang sebelumnya didahului dengan Perda tentang pembangunan Jalur Lingkar Luar Barat Surabaya.
Pemkot dengan hanya modal kebijakan saja bisa mengarahkan pembangunan kota. Kelompok kapitalis kemudian yang membangun dan mengoperasikan sirkuit kapitalnya. Hal ini bisa dilacak dalam pembangunan Bandung Teknopolis. Sebagai pengembang, PT Summarecon Agung Tbk tersebut memiliki luas lahan di atas 300 hektar atau 70 persen dari Bandung Technopolis. Sedangkan dalam konsep Singapore of Surabaya, PT Citraland memiliki izin lokasi seluas 2.000 hektar ini. Dengan kebijakan Pemkot Surabaya membangun Jalur Lingkar Luar Barat, tentu ini akan mempercepat pembangunan konsep kota bertajuk “Living a Clean, Green, and Modern City” ini.
Baik Bandung Teknopolis, Singapore of Surabaya, bahkan Meikarta, ketiganya secara geografis terletak di pinggiran kota. Pengembang diuntungkan karena sudah terlebih dahulu menguasai lahan tersebut. Dukungan Pemkot dengan kebijakan pembangunan infrastruktur jalan saja, menjadi sebab perencanaan konsep masa depan bukan gigitan jari lagi. Perencanaan kota masa depan ini tentu menjadi alternatif solusi. Sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru kota, diharapkan konsep nan megah ini mampu mengurangi kemacetan, kemiskinan hingga menjadi solusi dibalik stagnasi pembangunan kota.