Minggu, Oktober 13, 2024

Polisi Siber: Salah Kaprah Restorative Justice-Delik Penghinaan

Farhan Izzatul
Farhan Izzatul
Alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Menteri Koordinasi bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, sejak tahun lalu telah meluapkan gairahnya untuk mengaktifkan Polisi Siber di Indonesia. Rasionalisasi beliau adalah maraknya hoaks di ruang publik. Beliau juga mengutip mudahnya masyarakat melakukan ancaman kepada orang lain di media sosial (Tim Detikcom, 21 Maret 2021). Urgensi demikian yang mendesak dibentuknya Polisi Siber di Indonesia.

Melalui Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021, Polisi Siber mulai aktif di Indonesia. UU ITE menjadi patokan dan pedoman Polisi Siber dalam menjalankan tugasnya. Tugas yang ada mulai dari memberikan edukasi, memantau pengguna media sosial yang berpotensi melakukan pelanggaran ITE, hingga melakukan penindakan dengan mengirim pesan (DM) kepada yang bersangkutan (Nur Rohmi Aida, Kompas.com, akses 21 Maret 2021).

Tampaknya, kerja nyata Polisi Siber sudah dilihat oleh masyarakat Indonesia. Ya, mereka berhasil menangkap seorang mahasiswa (AM) penghina Walikota Solo, Gibran Rakabuming. AM menulis komentar di Instagram yang kurang lebih berbunyi “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja.” Ada beberapa aspek yang menarik untuk diperbincangkan dari kasus ini. Khususnya terkait implementasi restorative justice dan delik penghinaan.

Restorative Justice 

Pada dasarnya, restorative justice merupakan paradigma dan pendekatan baru dalam menyelesaikan perkara tindak pidana. Tujuan pemidanaan saat ini hanya sekedar pembalasan dan pemberian efek jera (detterent effect). Pemenjaraan pelaku merupakan pendekatan konvensional yang berfokus pada aspek keamanan (security approach). Sebaliknya, restorative justice bertujuan untuk memulihkan korban.

Pelaku tidak perlu merasakan jeruji besi selama kerugian korban akibat tindak pidana telah direstorasi. Restorative justice diaplikasikan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat (resolusi konflik). Ketiganya, bersama polisi, mengatasi masalah yang timbul dan mencari solusi untuk memperbaiki dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan niat pembalasan.

Dikatakan Polri, bahwa pendekatan restorative justice telah terdapat dalam program Polisi Siber. Restorative justice khususnya diterapkan dalam menyelesaikan kasus ITE, dengan mengedepankan jalan damai. Hal ini tampak pada kasus AM, dimana polisi menyuruh AM meminta maaf atas komennya di Instagram. Videonya viral dan beredar luas di media sosial. Namun rasanya ada yang tidak tepat (jika tidak ingin disebut salah) dalam implementasi restorative justice pada kasus tersebut.

Sejak awal, restorative justice didesain untuk memprioritaskan kepentingan korban. Pemulihan korban adalah sesuatu yang dikejar dalam pendekatan ini. Restorative justice juga berusaha mendamaikan korban, pelaku, dan masyarakat. Namun pada kasus tersebut, Gibran selaku pihak yang dihina bahkan menyatakan tidak sakit hati. Gibran tidak ambil pusing dan mengatakan sudah biasa dihina seperti itu (Labib Zamani, Kompas.com, 21 Maret 2021).

Lalu apa yang dipulihkan dalam kasus ini, jika pihak korbannnya saja tidak merasakan rugi apapun. Sungguh janggal ketika pihak yang dihina saja menanggapi dengan santai, sementara justru polisi yang sibuk, seakan-akan mereka pihak yang dihina.

Selain itu, dalam restorative justice, pencarian solusi atas suatu kasus tindak pidana dilakukan melalui proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua phak terkait. Peran polisi dalam restorative justice adalah sebagai penengah dan mediator yang memfasilitasi penyelesaian konflik.

Artinya, polisi hanya membantu para pihak mencapai win-win solution. Berkaca pada kasus di atas, terlihat Polisi Siber justru menindak pelaku sesuai kemauannya sendiri, berdasarkan perspektif tunggal mereka. Jika demikian, penindakan oleh Polisi Siber malah cenderung bersifat intimidatif. Permintaan maaf AM bisa jadi hanya didasarkan atas keterpaksaan dan ketakutannya ditindak polisi lebih jauh.

Delik Penghinaan

Dasar Polisi Siber menindak AM karena dianggap menyebarkan hoaks. Perlu diketahui, bahwa UU ITE tidak mengenal delik (tindak pidana) hoaks. Pasal yang mengacu kepada hoaks adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yaitu tentang delik penghinaan dan pencemaran nama  baik. Induk delik ini berasal dari BAB XVI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang terdiri dari Pasal 310 – 321 KUHP.

Dalam perbuatan penghinaan atau pencemaran nama baik, yang diserang adalah kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga korban merasa malu. Pada kasus di atas, maka yang diserang adalah kehormatan Walikota Solo, Gibran Rakabuming. Dengan demikian, maka delik penghinaan dan pencemaran nama baik merupakan delik aduan absolut.

Hal ini berdasarkan Pasal 319 KUHP yang berbunyi “Penghinaan yang dapat dihukum menurut bab ini, hanya dituntut atas pengaduan orang yang menderita kejahatan itu…” Konklusinya, Polisi Siber tidak berwenang melakukan tindakan apapun terhadap penghina Gibran, karena Gibran sendiri tidak melakukan aduan apapun terhadap AM. Bahkan sekali lagi, Gibran sendiri tidak merasa malu dan tidak merasa kehormatannya diserang.

Keluar dari konstruksi hukum yang ada, bahwa AM yang menyatakan Gibran hanya diberikan jabatan saja, tentu merupakan bentuk sinisme atau sarkasme dari AM. Sangat naif rasanya jika rentetan kalimat AM ditafsirkan polisi secara letterlijk, atau hanya dengan penafsiran gramatikal. Maksud “dikasih jabatan saja” mengandung makna yang dalam, yang bisa dikaitkan dengan politik dinasti dari Jokowi dan keluarga.

Terlepas dari satu kasus heboh Polisi Siber, tidak bisa menafikan bahwa keberadaan Polisi Siber diperlukan untuk penegakan UU ITE. Namun UU ITE tidak hanya berisi delik penghinaan dan pencemaran nama baik, di dalamnya terkandung pula delik kesusilaan, pengancaman, peretasan, dan penipuan.

Masih banyak beredar perbuatan porn revenge, teror dan creepy stalker, peretasan Whatsapp, dan perbuatan lainnya di internet yang lebih meresahkan bagi masyarakat. Polisi Siber harus fokus kepada semua delik dalam UU ITE, alih-alih hanya fokus pada perbuatan yang menghina Rezim saat ini. Namun jika demikian yang terjadi, maka Polisi Siber tak ubahnya seperti buzzer berseragam saja.

DAFTAR PUSTAKA

Ulang Mangun Sosiawan, Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Jurnal Hukum DE JURE, Volume 16, Nomor 4, 2016.

R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia: Bogor.

Farhan Izzatul
Farhan Izzatul
Alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.