Sabtu, April 20, 2024

Poligami Menurut Syekh Wahbah Al-Zuhaili

Muhammad Sabiq
Muhammad Sabiq
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada mulanya, hukum poligami adalah mubah. Hal ini tercantum di dalam surah al-Nisa’ ayat 3: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Meskipun pada konsep dasarnya mubah, akan tetapi hukum poligami dapat berubah menjadi, sunah, makruh, bahkan bisa juga haram. Hal ini ditentukan oleh kondisi darurat yang memperbolehkan seorang untuk melakukan poligami. Jika seorang lelaki membutuhkan istri yang lain disebabkan istri yang pertama sering sakit-sakitan, atau sang istri mandul sementara lelaki tersebut berniat memiliki keturunan serta merasa mampu untuk berbuat adil kepada istri-istrinya, maka dalam kondisi seperti ini hukum poligami menjadi, sunah baginya.

Akan tetapi, jika tujuan berpoligami hanya sekedar untuk memenuhi hasrat biologis semata-mata sementara masih terdapat keraguan untuk dapat bersikap adil terhadap istri-istrinya, maka hukum poligami baginya adalah makruh. Jika di dalam tujuan berpoligami seseorang tidak terdapat komitmen yang kuat untuk dapat bersikap adil dan diyakini dapat memicu rusaknya keharmonisan rumah tangga maka hukum poligami menjadi, haram.

Syekh Wahbah Al-Zuhaili, berargumen bahwa poligami bukan merupakan konsep ideal dalam pernikahan seorang muslim. Menurutnya, konsep ideal bagi sebuah pernikahan adalah monogami. Sementara poligami hanya sebuah pengecualian dalam praktik pernikahan. Sebab hakikatnya, Islam tidak memerintahkan dan menganjurkan poligami.

Atas dasar tersebut, dalam kitabnya Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Al-Zuhaili memberlakukan ketentuan-ketentuan bagi seseorang yang hendak melakukan poligami, di antaranya; pertama, adanya sikap adil bagi istri; kedua, adanya pemberian nafkah.

Sikap adil terhadap istri mencakup hal-hal yang bersifat kebendaan, atau materi serta dalam memberikan giliran menginap yang sama rata. Sedangkan dalam hal membagi perasaan, kasih sayang, cinta dan kecenderungan hati, tidak termasuk ketentuan bersikap adil yang disyaratkan.

Sebab hal tersebut, merupakan kecondongan hati yang tidak dapat diukur secara jelas. Sedangkan syariat tidak akan menerapkan hukum di luar batas kemampuan seseorang. Hal ini telah disinggung oleh Allah SWT dalam (QS. 4:129) “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”

Ayat tersebut merupakan penegasan tentang ketentuan legalnya berpoligami sekaligus merupakan peringatan agar tidak menzalimi kaum wanita, sehingga membuat nasib mereka terkatung-katung.

Sebuah pernikahan tidak pernah terlepas dari urusan pemberian nafkah. Kemampuan memberikan fasilitas, biaya pernikahan, serta memberikan kesinambungan nafkah bagi istri merupakan tanggung jawab seorang suami. Oleh karena itu, ketika seseorang berniat untuk melakukan poligami maka tanggung jawabnya sebagai seorang suami akan berat. Sebab itulah syariat memberlakukan ketentuan-ketentuan yang ketat bagi seseorang yang hendak berpoligami.

Adanya hukum Islam yang mengatur sebuah pernikahan menunjukkan bahwa, Islam menempatkan wanita di dalam kedudukan yang mulia. Islam tidak memandang wanita sebagai komoditas dagang.

Wanita tidak serupa dengan barang dagangan yang dapat dibeli sesuka hati. Maka dari itu, ketika seorang lelaki hendak melakukan poligami, terdapat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, tidak hanya didasari oleh hasrat dan keinginan semata-mata. Hal ini pula yang membuat Syekh Wahbah Al-Zuhaili pada akhirnya memberikan pernyataan bahwa poligami bukan merupakan bentuk ideal dalam sebuah pernikahan. Ini disebabkan ketentuan dan syarat untuk berpoligami tidak main-main dan berat. Sehingga, poligami yang dijalankan tanpa memperhatikan apa yang telah terdapat dalam syariat, dikhawatirkan justru semakin menjauhkan biduk pernikahan rumah tangga dari nuansa sakinah, mawadah, dan rahmat. Wallahu a’lam.

Muhammad Sabiq
Muhammad Sabiq
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.