Selasa, Oktober 8, 2024

Polemik UU Anti Deforestasi dan Pelik Krisis Iklim

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.

16 Mei 2023, awal mula kegamangan terjadi. Undang-undang anti deforestasi diluncurkan guna mengatasi problem kiwari yang tengah menyeruak mengenai krisis iklim yang tengah membayang-bayangi.

Dilansir dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan deforestasi di Indonesia pada tahun 2018-2019 mencapai 462.400 hektar. Deforestasi mafhum menuai banyak sebab musabab, bumi terus menghangat, alhasil beberapa negara di Eropa urun rembug untuk segera menyudahi nestapa itu.

Adalah  Undang-Undang Anti Deforestasi (UUDR) yang membuat kecut, para eksportir untuk meniagakan komoditasnya di kancah internasional. Dikutip dari laman resmi Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, UUDR berpeluang menghambat komoditas seperti kelapa sawit, kayu, cengkih dan beberapa komoditas lain yang diambil dari hutan untuk dijajakan ke pasar internasional.

Tak dinaya, Indonesia dan beberapa negeri eksportir lain, seperti Malaysia, melancarkan gugatan kepada Uni Eropa atas UUDR yang menurut mereka itu diskriminatif. Babak baru menghadapi krisis iklim kian nyata. Disamping itu, keberadaan UUDR bagi bangsa Uni Eropa untuk mencungkil deforestasi yang kian hari kian tak karuan yang berimbas pada krisis iklim.

Jauh hari, pada abad ke-18 sampai 19 yang menjadi titik moncer kolonialisme bercokol, deforestasi mafhum terjadi di tanah jajahan. Buku gubahan Djoko Soekiman berjudul Kebudayaan Indis (Komunitas Bambu, 2014) menjelentrehkan mengenai kolonialisme yang tak lekang dari pembabatan lahan, guna mengambil komoditasnya dan juga membangun pelbagai infrastruktur penting lainnya.

Praktik deforestasi yang dilangsungkan Belanda waktu itu, mempengaruhi kondisi kebudayaan yang sudah lama bercokol. Beberapa aspek termasuk budaya bertani, beberapa daerah di Solo, Semarang, Bandung dsb, menyembul pabrik-pabrik, yang menyerap beberapa masyarakat untuk menjadi buruhnya. Sontak menurut Soekiman, kondisi itu melahirkan pelbagai jenis perubahan dari pelbagai perspektif antara lain; kebudayaan, ekonomi dan politik.

Proses deforestasi tak luput dari orientasi ekonomi dalam tindak lakunya. Pelaut Eropa hilir mudik mengibarkan layar kapalnya yang terkembang untuk mengumpulkan komoditas strategis guna tujuan kemakmuran. Buku gubahan Richard Robinson berjudul The Rise Of Capital (1986), mencatat jumlah industrialisasi yang bercokol pada era kolonial sebesar 3,8 juta hektar, dengan nilai ekspor 1,6 Milyar Gulden pada 1929.

Nilai itu sangat begitu besar. Menilik laporan khusus Gatra 20 Agustus 2005 dengan judul Dari Ladang Menjelma Tanah Uang, mewartakan aras besar industrialisasi menyokong ekspor. Komoditas berupa gula, cengkih dan komoditas kain, banyak sorot mata menyaksikan untuk lekas-lekas membeli komoditas itu untuk tujuan perekonomian dari waktu ke waktu.

Ladang-ladang yang mulanya begitu subur dan hijau permai menyelimutinya, perlahan-lahan digantikan dengan beton dan cerobong asap bermunculan. Syahdan, pelbagai ruang produksi nan hidup itu, menceritakan masa silam yang hidup akan gerak perokonomian. Kendati demikian, kian berjalanannya waktu, sentrum roda industri dan ekspor terus bergerak menyesuaikan dengan komoditas yang dibutuhkan hari ini. Lahan diubah menjadi sentra industri, tak dapat dipungkiri begitu adanya.

Deforestasi dan Krisis Iklim

Novel Gubahan Jorge Amando berjudul Gabriela, Cengkih dan Kayu Manis, (Serambi, 2014) sedikit lebihnya, menggambarkan daerah bernama Ilheus yang menelurkan kekayaan alam secara masif, sehingga banyak pedagang perdatangan mengais sumber daya tersebut.

Pada secarik awal, dalam hujan dan matahari di Ilheus, alam dan hidup manusia saling terikat kuat. Bila alam tak bersahabat, maka meraka akan benar-benar murung, bila saja cengkih, kayumanis ataupun coklat tak berbuah. Syahdan, bumi itu sebagai makhluk hidup yang sama dengan makhluk hidup lainnya. Bumi memiliki rasa, sedih dan bahagia sepertihalnya manusia.

Keresahan demi keresahan alhasil muncul ketika UU Anti Deforestasi diketuk. Pertama, keresahan komoditas komparatif milik bangsa ini tidak laku dipasaran Uni Eropa, Kedua, terkait dengan produk-produk ekspor tersebut apakah sudah benar-benar mematuhi untuk mengurangi deforestasi di Indonesia, dan Ketiga, mengenai keberpihakan UU Anti Deforestasi kepada masyarakat terpinggirkan.

Buku gubahan Willem Hoogendijk Revolusi Ekonomi (Buku Obor, 1996) sejatinya mengingatkan kita memperbincangkan ataupun melaksanakan strategi perekonomian tak melulu menyoal nilai lebih semata. Ada beberapa langkah konprehensif yang perlu dipatuhi secara bersama, untuk menjaga alam tak dikorbankan untuk rentang waktu jangka panjang.

Metode Slice and Burn banyak dikutuk oleh para pemerhati lingkungan. Banyak sorot mata menaggapi apakah pengelolaannya sudah menggunakan kaidah-kaidah yang bersahabat terhadap lingkungan. Bila saja, pemerintah dalam hal ini mampu menyingsingkan lengan agar mendisiplinkan para pelaku penggalakan lahan secara illegal dan sejenisnya, maka tak perlu gusar untuk benar-benar mengentaskan misi bersama dalam menyelesaikan krisis iklim yang tengah kita hadapi, setapak demi setapak. Termasuk, para pelaku bisnis yang setia bergandengan tangan untuk memahami lingkungan itu bukan sekedar objek semata.

Laporan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) pada 2007 silam, telah mengingatkan kita biaya ongkos untuk memulihkan kerusakan iklim yang parah itu, akan berimbas kepada biaya pemulihannya yang terhitung tidaklah murah  dalam kancah ekonomi, sosial, dan politik.

Kendati demikian, penting adanya peranan pemerintah dan beberapa pihak terkait seperti pemerhati lingkungan untuk menyigi pentingnya proses mengatasi krisis iklim melalui media edukasi, juga bagi pemegang kebijakan untuk tak segan membabat beberapa perusahaan yang nakal dalam hal menyikapi kelestarian lingkungan, disamping menjalankan roda bisnisnya.

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.