Jumat, April 19, 2024

Polemik Kebijakan Luar Negeri Trump yang “Realis”

Yunita venisa
Yunita venisa
Seorang mahasiswi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional di UNTAN yang hanya menulis untuk melepaskan penat dan stress akibat hiruk pikuk duniawi.

Berawal dari kicauan twitter Trump terkait pernyataan perang tarif dagang berhasil menandai awal perang dagang Trump dengan seluruh dunia yang melibatkan pertempuran tetapi tidak hanya dengan Tiongkok, tetapi juga dengan sekutu dekat Amerika seperti Kanada dan Uni Eropa.

Pemerintahan Trump telah dikritik karena meluncurkan tarif perang dagang karena dua alasan utama. Argumen pertama didasarkan pada pemikiran ekonomi klasik bahwa negara-negara lebih baik ketika berdagang satu sama lain. Argumen kedua disebabkan Trump mengklaim bahwa ia mengambil tindakan dalam kebijakan perdagangan atas nama keamanan nasional.

Terkait dengan perang tarif dagang Trump, saya mencoba menelaah lebih dalam dengan menggunakan pisau analisis teori Hubungan Internasional (HI), yaitu teori realisme. Dalam realisme, negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang bersifat rasional, monolithmemperhitungkan cost and benefit, dan berfokus pada struggle for power (Banyu Perwita & Yani, 2017).

Dari sini terlihat bahwa peluncuran tarif dagang Trump berhasil menimbulkan pro dan kontra dalam dunia internasional. Trump berusaha menjadikan AS sebagai negara hegemoni lagi melalui sikap-sikapnya yang keras dan selalu melihat cost and benefit  dengan memanfaatkan economic statecraft daripada diplomasi. Sebelum membahas kebijakan Trump, alangkah baik kita mengetahui apa itu economic statecraft?

Economic statecraft adalah penggunaan instrumen ekonomi untuk mempromosikan dan mempertahankan kepentingan nasional, serta untuk menghasilkan hasil geopolitik yang menguntungkan negaranya.

Selama masa kepemimpinan Trump, Amerika Serikat memanfaatkan economic statecraft dalam upaya mencapai kepentingan nasionalnya. Hal ini terlihat dari perang tarif dagang antara Amerika dengan Tiongkok, di mana Amerika menggunakan sanksi embargo terhadap barang-barang buatan Negeri Tirai Bambu tersebut.

Sejak akhir Perang Dunia II hingga saat ini, semua pemerintahan AS telah menggunakan kebijakan ekonomi sebagai instrumen geoekonomi untuk mencapai kepentingan keamanan AS. Salah satu bukti geoekonomi AS tentu saja adalah strategi multilateral Amerika Serikat setelah Perang Dunia II.

Selain diplomasi dan perang, Amerika Serikat menggunakan kebijakan perdagangan internasional untuk membentuk tatanan pascaperang internasional. Perjanjian umum multilateral tentang Perdagangan dan Tarif (GATT) dan penggantinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) adalah instrumen ekonomi yang sukses bagi Amerika Serikat untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Multilateral WTO yang mengikat semua negara anggotanya, termasuk Amerika Serikat, berfungsi sebagai alat geoekonomi untuk kepentingan AS.

Namun, selama 30 tahun terakhir, strategi AS tampaknya semakin mundur dari proyek multilateralnya sendiri. Mulai tahun 1990an, pada era pemerintahan George W. Bush dan Obama banyak bergeser dari multilateralisme ke bilateralisme sebagai mode pilihan tata kelola perdagangan global.

Mereka beralih ke seperangkat instrumen geoekonomi baru untuk melakukannya karena WTO tidak lagi berada di bawah komando Amerika Serikat, mereka bergeser ke Free Trade Agreement (FTA) yang murni dan bilateral, seperti Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) atau Kemitraan Investasi dan Investasi Trans-Atlantik (TTIP).

Namun, berbeda dengan era pemerintahan Trump. Ia mengklaim bahwa FTA ini tidak lagi berfungsi sebagai instrumen untuk kepentingan nasional AS. Trump pun mengubah pola perubahan kebijakan politik luar negeri Amerika yang pada awalnya adalah multilateralisme kemudian berubah menjadi unilateralisme.

Dengan menggunakan tarif sebagai instrumen geoekonomi unilateral, Trump berupaya untuk mendapatkan kembali posisi hegemon Amerika Serikat sebelumnya.

Dalam perang perdagangan unilateral, Trump menunjukkan bahwa ia berupaya untuk membawa Amerika Serikat kembali ke posisi hegemoninya sesuai dengan mottonya “American First”. Trump meyakini bahwa pendekatan unilateralisme dan egosentris AS akan membuat negara ini semakin berkuasa dan mengalahkan rival-rivalnya, seperti Tiongkok. Menurutnya keputusan ini adalah satu-satunya jalan untuk menjamin keamanan nasional Amerika Serikat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, tugasnya untuk memastikan bahwa Amerika Serikat adalah satu-satunya yang diuntungkan dari perjanjian internasional yang ditandatanganinya dan bahwa perjanjian ini tidak akan mengurangi kedaulatan AS. Bagi Trump tatanan liberal internasional adalah instrumen yang salah untuk tujuan ini dan tidak memberikan keuntungan untuk Amerika Serikat.

Trump juga bertujuan untuk terus menentukan aturan kerja sama untuk menguntungkan Amerika Serikat dan untuk melakukannya, ia mengubah instrumen lagi yaitu mengubah FTA yang murni dan bilateral menjadi aktivisme unilateral. Aksi yang dilakuan dengan mengubah instrumen AS menjadi unilateral menunjukkan bahwa Trump lebih realis dari para pendahulunya, salah satunya Obama.

Gaya kepemimpinan Obama kental dengan ciri “Leading from Behind” yang berarti Amerika ikut membantu menegakkan kesejahteraan di dunia dengan memberikan dukungannya. Sedangkan Trump memberlakukan “America First” yang terkesan angkuh demi kemajuan negaranya. Obama sangat diplomatis daripada Donald trump yang realis. Kebijakan Trump yang doctrinal bersifat hard power, berbanding terbalik dengan Obama yang bersifat soft power. Baginya, hubungan internasional bukanlah situasi win-win, tetapi permainan zero-sum dengan hanya satu pemenang.

Menurut Trump, segala bentuk komitmen AS terhadap perjanjian internasional menyebabkan hilangnya kedaulatan AS dan terlalu banyak menjangkau kerugian AS. Ditinjau dari sudut pandang realisme, Trump tidak membutuhkan kerja sama tetapi dia ingin menegakkan kepentingan AS dengan tidak membuat konsesi sama sekali kepada mitra kerjanya.

Menurut saya, ide America First Trump akan membuat negara ini sendiri tanpa mitra kerja. Selain itu Trump dalam menindaklanjuti kebijakannya menggunakan metode tak biasa. Pendekatan Trump yang realis membuat dirinya mengambil sikap yang bertentangan dengan konsensus masyarakat internasional dan bahkan sekutu Eropanya.

Bahkan Robert Malley, mantan anggota Dewan Keamanan Nasional Amerika mengatakan, unilateralisme Donald Trump membuat negara ini terkucil dan semakin nyata dengan keluarnya Amerika Serikat dari beberapa perjanjian internasional dan penerapan tarif pedagangan terhadap sekutu terdekat Negeri Paman Sam tersebut.

Situasi perang tarif dagang antara AS dan Tiongkok terus berlanjut hingga saat ini. Dampak yang ditimbulkan juga bukan main-main. Walaupun kedua negara sudah mengadakan pertemuan tapi tetap saja semua kegiatan perdagangan internasional terganggu mulai dari biaya tarif ekspor dan impor sampai harga saham.

Jika Trump tetap ingin mempertahankan kebijakannya tersebut dikhawatirkan akan berimbas terhadap negara lain. Seharusnya Trump lebih memikirkan lebih rasional lagi mengenai kebijakan yang dikeluarkannya. Ibarat pisau bermata dua, kebijakan tersebut bukan hanya merugikan Tiongkok, tapi juga negaranya sendiri.

Referensi

Banyu Perwita, A. A., & Yani, Y. M. (2017). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rodaskarya.

Yunita venisa
Yunita venisa
Seorang mahasiswi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional di UNTAN yang hanya menulis untuk melepaskan penat dan stress akibat hiruk pikuk duniawi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.