“Awas ditangkap, bukunya.” Begitu pesan via Whatsapp dari teman jurnalis, yang disertai foto buku bersampul merah berjudul Tan Malaka Menuju Merdeka 100%.
Saya cukup tercengang, belum paham maksud pesan itu. Barulah, teman jurnalis itu melanjutkan pesannya. “Buku itu jadi barbuk (barang bukti) mahasiswa yang ditersangkakan Polisi.”
Informasinya, buku disita pihak Polisi Daerah Banten dari seorang yang ditangkap saat demonstrasi penolakan Omnibus Law, di Kota Serang-Banten, Selasa (6/9). Ada 14 orang yang ditetapkan Polisi sebagai tersangka pasca unjuk rasa yang berakhir ricuh. “Buku itu salah satu objek pengkajian penyelidikan,” kata pihak Polisi. Polisi pun mengaitkan dugaan keterlibatan kelompok anarko.
Penyitaan buku mengingatkan pula pada buku-buku Tan Malaka, yang lama tidak saya buka, apalagi baca. Buku yang saya dapatkan susah payah dari hasil jualan kopi semasa kuliah. Buku yang kini menjadi koleksi perpustakaan pribadi yang dibuat terbuka di beranda rumah. Termasuk lukisan kaca Tan Malaka, yang saya buat sendiri penuh kehati-hatian. Saya sengaja diletakan di beranda rumah agar orang yang melintas atau yang ke rumah, tahu siapa Tan Malaka.
Terlupakan Sejarah
Tan Malaka sosok yang namanya (sengaja) dilupakan. Dihapus dari album sejarah nasional di masa Orde Baru berkuasa. Padahal, pria bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka, kelahiran Suliki – Sumatera Barat, 2 Juni 1897 adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Ia pula sosok pertama yang menulis narasi “Menuju Republik Indonesia” atau Naar De Republik Indonesia (1924). Pemikiran yang menembus imajinasi tokoh pergerakan di zamannya, mengilhami tokoh sekelas Moh. Hatta menulis Indonesia Vrije atau Indonesia Merdeka (1928), dan Soekarno yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Pada 1963, Presiden Soekarno menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Muhammad Yamin menyebutnya sebagai Bapak Republik Indonesia. Jenderal AH Nasution mengatakan, Tan Malaka harus dicatat sebagai tokoh militer Indonesia untuk selama-lamanya, bahkan disebut seorang pemikir brilian yang bercita-cita mewujudkan Kemerdekaan Indonesia.
Cukup mengejutkan, jika karya seorang yang mengilhami kesadaran pergerakan kemerdekaan Indonesia disita, bahkan dihubungkan dengan sindikalisme anarko. Kelompok yang oleh Polisi disebut-sebut terkait aksi anarkis pada unjuk rasa menentang Omnibus Law di sejumlah kota.
Benar, anarko lekat dengan kata yang mengacu pada “anarki” atau “anarkisme” yang dalam Merriam Webster, diistilahkan sebagai suatu teori politik yang menganggap semua bentuk otoritas pemerintah tidak diperlukan. Dalam setiap aksinya, kelompok ini kerap membawa simbol huruf A di dalam lingkaran. Kata anarki sendiri, diserap dari Bahasa Yunani, “anarcho” yang diartikan tanpa penguasa atau pemimpin. Beberapa tokoh pemikir aliran ini adalah Mikhail Alexandrovich Bakunin dari Rusia dan Pierre-Joseph Proudhon dari Prancis.
Tapi, mengaitkan buku karya Tan Malaka dengan anarko terasa konyol. Pada sisi negara seringkali melekatkan Tan Malaka pada komunisme, tapi ia sendiri dikucilkan oleh tokoh-tokoh komunis. Bahkan menolak pemberontakan PKI pertama kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (1926/1927). Tapi satu sisi karyanya disita dan dikaitkan dengan anarko.
Padahal, jika kita mau membaca sedikit saja, maka dengan mudah bahwa pemikir anarkisme sangat bertentangan dengan konsep komunisme. Bakunin–sebagai salah tokoh anarkisme–, yang utarakan dalam pidatonya di kongres Perhimpunan Perdamaian dan Kebebasan di Bern – Swiss (1868). “Saya bukanlah komunisme,” kata Bakuni, “karena komunisme mempersatukan masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya; mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam negara, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.”
Penyitaan buku Tan Malaka juga bukan kali pertamanya. April lalu, saat penetapan tersangka aksi vandalisme yang diduga dilakukan kelompok anarko di Tangerang, Polisi menyertakan buku karya Tan Malaka berjudul “Aksi Massa” sebagai barang buktinya. Termasuk, kumpulan cerpen “Corat-coret di Kamar Mandi” Eka Kurniawan.
Entah apa relevansinya, apa hanya karena ada kata corat-coret lantas cukup menjadi petunjuk. Betul cerpen itu memperlihatkan protes dengan mencoret-coret, tapi masalahnya, cerpen itu tidak menunjukkan ada nilai ideologi di dalamnya.
Terkesan konyol, tapi, kita tetap berterima kasih. Kejadian ini kembali mengingatkan kita pada sosok Tan Malaka. Pemikir dan pejuang kemerdekaan, yang saya sendiri terlambat mengenalinya (baru setelah kuliah), karena semasa di SD sampai SMA, tak pernah dikenalkan oleh guru sejarah.
Merdeka 100 Persen
Dalam buku Merdeka 100% (yang disusun Robertus Robet), kita bisa menarik simpul percakapan ekonomi politik. Buku itu kumpulan karya penting seperti; Aksi Massa, Politik, Rencana Ekonomi Berjuang, Muslihat, dan Gerpolek. Isinya cukup menggugah kesadaran kita tentang arti kemerdekaan yang sesungguhnya – Merdeka 100%.
Pemikiran yang senafas dengan Panglima besar Soedirman. Panglima besar yang bersama Tan Malaka dalam satu wadah perjuangan “Persatuan Perjuangan.” Kala Tan Malaka berpidato perlunya kemerdekaan tanpa kompromi atau merdeka 100%, Soedirman mengutarakan pandangan serupa. “Lebih baik diatom (dibom atom),” kata Soedirman lantang, “daripada merdeka kurang dari 100%.”
Pemikiran Tan Malaka melampoi zamannya, baik ekonomi, sosial, politik hingga pendidikan. Bahkan dipraktikan dalam gerakannya; mulai mendirikan sekolah, kaum buruh, dan memuliakan kaum yang tidak mendapatkan ketidakadilan penguasa kolonial.
Penyitaan buku juga mengingat lekatnya Tan Malaka dengan perburuan Polisi masa kolonialisme. Mulai polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika Serikat sampai Jepang. Karena buruan itu, ia harus menjalani hidup di pada 11 Negara. Perjalanannya menempuh jarak sepanjang 89 ribu kilometer dengan 23 nama samaran. Atau dua kali dari jarak tempuh yang dilakukan Che Guevara.
Pada 1942, ia kembali ke tanah air dan bekerja di pertambangan Bayah-Banten menggunakan nama Ilyas Husein. Selain menyelesaikan Madilog, di ujung Pulau Jawa ini, ia mendirikan sekolah rakyat, dapur umum bagi pekerja romusha, dan rumah sakit besar untuk 700 romusha. Selain itu, menggerakan warga untuk penguburan korban romusha sesuai adat/agama, membuka perkebunan sehingga sejak 1944 dapat menyediakan makanan tanpa harus mendatangkan dari Sukabumi. Ia juga mewakili Banten dalam Kongres Pemuda di Jakarta jelang Proklamasi.
Tak bisa dipungkiri, Tan Malaka adalah tokoh bangsa. Dedikasinya untuk kemerdekaan melebihi cita-citanya menikah. “Dalam hidup saya hanya ada satu tujuan, yaitu memerdekakan Indonesia dari kolonialisme dan itu artinya tidak ada tempat untuk perempuan.”
Sekali lagi, penyitaan buku Tan Malaka mengingatkan kita pada sosok yang yang mencita-citakan nasib rakyat dari ketidakadilan penguasa. Maka, selama masih terjadi ketimpangan sosial, dan ketidakadilan, suara Tan Malaka-Tan Malaka baru, pastilah akan terus bergema.
Sebagaimana ucapannya saat mendapat intimidasi Polisi Belanda, di kantor Polisi Hongkong, Desember 1932. “Ingatlah bahwa dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.”