Di tengah suasana pilpres 2019, masyarakat Indonesia dikagetkan oleh berita Ratna Sarumpaet yang mengaku dianiaya oleh sejumlah oknum di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, pada 21 September 2018 malam.
Bahkan Prabowo Subianto, Amien Rais dan beberapa tokoh lain ingin kapolri mengusut hal tersebut. Beberapa hari setelah pernyataan tersebut Ratna mengakui dan meminta maaf kepada publik mengenai kebohongan yang dilakukan. Tindakan tersebut menuai banyak tindakan publik yang berujung pada pelaporan Ratna Sarumpaet dan penahanan, hal ini diikuti dengan pemecatan Ratna Sarumpaet dari posisi jurkamnas paslon Prabowo-sandi.
Saat ini indonesia berada pada “hactic situation”, momen politik menjadi suatu hal yang menarik untuk disorot. isu hoax yang terjadi pada ratna Sarumpaet menjadi sebuah bahasan gorengan isu yang bisa dimanfaatkan sebagai unsur menggaet simpati rakyat. itu menjadi sebuah kemunduran bahwasanya isu yang harusnya di sikapi dengan biasa menjadi santapan yang luar biasa karena berbarengan dengan tahun politik di indonesia.
Sebenarnya yang menjadi urgensi itu bagaimana menanggapi sebuah janji-janji penguasa yang tidak di tepati, dari pada membahas kebohongan kecil yang di lakukan “rakyat biasa”. bukankah menjadi terkesan politis menjadikan kebohongan rakyat menjadi sesuatu hal yang di besar-besarkan, sependek pengetahuan saya menjadi stategi ajang kontestasi berbagai pihak.
Kebohongan atau Ketakutan
Hal itu menjadi ganjil ketika melihat semua keanehan yang terjadi pada kasus kali ini. Mencoba mengamati setiap proses yang terjadi mulai dari awal munculnya statement penganiayaan sampai penangkapan, lebih bijak jika tidak di telaah dengan mentah-mentah.
Pertama, kebohongan yang dilakukan oleh RS mencuatkan banyak pertanyaan apakah itu merupakan sebuah kebohongan yang disengaja? seperti yang di utarakan bahwa kebohongan tersebut dilakukan untuk memberikan jawaban kepada keluarganya tentang kondisi wajahnya pasca operasi. Lantas bagaimana dengan “meminta perlindungan” pada sejumlah tokoh politik? Hal yang masih sangat ganjal dan terkesan ada skenario besar.
Kedua, Saat ini Ratna Sarumpaet telah resmi di tetapkan sebagai tersangka dengan di jerat pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 jo pasal 45 Undang-Undang ITE.
Cukup menjadi sorotan yaitu bahwasanya Ratna Sarumpaet tidak menyiarkan beritanya kepada publik, tidak melalui Televisi atau cuitan di medsos. Lantas apakah ini bisa menjadi jeratan hukum yang kuat untuk menetapkan RS sebagai tersangka? seperti yang kita tahu RS menyatakan kebohongan tersebuh hanya untuk keluarga dan juga beberapa orang yang kebetulan tokoh politik indonesia.
Ketiga, politik semakin hari semakin memasuki fase klimaks, semua kelompok saling berlomba-lomba untuk melempar isu ke publik untuk bahan menggaet simpatisan rakyat. Lantas apa yang menarik dari kasus ini? yaitu RS bukan sekedar “rakyat biasa” yang tidak mempunyai power, jabatan dan juga momen yang tepat akan membuat berita hoax tersebut menjadi sebuah berita yang sexy untuk di goreng dan bisa menyebabkan huru-hara di masyarakat, dalam kasus ini terkesan adanya politisasi yang coba untuk menyudutkan RS hanya untuk kepentingan politik praktis semata.
Keempat, alam perspektif psikologi, suatu dorongan menguasai (dominance) yang besar mampu mengalahkan pengetahuan orang memiliki skema tempat (kemampuan menelusuri sesuatu peristiwa). Tingkat fokus yang tinggi untuk menjatuhkan lawan politik dengan segala cara membuat orang tersebut kurang memikirkan terbongkarnya suatu skema kebohongan tersebut.
Apakah ini yang dimainkan? kebohongan yang tidak terstruktur? Atau ketakutan yang tercipta? Didalam momen politik yang semakin kacau kita dihadapkan pada suatu keadaan bahwa kekuasaan menjadi intan yang harus di capai, koalisi saling berebut kursi dan “kue-kue politik” akibatnya marwah demokrasi terciderai. Dengan melakukan segala cara dan juga mengorbankan orang untuk menjadi “mainan politik” untuk kepentingan salah satu pihak dan saling melawan.
Kelima, Sebagai seorang perempuan saya merasa prihatin, manusiawi memang jika menilai bahwa kita manusia yang tidak luput dari kebohongan dan dosa, saat ini adalah momen dimana singa saling mengaung untuk saling mencari mangsa tekanan dan strategi saling dilempar. Bagaimana jika yang sebenarnya terjadi itu merupakan tekanan berbohong bukan sebuah kebohongan pribadi?
Bagaimana bisa kita melihat sisi psikologis seorang perempuan yang begitu kompleks. momen politik inilah yang seharusnya bisa cermati dan penuh kehati-hatian bertindak, selama ini perempuan bukan tidak sanggup untuk masuk berkontestasi di ranah politik tapi lebih kepada bagaimana perempuan ini mengambil peran elegan di perpolitikan agar tidak menjadi mangsa singa kelaparan.
Lantas apa yang bisa dilakukan
Penyebab RS melakukan kebohonga masih jauh dari kata final, dan lagi-lagi perempuan harus jeli dalam hal pusara perpolitikan, menjadi aktor politik perempuan di kontestasi politik tanah air harus penuh dengan strategi dan juga kekuatan diri. Ini tidak hanya masalah kesetaraan gender, jauh dari pada itu mental dan pola pikir juga harus di persiapkan agar tidak ikut terombang-ambing dalam pusara politik yang pelik.
Kedua, komersialisasi media juga menjadi faktor utama adanya perpecahan dan penyebaran isu hoax, dalam hal ini filtrasi media sangat di perlukan, sebagai generasi milenial kita di hadapkan pada banyaknya informasi yang beredar luas. Menelaah lebih lanjut dan menganalisa dari perspektif pribadi itu sangat di perlukan, originalitas dari berita yang ada harus coba di cari dari analisa kita.
Ketiga, UU No.2 Tahun 2008 dan UU No.10 Tahun 2008 memuat kebijakan mengharuskan partai menyerkatan keterwakilan perempuan sebesar 30%, itu merupakan langkah solusi yang tepat untuk memberikan kontribusi untuk bangsa dengan perspektif perempuan, dan juga dengan begitu perempuan mempunyai posisi strategis dan bukan sebagai “bahan” untuk kepentingan kelompok semata.
Tapi faktanya yang terjadi jumlah ini belum terealisasi. Dari data yang di peroleh per juli 2017 keterwakilan perempuan di parlemen indonesia berada di angka 19,80%, sumbagsih dan keterwakilan perempuan diharap mampu membuat proses demokrasi indonesia berjalan sebagaimana mestinya. Maka dari itu menyiapkan kader perempuan untuk terjun ke pusara politik indonesia sangat di perlukan dengan adanya sekolah politik dan juga penguatan ideopolistratak yang baik.
Keempat, dimasa menjelang pilpres, semua yang terindikasi akan terjadi konflik sebaiknya harus bisa di hindari, segala bentuk informasi harus bersumber pada sumber yang jelas dan di percaya. Sebagai seorang melek politik segala huru hara dan isu yang ada harus tetap di tanggapi dengan cerdas dan penuh analisa sebelum memberikan pernyataan yang merugikan.