Tentang RKUHP
Seperti yang telah diketahui bersama, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan oleh Indonesia sampai saat ini merupakan salah satu kitab hukum peninggalan Hindia Belanda yang telah memiliki akta kelahiran resmi dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1946 dan 1957 (masa Soekarno), guna akhirnya diterapkan di Indonesia. Namun begitu, KUHP yang digunakan di Indonesia adalah KUHP terjemahan yang memiliki beberapa versi, bukan asli berbahasa Belanda.
Hal yang menjadi permasalahan adalah dari beberapa versi terjemahan KUHP (sekitar 6 versi), tidak ada terjemahan yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia. Selain itu, ditilik dari isi KUHP yang berlaku saat ini, sebenarnya terdapat beberapa topik yang bermasalah dan relevan untuk diganti ataupun direvisi. Ditambah terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang sudah tidak berlaku lagi.
Oleh karena ini, sejak 1960-an, rencana revisi KUHP selalu digaungkan sebagai upaya untuk menjalankan agenda reformasi hukum pidana di Indonesia. Akhirnya, pada tahun 2015, draf pertama Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah masuk ke dalam Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas).
Rancangan ini diharapkan dapat menyempurnakan KUHP peninggalan Belanda yang dianggap telah usang, sekaligus menghadirkan solusi bagi permasalahan hukum yang dihadapi manusia Indonesia masa kini.
Namun nyatanya, rancangan ini justru menyimpan banyak potensi bahaya yang mengancam bagi warga negara. Hal ini tercermin dari beberapa pasal dalam RKUHP yang cenderung dapat mengkriminalisasi warga negara dan melanggar hak asasi manusia. Salah satu hal yang paling sengit dibahas dan menimbulkan banyak perdebatan adalah pasal-pasal terkait delik kesusilaan.
Pada dasarnya, pemrintah dan DPR ingin agar revisi KUHP segera selesai, dan pada akhirnya disahkan. Namun, pemerintah dan DPR perlu untuk menggodok dan membahas beberapa pasal yang masih menjadi kontroversi di kalangan publik.
Ada yang pro terhadap perluasan pasal zina, tapi di sisi lain, tidak sedikit juga yang kontra terhadapnya. Bahkan, campaign-campaign lewat media sosial melalui penandatanganan petisi, infografis dengan konten dan tampilan yang unik, maupun dengan cara konvensional semacam diskusi dan seminar publik telah digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan atas isu ini untuk menarik perhatian dan dukungan dari publik.
Delik Kesusilaan dalam RUU KUHP
Setelah menelaah RUU KUHP secara lebih mendalam, terdapat beberapa poin terkait delik kesusilaan yang menjadi problematika bagi masyarakat, yaitu terkait dengan peluasan pasal zina; pemidanaan hidup bersama sebagai suami istri; perkosaan dan perbuatan cabul; persetubuhan anak; akses informasi dan layanan alat kontrasepsi; dan pengaturan terkait aborsi.
Namun dalam tulisan ini, penulis hanya akan membahas mengenai dua poin awal, yaitu perluasan pasal zina, dan pemidanaan hidup bersama sebagai suami istri. Berikut adalah pemaparan singkat dari isi pasal yang terkait soal itu, sekaligus permasalahan yang berpotensi ditimbulkan olehnya.
a. Polemik Pasal 484 ayat (1) huruf e RUU KUHP terkait Perluasan Pasal Zina dan Pasal 488 RUU KUHP terkait Pemidanaan Hidup Bersama Sebagai Suami Istri
Dalam RUU KUHP saat ini, terdapat norma baru mengenai perzinaan berdasarkan Pasal 284 KUHP yang diatur dalam Pasal 484 ayat (1) huruf e yang berbunyi sebagai berikut: “laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan”. Selanjutnya di dalam ayat (2) dipaparkan bahwa “tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anaknya.”
Perlu untuk diketahui bahwa pada dasarnya kata “zina” dalam Pasal 284 KUHP yang diadopsi oleh Pasal 484 RKUHP berasal dari bahasa Belanda, yaitu overspel. Menurut Van Dale’s Groat Woordenboek Nederlanche Taag, kata overspel berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw yang mengartikan pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan.
Namun, sesungguhnya definisi zina yang digunakan dalam Pasal 484 ayat (1) huruf e lebih umum daripada overspel, artinya semua hubungan seksual di luar perkawinan dapat dikatakan zina, tetapi belum tentu overspel.
Sehingga, apa yang dirumuskan sebagai perzinaan dalam Pasal 484 ayat (1) huruf e adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan secara suka rela dan keduanya belum terikat perkawinan yang sah atau disebut dengan fornication yang sangat berbeda makna dengan overspel. Oleh sebab itu, tidak dapat serta merta digeneralisasi sebagai zina dan dirumuskan dalam rangkaian Pasal 484 RUU KUHP.
Dirumuskannya Pasal 484 ayat (1) huruf e sesungguhnya pula menciderai efektivitas hukum terhadap kasus perkosaan. Di samping sangat sulit untuk membuktikan tuduhan pemerkosaan, pembuktian delik pemerkosaan itu sendiri dibebankan kepada korban. Dengan demikian pasal ini justru berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan, menghalangi korban mengakses keadilan, dan juga akan menghalangi korban pemerkosaan lainnya untuk melaporkan kasusnya.
Terlebih, Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyu menuturkan bahwa dari kasus yang dilaporkan, 40 persen berhenti di kepolisian dan 10 persen lanjut ke pengadilan. Penghentian perkara di kepolisian tersebut didasarkan atas beberapa hal, seperti tindakan yang tidak terbukti sebagai tindak pidana dan tidak cukup bukti. Sehingga, perumusan delik ini dalam RUU KUHP justru akan mempersulit korban pemerkosaan dalam mengakses keadilan.
Sedangkan dalam ketentuan lain, yaitu dalam Pasal 488 RUU KUHP dituliskan: “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.” Berdasar rumusan tersebut, kemungkinan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang tidak memiliki surat nikah, ataupun pernikahan yang dianggap tidak sah oleh hukum negara menjadi lebih besar dengan beragam konteks yang mendasarinya, antara lain:
i. Penganut agama leluhur/penghayat kepercayaan atau penganut keyakinan lain yang “tidak diakui” oleh negara;
ii. Mereka yang perkawinannya tidak memiliki bukti karena tidak dicatatkan dan tidak diberikan surat oleh penghulu yang menikahkan;
iii. Poligami yang tidak sesuai dengan persyaratan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
iv. Pasangan yang tinggal di daerah terpencil, terluar, dan terdepan di Indonesia yang sering sulit mendapatkan akses ke layanan pemerintah, termasuk mendapatkan dokumen pernikahan; dan
v. Beberapa suku pedalaman yang menganggap perkawinan mereka tidak perlu dicatat, sehingga mereka tidak memiliki surat nikah.
Rumusan Pasal 488 RUU KUHP memiliki makna yang multitafsir, terutama terkait pemaknaan frasa “perkawinan yang sah”. Hal ini sesungguhnya bertentangan dengan rumusan norma dalam Buku I RUU KUHP yang menegaskan bahwa dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
Sementara, pemaknaan atas frasa “perkawinan yang sah” didasarkan kepada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dalam praktiknya tidak memberikan pengakuan perkawinan yang dilangsungkan atas dasar agama tertentu namun belum dicatat oleh negara; perkawinan yang dilakukan secara adat; perkawinan penganut aliran kepercayaan; dan perkawinan beda agama dan keyakinan; serta perkawinan yang tidak tercatat oleh negara atas dasar ketidakmampuan untuk menjangkau instansi pencatatan sipil atau ketidaksanggupan untuk membayar biaya administrasi perkawinan di lembaga resmi negara.
Kelompok dan lembaga yang melakukan penolakan atas adanya rumusan delik kesusilaan yang telah dipaparkan sebelumnya, di antaranya: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), LBH Jakarta, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Institute for Criminal Justice Reform serta beragam LSM lain yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Dasar argumen yang mereka bangun mengarah pada narasi atas perlindungan terhadap hak korban, terutama perempuan dan anak, kekhawatiran terhadap upaya kriminalisasi yang berlebihan, dan muatan pasal-pasal karet dan multitafsir dalam RUU KUHP yang dapat merugikan warga negara.
Dalam rangka menyebarluaskan pandangannya terkait isu ini, kelompok kontra sering mengadakan diskusi dan seminar publik, sekaligus membuat petisi online sebagai bentuk penggalangan dukungan atas apa yang mereka yakini. Dan ternyata, tidak sedikit dari kalangan anak muda terpelajar, generasi millenials, termasuk orang-orang yang punya minat dalam isu HAM untuk turut mendukung gerakan mereka.
b. Pandangan dari Pihak Pendukung Delik Kesusilaan
Salah satu lembaga yang sangat mendukung disahkannya delik kesusilaan dalam RKUHP, berupa perluasan pasal zina dan penolakan kumpul kebo adalah Aliansi Cinta Keluarga (AILA). AILA yang dalam gerakannya mayoritas dimotori oleh kaum ibu ini memiliki pandangan, bahwa revisi KUHP yang sedang dibahas oleh DPR di Parlemen perlu untuk didukung, bukan justru ditolak.
Revisi KUHP dianggap perlu dilakukan karena KUHP yang digunakan di Indonesia saat ini adalah produk kolonial Belanda yang tidak semua nilai maupun norma dasarnya berkesesuaian dengan Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia yang berketuhanan. Dalam hal ini, AILA memang lebih menekankan pada norma dan pandangan agama dalam menyusun argumen mereka.
Menurut AILA, Draft RUU KUHP terutama pasal perzinaan sudah cukup memenuhi rasa keadilan bagi mayoritas masyarakat Indonesia, terutama terkait pasal perzinaan. Dalam pasal 484 ayat (1) huruf e, perbuatan zina diluar konteks pernikahan akan dikenakan hukuman.
Bagi AILA, perluasan pasal zina adalah bentuk rekayasa sosial dari semakin banyaknya kasus perzinaan, pemerkosaan, pencabulan, sekaligus fenomena LGBT, dan aturan ini dibuat guna mencegah dan menekan perbuatan-perbuatan tersebut. Pasal ini juga merupakan delik aduan yang membutuhkan pelaporan dan proses hukum sesuai prosedur yang tersedia.
Jadi, tidak serta merta akan mengkriminalisasi pihak-pihak yang tidak bersalah, apabila pasal ini diberlakukan. Bahkan dalam wujud yang lebih konkret, AILA pernah mengajukan Judicial Review terhadap pasal-pasal kesusilaan ke Mahkamah Konstitusi (MK), meskipun putusan akhirnya MK menolak permohonan uji materi yang dilakukan oleh AILA.
Hal yang tidak jauh berbeda dengan kubu kontra juga dilakukan AILA untuk menyebarkan pandangannya terkait pasal-pasal zina. AILA kerapkali menyelenggarakan acara seminar dengan mengundang tokoh-tokoh dari kalangan dokter, psikolog, dan agamawan. Pembuatan petisi dukungan atas disahkannya delik kesusilaan dalam RKUHP juga dilakukan oleh AILA.
Pada prinsipnya, AILA menginginkan agar generasi bangsa terbebas dari hal-hal yang berpotensi merusak masa depan mereka lewat perbuatan zina, kumpul kebo, ataupun LGBT. Dengan disahkannya pasal-pasal perzinaan yeng telah diperluas tadi, AILA berharap tindakan-tindakan tercela semacam itu akan semakin menurun dan bisa dikendalikan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa baik pihak pro maupun kontra setuju bahwa harus ada revisi atas KUHP yang berlaku saat ini. Hal inipun diamini dan dikonkretkan oleh pemerintah dan DPR dengan memasukkan draft RUU KUHP dalam Prolegnas, selepas itu mulai didiskusikan dan dibahas di Parlemen, bahkan hampir disahkan beberapa bulan lalu.
Namun, muncul polemik ketika ada pertentangan terkait delik kesusilaan yang menyangkut perluasan dari pasal zina dan kriminalisasi terhadap praktik kumpul kebo. Kedua pihak yang bersebrangan mencoba untuk menarik dukungan publik, sekaligus di sisi lain, menekan DPR dan pemerintah untuk melaksanakan tuntutan mereka.
Pada akhirnya, hingga saat ini, pemerintah maupun DPR belum bisa memutuskan apakah akan mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU KUHP, dan kabar atas kasus ini justru semakin surut dan seakan menghilang ditelan bumi.