Hukum pada asasnya tetap bertujuan untuk melindungi kepentingan korban maupun pelaku, sehingga esensi kepastian, kemanfaatan dan keadilan sebagai tujuan hukum dapat terwujud dengan baik. Akan tetapi, tidak jarang kita menemui beberapa kasus yang dirasa menciderai rasa “keadilan” versi kita, sehingga kita berpendapat bahwa baik itu sangkaan, dakwaan hingga putusan yang ada sejatinya tidak mencerminkan keadilan versi kita.
Hal tersebut sangatlah wajar, bahkan dalam perkembangan ilmu hukum sekalipun karena nilai keadilan memanglah bersifat abstrak dan bisa jadi tolak ukur pertimbangan keadilan setiap orang berbeda-beda. Tergantung pada nilai yang mendasarkan paradigmanya atas keadilan itu sendiri. Hal tersebut juga berlaku bagi aparat penegak hukum yang memiliki dasar paradigma tersendiri mengenai suatu persoalan hukum dan keadilan.
Belum lama ini, diberitakan mengenai suatu kasus pembunuhan seorang pembegal yang terjadi di Malang pada September 2019 silam oleh seorang siswa sekolah menengah atas berinisial ZA. Kasus tersebut bermula pada saat ZA sedang berpacaran dengan pacarnya yang kemudian didatangi segerombolan begal, selain meminta harta benda milik ZA dan pacarnya.
Pembegal tersebut juga meminta untuk berhubungan intim dengan pacar ZA, dikarenakan emosi akhirnya ZA mengambil pisau praktikum di motornya dan menusukkannya pada dada salah satu pembegal dan mengakibatkan tewasnya pembegal tersebut.
Berdasarkan poin kasus yang telah dijelaskan, seperti yang diberitakan diberbagai media. Bahwa ZA didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan dleik pembunuhan berencana dan diancam pidana penjara seumur hidup.
Dakwaan tersebut sontak menimbulkan keresahan di berbagai kalangan masyarakat, mengingat pembunuhan tersebut didasarkan oleh upaya pembelaan diri dan bahkan ZA masih berstatus siswa. Sontak menjadi pertanyaan besar, apakah pantas pemidanaan terhadap ZA yang notabenenya sebagai korban pembegalan?
Tepatkah Dakwaan Pembunuhan Berencana?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, hal penting yang perlu dikritisi adalah berkaitan dengan dakwaan yang didakwakan kepada ZA, yaitu delik pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP. Karakteristik khusus delik pembunuhan berencana adalah adanya perencanaan terlebih dahulu sebelum memulai suatu keejahatan pembunuhan.
Karakteristik khusus unsur “dengan rencana” yaitu dilaksanakan dengan rencana terlebih dahulu yang pada dasarnya mengandung tiga syarat/unsur yaitu : 1) memutuskan kehendak dalam suasana tenang, 2) tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan 3) pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. Tiga unsur tersebut bersifat kumulatif dan saling berhubungan dalam suatu kebulatan yang tidak terpisahkan.
Berdasarkan acuan unsur dengan rencana tersebut, maka perlu dikritisi apakah sifat batin yang merasa terancam dan mengambil keputusan secara cepat untuk mempertahankan kehormatan diri saat dibegal termasuk dalam unsur dengan rencana?
Menurut hemat penulis sendiri, pembelaan yang dilakukan oleh ZA bukanlah delik pembunuhan berencana. Bahkan lebih jauh lagi, jika mendasarkan adanya pisau praktikum sekolah sebagai persiapan perencanaan. Maka bukti tersebut tidaklah kuat dalam hal mendorong motif pembunuhan yang terjadi.
Surat Dakwaan bermula dari hasil penyidikan aparat kepolisian, sehingga apabila menurut JPU tindakan tersebut merupakan tindak pidana, maka prosesnya dilanjutkan dalam proses penuntutan di pengadilan. Dalam hal ini perlu dipertanyakan dan dikritisi, apa yang menjadi dasar bagi para aparat penegak huku, tersebut untuk mengenakan delik pembunuhan berencana terhadap ZA.
Pembelaan Diri (noodweer)
Dalam praktiknya upaya pembelaan diri dalam suatu tindak pidana memang tidak selalu mudah. Hal ini didasarkan pada acuan asas proporsionalitas atau keseimbangan, bahwa suatu upaya pembelaan diri harus seimbang dengan ancaman yang akan datang atau sedang berlangsung. Contoh si A memukul si B, kemudian si B memukul kembali si A. Contoh sederhana tersebut dapat dikatakan seimbang karena daya bela atas serangannya sama.
Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, bahwa ukuran proporsionalitas memang tidak memiliki ukuran baku karena penilaian setiap orang bisa jadi berbeda-beda dan dipengaruhi kondisi sosial-kultural dimana tindak pidana itu terjadi.
Sehingga dalam hal menentukan apakah suatu pembelaan diri tersebut sah secara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP atau malah termasuk suatu “pembelaan yang melebihi batas (noodweer exces)”.
Secara sederhana pembelaan diri melampaui batas tersebut apabila keseimbangan dalam hal pembelaan diri dilakukan secara berlebihan. Contoh si A memukul si B, kemudian si B membalas dengan membunuh si A. Meskipun pada realitanya pembuktiannya tidak se sederhana contoh diatas.
Meskipun begitu pembelaan melampaui batas tetap mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Ayat (2) KUHP, hal tersebut didasarkan pada adanya perasaan berupa emosi ketakutan, amarah, kebingungan akibat serangan terhadapnya yang bereaksi pada upaya pembelaan yang melebihi batas. Perlu kecermatan dalam menilai apakah suatu tindakan pembelaan dapat dikategorikan sebagai pembelaan diri melampaui batas yang diperbolehkan atau dilarang.
Dalam kasus yang menimpa ZA, menurut hemat penulis bahwa tindakan pembelaan tersebut merupakan suatu pembelaan yang melebihi batas. Mengingat berdasarkan fakta yang penulis peroleh dari berbagai pemberitaan medua, belum terjadi serangan fisik terhadap ZA dan pacarnya, melainkan berupa ancaman dan intimidasi yang mengakibatkan reaksi oleh ZA yang dipacu oleh tekanan psikologis.
Akan tetapi, menurut penulis apa yang dilakukan oleh ZA dapat dijadikan dasar alasan pemaaf dikarenakan perbuatan pembelaan melampaui batas tersebut didasarkan pada guncangan psikologis yang hebat.
Bagaimana tidak? fenomena begal di Indonesia bukan sekedar tindakan pencurian “ambil barangnya lalu pergi”. Melainkan kebanyakan setelah melucuti barang korban akan diikuti dengan tindak kekerasan lainnya, bahkan banyak yang menewaskan korban.
Sehingga tindakan pembelaan ZA, seharusnya bukan malah dilanjutkan dalam proses penuntutan. Menurut penulis, malah harus dilakukan pendampingan dan rehabilitasi psikologis terhadap ZA dan pacarnya. Apalagi statusnya masih siswa. Sekalipun tetap dilanjutkan dalam persidangan, sekiranya ada baiknya dasar tersebut dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf oleh Hakim sehingga memutuskan putusan lepas terhadap ZA.
Sekali lagi, persoalan nilai keadilan memanglah abstrak dan didasarkan pada paradigma setiap orang yang tentunya berbeda-beda. Akan tetapi, hal yang selalu menjadi kritikan bagi aparat penegak hukum adalah janganlah menjadi aparat penegak undang-undang saja, melainkan aparat penegak hukum seutuhnya. Mengutip perkataan Prof. Satjipto Rahardjo bahwa “hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.
Sehingga perlunya menggali nilai-nilai hukum dan keadilan lebih dalam, tidak hanya berdasarkan pada tekstual peraturan perundang-undangan saja. Demi terwujudnya hukum dan keadilan.