Menyoal polemik hukum yang terjadi dewasa ini terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berasal dari pengurus partai politik sontak menguras perhatian publik. Adalah Oesman Sapta Odang (OSO), mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) daerah pemilihan Kalimantan Barat, yang juga merupakan Ketua Umum DPP Partai Hanura.
KPU mencoret OSO sebagai calon anggota DPD lantaran tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik. Peraturan KPU nomor 14 tahun 2018 tentang pencalonan DPD yang diubah dengan PKPU nomor 26 tahun 2018 tentang perubahan PKPU nomor 14 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPD, pasal 60 ayat (1) huruf p dan pasal 60A ayat (1) memberikan prasyarat untuk menjadi calon anggota DPD termasuk didalamnya tidak berkududkan sebagai pengurus partai politik tingkat pusat, pengurus partai politik tingkat provinsi, dan pengurus partai politik tingkat daerah Kabupaten/Kota.
Spirit yang terkandung mengenai pelarangan dalam pasal 60 A PKPU nomor 26 tahun 2018 ini sama dengan spirit putusan MK dalam uji materi pasal 182 huruf I Undang-undang Pemilihan Umum, anggota DPD dilarang rangkap jabatan sebagai pengurus partai politik sebagaimana tercantum dalam putusan MK No.30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Juli lalu.
Sebelumnya, telah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 182 huruf I undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan umum, diamana dalam pasal tersebut ada frasa “pekerjaan lain” dalam persyaratan pendaftaran calon anggota DPD.
Dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara rinci apakah pengurus partai politik diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota DPD, dan juga tidak ada penjelasan apakah dalam frasa “pekerjaan lain” itu adalah termasuk partai politik didalamnya. Menurut MK, ada ketidakpastian hukum terkait tidak adanya penjelasan atas frasa “pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konplik kepentingan dengan tugas, wewenang, atau hak sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam pasal tersebut.
MK menyatakan, Pasal 182 huruf I UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang memuat syarat bagi calon anggota DPD tidak boleh memiliki “pekerjaan lain yang yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, atau hak sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Mahkamah menilai, frasa tersebut harus dimaknai pula dengan mencakup didalamnya pengurus partai politik.
Terhadap keputusan KPU tersebut, OSO melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan uji materi OSO yang menguji Peraturan KPU nomor 14 tahun 2018 tentang pencalonan DPD yang diubah dengan PKPU nomor 26 tahun 2018 tentang perubahan PKPU nomor 14 tahun 2018 tentang pencalonan DPD yang memuat syarat pencalonan Anggota DPD.
selain uji materi di Mhakamah Agung, OSO juga melayangkan gugatan ke PTUN DKI Jakarta. Majelis Hakim PTUN Mengabulkan gugatan OSO dan membatalkan SK KPU yang menyatakan OSO tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD.
Dalam amar putusannya, PTUN menilai kepesertaan OSO yang merupakan pengurus partai politik, adalah memenuhi syarat, sebab peraturan KPU nomor 26 tahun 2018 yang mensyaratkan agar calon anggota DPD mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik telah dinyatakan oleh Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-undang pemilu. Putusan mahkamah konstitusi yang meminta agar pengurus partai politik mengundurkan diri jika ingin mendatar sebagai calon anggota DPD tahun 2019, dianggap tidak dapat dilaksanakan jika belum dimasukkan kedalam undang-undang pemilu.
Putusan Bawaslu Takluk di PTUN
Sebelumnya kasus OSO telah disengketakan di Bawaslu, dan Bawaslu menyatakan bahwa Putusan KPU sudah tepat dan OSO tetap dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh Bawaslu, setelah itu diajukan gugatan ke PTUN.
Pasal 469 ayat (2) Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum memberikan peluang bagi para prinsipal yang bersengketa pada proses pemilihan umum mengajukan banding ke pengadilan Tata Usaha negara, apabila tidak puas dengan putusan bawaslu.
Putusan pengadilan tata usaha terhadap sengketa proses pemilihan umum ini bersipat pinal dan mengikat dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketa proses pemilihan umum dibentuk mejelis khusus yang terdiri dari hakim khusus yang ditetapkan berdasarkan keputusan mahkamah agung.
Hakim khusus ini adalah hakim yang telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3 (tiga) tahun dan diberikan pelatihan untuk menguasai pengetahuan tentang kepemiluan, sehingga dianggap layak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa proses pemilihan umum.
Upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan apabila sudah melalui proses bersengketa di Bawaslu, sebagaimana yang dimaksud pasal 467, pasal 468, dan pasal 469.
Artinya, bersengketa di PTUN, merupakan upaya hukum lanjutan ketika tidak puas dengan putusan Bawaslu. Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak merincikan proses penanganan sengketa proses pemilihan umum di PTUN, mengingat kekhususan (lex spesialis) hukum pemilu jika dibandingkan dengan kompetensiabsolute Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kewenangan PTUN harusnya adalah kewenangan koreksi terhadap putusan Bawaslu, pemeriksaan hukum atau penerapan hukum (judex juris) sebab upaya hukum di pengadilan Tata Usaha negara adalah upaya hukum terakhir dan mengikat dan tidak ada upaya hukum lain setelah itu, bukan memeriksa ulang dari awal sengketa yang diajukan (judex factie), sehinga Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara bisa saja menguatkan putusan Bawaslu, mengkoreksi sebagian atau keseluruhan.
Pada prakteknya, kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketa proses Pemilihan Umum dimulai dari awal seperti apa yang dilakukan oleh Bawaslu. Dengan demikian secara tidak langsung, praktek dan upaya hukum ditingkat pengadilan tata usaha negara telah menegasikan proses yang telah ada sebelumnya di tingkat bawaslu.
Hal ini membuka ruang bagi peserta pemilu akan terus melakukan gugatan ke PTUN, meskipun putusan Bawaslu sudah berdasarkan pertimbangan hukum yang kuat dan meyakinkan, sebab dengan di ajukannya upaya hukum ke PTUN ada kemungkinan mendapat putusan yang berbeda, sebab dilakukan pemeriksaan ulang di PTUN.
Jika harus mengikuti alur tersebut, undang-undang pemilu perlu memberikan ruang untuk penyelenggara pemilu melakukan upaya hukum. Sebab, subjek pengadu saat ini hanya ditujukan bagi peserta Pemilu.
Padahal, tidak menutup kemungkinan bagi penyelenggara pemilu untuk mengambil upaya hukum guna mempertanggungjawabkan kerja dan keputusannya apakah sudah sesuai dengan maksud dan tujuan peraturan perundang-undangan atau tidak, sehingga masih ada upaya hukum lain untuk mengkoreksi putusan PTUN. Hal ini patut dimaknai bahwa ketentuan proses yang final di PTUN harus di koreksi, dan perlu ada lembaga peradilan yang lebih tinggi dari PTUN untuk mengkoreksi putusan PTUN.