Kamis, November 7, 2024

Political Branding: Antara Kredibilitas dan Pencitraan Semu

Ari Rusli
Ari Rusli
Ari Rusli, Lahir di Bogor 29 November 2001
- Advertisement -

Dalam dunia politik modern, fenomena ‘political branding’ semakin mendominasi panggung pemilihan umum. Seorang kandidat tidak hanya bersaing dalam hal program kerja atau ideologi, tetapi juga citra yang dibangun melalui branding politik.

Branding politik menjadi sarana utama untuk membentuk persepsi masyarakat mengenai seorang calon, sehingga mereka tampak lebih menarik atau kompeten dibandingkan kandidat lain.

Namun, apakah strategi branding ini benar-benar mencerminkan kredibilitas seorang politisi, atau hanya sebatas pencitraan semu yang bisa menyesatkan pemilih?

Fenomena ini semakin kentara dalam berbagai pemilu di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada Pemilu 2019, kita melihat banyak kandidat yang menonjolkan kepribadian mereka di media sosial, mengatur penampilan publik mereka dengan cermat, dan bahkan memanfaatkan influencer untuk menyebarkan pesan kampanye mereka.

Ini menimbulkan pertanyaan kritis: seberapa besar ‘political branding’ mempengaruhi pilihan kita, dan apakah pencitraan tersebut benar-benar mencerminkan kredibilitas seorang pemimpin?

Mengemas Politikus dalam Citra semu

‘Political branding’ pada dasarnya adalah upaya untuk mengemas kandidat politik layaknya produk komersial. Sama seperti merek komersial, seorang politisi perlu memiliki identitas yang mudah dikenali dan relevan dengan target audiens.

Dalam politik, branding melibatkan penggunaan berbagai media untuk memperkuat citra diri seorang kandidat. Hal ini mencakup logo, slogan, narasi yang konsisten, hingga kepribadian di media sosial.

Salah satu contoh nyata dari penggunaan branding politik yang sukses adalah kampanye Barack Obama pada pemilihan presiden AS 2008. Dengan slogan “Yes We Can,” Obama mampu membangun citra sebagai pembawa perubahan dan harapan bagi rakyat Amerika.

Kampanyenya dirancang dengan cermat untuk menarik hati pemilih muda dan minoritas, menggunakan media sosial sebagai alat utama untuk menyampaikan pesan tersebut.

Di Indonesia, kita bisa melihat strategi serupa pada Pilpres 2014 dan 2019. Joko Widodo, yang pada mulanya dipandang sebagai calon sederhana dari Solo, berhasil membangun citra sebagai sosok “merakyat” dan anti kemapanan. Dengan strategi branding yang kuat, Jokowi berhasil memposisikan diri sebagai pilihan yang berbeda dari elite politik yang dianggap korup dan jauh dari rakyat.

- Advertisement -

Dalam hal ini, branding politik Jokowi dapat dikatakan sukses karena mampu mencerminkan kredibilitas dan kompetensi yang diinginkan pemilih.

Namun, tidak semua branding politik mencerminkan kredibilitas yang sebenarnya. Banyak kandidat yang terjebak dalam apa yang disebut sebagai ‘pencitraan semu’.

Ini adalah ketika kandidat politik lebih fokus pada citra luar tanpa substansi atau kebijakan yang jelas di baliknya. Salah satu contoh yang relevan adalah penggunaan influencer dan kampanye media sosial yang berlebihan tanpa dasar program kerja yang konkret.

Branding politik yang semu juga tampak dalam berbagai kampanye yang terlalu memfokuskan pada kepribadian, seperti bagaimana seorang kandidat berpenampilan, cara berbicara, atau bagaimana mereka tampil dalam acara televisi, tanpa menyentuh isu-isu mendasar yang mempengaruhi masyarakat.

Dalam banyak kasus, pemilih akhirnya lebih tertarik pada persona daripada program, yang dapat menyebabkan kekecewaan di kemudian hari ketika janji-janji kampanye tidak terpenuhi.

Branding dan Kepercayaan Publik Mendatang

Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh The Pew Research Center, lebih dari 60% pemilih di negara-negara demokrasi modern terpengaruh oleh citra kandidat di media sosial ketika menentukan pilihan.

Di Indonesia, survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada 2019 menunjukkan bahwa 45% responden menyatakan keputusan mereka dipengaruhi oleh bagaimana kandidat tampil di media, bukan hanya dari visi-misi yang disampaikan. Hal ini menunjukkan bahwa branding politik memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam menentukan hasil pemilu.

Namun, branding politik yang berlebihan tanpa dasar yang kuat bisa menjadi bumerang. Data dari penelitian Transparency International menunjukkan bahwa negara-negara dengan pemimpin yang terpilih karena pencitraan semu cenderung mengalami penurunan tingkat kepercayaan publik di kemudian hari.

Rakyat merasa tertipu ketika harapan yang dibangun oleh kampanye branding tidak sesuai dengan kenyataan setelah pemimpin terpilih menjabat.

Kasus ini dapat dilihat pada beberapa negara di Eropa Timur, di mana pemimpin populis yang memenangkan pemilu dengan strategi branding akhirnya menghadapi gelombang protes karena tidak mampu memenuhi janji-janjinya.

Masyarakat Wajib Kritis!

Sebagai masyarakat yang hidup di era digital, kita harus lebih bijak dalam menyikapi fenomena political branding. Pemilih harus mampu memilah antara pencitraan dan kredibilitas nyata.

Kita tidak boleh terjebak hanya pada persona yang dibangun oleh media sosial atau iklan kampanye, melainkan harus lebih dalam meneliti rekam jejak dan kompetensi para kandidat. Jangan biarkan branding semata menjadi satu-satunya tolok ukur dalam menentukan pilihan politik, karena masa depan bangsa ditentukan oleh lebih dari sekadar citra yang dibangun selama masa kampanye.

Media juga memiliki peran penting dalam menciptakan ruang diskusi yang lebih sehat. Daripada hanya memfokuskan pemberitaan pada sisi kepribadian atau sensasi kampanye kandidat, media harus lebih giat menggali program kerja dan kebijakan yang akan diusung oleh masing-masing kandidat. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa pemilih membuat keputusan berdasarkan informasi yang lebih substansial.

Fenomena political branding memang tidak bisa dihindari dalam era politik modern. Di satu sisi, branding bisa menjadi alat yang efektif untuk memperkenalkan kandidat kepada publik secara luas.

Namun, di sisi lain, jika terlalu berfokus pada pencitraan tanpa dasar yang kuat, branding politik hanya akan melahirkan pemimpin yang tidak kredibel dan menipu harapan publik.

Oleh karena itu, pemilih harus lebih kritis dalam mengevaluasi kandidat politik. Kita tidak hanya butuh pemimpin yang terlihat bagus di layar kaca atau media sosial, tetapi juga yang memiliki rekam jejak dan kapasitas untuk membawa perubahan nyata bagi bangsa.

Sebagai generasi yang hidup di tengah arus informasi digital, kita dituntut untuk lebih cerdas dalam menentukan pilihan. Masa depan politik Indonesia ada di tangan kita, dan jangan sampai pilihan kita didasarkan hanya pada pencitraan semu.

Ari Rusli
Ari Rusli
Ari Rusli, Lahir di Bogor 29 November 2001
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.