Kamis, Maret 28, 2024

Politik di Indonesia dan Menjamurnya Hoaks

Riezky Maulana A
Riezky Maulana A
Mahasiswa Jurnalistik FIkom Unpad yang tidak pernah berjalan sendirian seperti tim kesayangannya

“Seorang pemimpin nasionalis berkebangsaan Belanda, P.F. dahler, menyebut Tjokroaminoto sebagai seorang “Harimau Mimbar”, yang pidato-pidatonya dapat memukau pendengarnya sampai berjam-jam.

Salah seorang yang mengikuti jejaknya adalah muridnya, Koesno atau Soekarno, pemuda dari Blitar yang kelak menjadi proklamator dan presiden pertama RI.” tulis Kholid O. Santosa dalam Pengantar buku Islam dan Sosialisme (2008).

Tidak hanya Soekarno yang belajar bersama Tjokroaminoto, sang Raja Jawa tanpa Mahkota. Tetapi ada nama-nama seperti Kartosoewiryo dan Muso.

Dalam salah satu malam di kediaman Tjokroaminoto yang dijadikan tempat penyewaan indekos. Tjokroaminoto memberikan wejangan kepada tiga muridnya yang kelak menjadi orang-orang besar.

“Anak-anak, aku bangga pada kalian. Semoga kalian kelak menjadi pemimpin-pemimpin bangsa ini. Tapi ingat, bersatu, jangan cerai-berai. Sekali lagi ingatlah kekuatan sapu lidi. Jika lidi-lidi itu disatukan, maka menjadi kuat, susah untuk dipatahkan. Tapi, ambil sebatang lidi maka gampang sekali kau bisa mematahkannya” dalam buku Seteru 1 Guru (2015).

Asep Salahudin selaku pengamat politik saat ditemui di kediamannya daerah Buah Batu Bandung mengatakan bahwa Tjokroaminoto itu memiliki tiga kaki, islamismenya dipegang oleh Kartosoewiryo, komunismenya dikembangkan oleh Musso sementara nasionalisme dipegang oleh Soekarno.

Setelah perjalanan panjang melawan penjajah dan akhirnya menjadi sebuah negara. Pemilihan umum pertama kali di gelar di Indonesia tahun 1955. Bulan September dan Desember menjadi saksi 10 tahun perjalanan Republik Indonesia pasca proklamasi.

“Demokrasi itu kan membutuhkan waktu, ada proses. Tahun 1955 saya pikir politiknya cukup sehat. Pemilu dengan partai yang cukup banyak tetapi mereka bisa bersaing dengan cukup bagus.” Lanjut Asep.

Mundur kebelakang beberapa tahun lalu, politik pasca pilpres 2014 seakan membagi keadaan politik Indonesia menjadi dua bagian. Bagian pro Joko Widodo dan Pro Pabowo Subianto. Politik dijadikan teknik kecermatan membungkus hal yang bohong menjadi sebuah kebenaran. Korupsi, budaya, etnik, dan agama dijadikan bahan untuk mereka melenggang jauh ke dalam singgasana kekuasaan.

Artikel yang tayang di Kompas.com dengan judul “Populisme, Kesenjangan, dan Ancaman terhadap Demokrasi  ditulis oleh Kristian Erdianto mengatakan bahwa sejumlah pengamat dan akademisi mulai cemas dengan munculnya fenomena kesalahpahaman mengenai politik populisme di Indonesia.

Populisme merupakan istilah yang digunakan untuk paham yang mengutamakan kepentingan rakyat kecil, ketimbang kalangan elite. Namun, isu ini kerap dimanfaatkan untuk memunculkan rasa nasionalisme dalam arti sempit, yang menolak semangat perubahan dan keterbukaan.

Modern yang Ternyata Terbelakang

Era Post Truth menjadi populer di tahun 2016 ketika para penyunting Kamus Oxford memilih kata tersebut sebagai word of the year. Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini. Fakta-fakta bersaing dengan hoaks dan kebohongan untuk dipercaya publik.

Menjamurnya hoax membuat Tim Cimol dari Intitut Teknologi Bandung mengembangkan situs hoaxanalyzer.com.

“Sebenernya ide awal hoax analyzer dari saya, waktu itu kita brainstorming soal ide yang dibawa ke Imagine Cup, bulan Desember 2016 sedang marak isu hoax menyebar di media sosial terkait dengan pilkada DKI Jakarta. Terus terang sebenernya hal tersebut menganggu.” Kata Adinda, salah satu pengembang situs tersebut ketika diwawancarai melalui surat elektronik.

Maret tahun ini Polri menangkap beberapa anggota yang tergabung dalam grup The Family MCA. Penangkapan tersebut bertujuan pada subjek yang berusaha menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian.

Ketika ditanya mengenai pergerakan MCA dan Saracen, Feryandi salah satu anggota Tim Cimol dari hoaxanalyzer.com enggan berkomentar terkait hal tersebut.

“Saya tidak mau berkomentar masalah ini karena sudah terlalu terkait politik yang dicampur-adukkan agama.” Ungkapnya.

Politik itu harus dibebaskan dari hal yang bersifat partisan, inklusif dan tertutup. Politik harus terbuka, kosmopolit untuk kebaikan bersama. Ketika memilih pemimpin bukan pemimpin agama, tapi pemimpin yang menaungi semua kelompok, semua komponen, semua unsur dan keragaman.

Itulah yang harus dipatunhi oleh seorang pemimpin dalam level apapun juga. Baik bupati, gubernur sampai presiden. Jadi ketika seseorang memilih pemimpin, seharusnya yang menjadi tolak ukur utama adalah program kerja, kemampuan beliau untuk membahagiakan warganya, mendistribusikan rasa keadilan kepada segenap warga tanpa melihat asal-usul etnik, agama atau segala afiliasi yang bersifat partisan.

Asep Salahudin juga mengatakan bahwa MCA itu adalah ekspresi dari politik yang bersifat terbelakang. Sangat tidak rasional, sesuatu yang seharusnya sudah selesai, dimunculkan kembali. Padahal hal-hal seperti itu seharusnya tidak boleh mendapatkan panggung dalam konteks keadaban politik.

“Mereka memainkan isu seperti itu karena mungkin bacaan masyarakat masih suka terhadap hal yang sifatnya sentimental dan tidak objektif.” Ucapnya.

Masyarakat Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk mengkonfirmasi sebuah berita. Pentingnya literasi media dan semangat membangkitkan budaya membaca pada masyarakat Indonesia.

Seperti dikutip melalui Tirto.id. Survey studi Most Littered Nation In the World 2016 mengatakan bahwa minat baca Indonesia sangat rendah. Minat baca Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara.

Ketika masyarakat tidak kuat dalam tradisi literasinya, sehingga sangat mudah untuk memercayai berita hoax. Banyak orang merasa nyaman dalam filter bubbles dan senang menyimak pendapat-pendapat sejenis yang sesuai keyakinan mereka di media sosial.

“karena mereka semua sudah merasa satu visi dan tanpa harus dibaca hanya melihat judulnya saja sudah langsung di share. Masyarakat yang tuna literasi kan seperti itu”. Ungkap Asep.

Asep mengatakan bahwa sebenarnya sudah ada yang memayungi hal tersebut seperti UU ITE  tetapi tidak efektif. Dari masyarakatnya sendiri belum bisa mengidisiplinkan diri ketika berhadapan dengan media sosial.

Asep melanjutkan bahwa situasi yang terjadi pada tahun 2014 dan 2016 bisa saja terulang kembali. “Mungkin saja akan di copy paste. Tetapi tidak berlaku di semua daerah, di beberapa daerah mungkin laku tetapi di daerah lainnya tidak juga.”

Ketika ditanya mengenai potensi isu tersebut digoreng kembali di daerah Jawa Barat, Asep mengatakan bahwa hal tersebut bersifat spekulatif dan berkaca pada beberapa tahun ke belakang.

“Masih laku” ujar Asep singkat.

Riezky Maulana A
Riezky Maulana A
Mahasiswa Jurnalistik FIkom Unpad yang tidak pernah berjalan sendirian seperti tim kesayangannya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.