Jumat, Desember 19, 2025

Pluralisme Medis dan Masa Depan Tata Kelola Kesehatan Indonesia

Ernani Kusumawati
Ernani Kusumawati
Pharmaceutical and Food Inspector, BPOM RI/ Student at Master of Arts in Digital Transformation and Comeptitiveness, UGM
- Advertisement -

Paradigma biomedis telah lama menjadi fondasi utama dalam sistem kesehatan modern. Ia dibangun di atas pendekatan ilmiah yang menekankan objektivitas, standarisasi,dan pembuktian uji klinis. Dalam praktik kebijakan, paradigma ini diterjemahkan ke dalam protokol medis, sistem pembiayaan, pendidikan tenaga kesehatan, serta regulasi obat dan sistem kesehatan. Secara global, biomedis berkembang seiring dengan industrialisasi farmasi dan konsolidasi standar internasional, sehingga membentuk satu rezim pengetahuan yang dominan dalam tata kelola kesehatan diberbagai negara.

Dominasi paradigma biomedis membawa capaian signifikan bagi kesehatan masyarakat, terutama dalam pengendalian penyakit infeksi, peningkatan harapan hidup, dan pengembangan teknologi medis. Pada saat yang sama, ketergantungan yang tinggi pada satu pendekatan medis membentuk keterbatasan struktural dalam sistem kesehatan. Krisis kesehatan global dalam satu dekade terakhir memperlihatkan bagaimana sistem yang sangat bergantung pada rantai pasok farmasi global dan teknologi impor menjadi rentan terhadap gangguan eksternal. Ketahanan kesehatan di suatu negara semakin ditentukan oleh kemampuan negara tersebut dalam mengelola keragaman sumber daya dan pengetahuan medis yang dimiliki.

Pluralisme medis merujuk pada koeksistensi dan pemanfaatan berbagai sistem pengobatan dalam satu masyarakat, di mana individu secara aktif menggunakan kombinasi layanan biomedis, pengobatan tradisional, dan terapi komplementer dalam menangani masalah kesehatan mereka. Pilihan ini tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh pertimbangan nilai budaya, pengalaman penyembuhan, keterjangkauan biaya, serta akses terhadap fasilitas kesehatan.

Menurut World Health Organization (WHO), praktik pengobatan tradisional dan komplementer merupakan bagian penting dari sistem kesehatan global dan berkontribusi besar dalam penyediaan layanan kesehatan primer, khususnya di negara berkembang (WHO, 2023). Dalam kajian antropologi kesehatan, pluralisme medis dipahami sebagai fenomena umum di berbagai negara, yang mencerminkan fleksibilitas dan adaptasi masyarakat dalam merespons kompleksitas penyakit dan layanan kesehatan (Lock & Nguyen, 2018).

Pluralisme medis terbentuk karena sistem kesehatan selalu berinteraksi dengan konteks sosial tempat ia dijalankan. Praktik biomedis, pengobatan tradisional, dan berbagai terapi komplementer berkembang secara bersamaan dalam lingkungan yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, budaya, geografis, dan sejarah. Dalam proses pencarian kesembuhan, masyarakat mengombinasikan berbagai sistem pengobatan berdasarkan kebutuhan kesehatan, pengalaman sebelumnya (turun-temurun), ketersediaan layanan, serta pemaknaan terhadap penyakit dan kesehatan. Pola ini menunjukkan bahwa pluralisme medis berfungsi sebagai mekanisme adaptasi terhadap kompleksitas kebutuhan kesehatan.

Di tingkat global, pengakuan terhadap pluralisme medis semakin menguat. WHO melalui Global Traditional Medicine Strategy 2025-2034 menempatkan integrasi pengobatan tradisional dan komplementer sebagai bagian dari agenda sistem kesehatan berkelanjutan. Strategi ini menekankan pentingnya integrasi berbasis bukti dan tata kelola yang jelas untuk menjamin keamanan, efektivitas, serta akses yang setara. Secara normatif, kebijakan ini mencerminkan pergeseran dalam tata kelola kesehatan global menuju pengakuan atas keragaman sistem pengetahuan medis.

Bagi negara berkembang, dinamika ini memiliki makna strategis. Sistem kesehatan di negara berkembang beroperasi dalam keterbatasan sumber daya, ketimpangan akses layanan, serta ketergantungan tinggi terhadap produk dan teknologi kesehatan global. Dalam kondisi tersebut, ketergantungan yang besar pada paradigma biomedis memperbesar kerentanan struktural sistem kesehatan. Ketika pasokan terganggu atau biaya meningkat, kapasitas negara untuk menjamin keberlanjutan layanan kesehatan primer menjadi semakin terbatas. Diversifikasi pendekatan kesehatan kemudian menjadi bagian penting dari upaya membangun ketahanan sistem.

Di Indonesia, pluralisme medis tampak jelas dalam perilaku pencarian layanan kesehatan masyarakat. Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 59,1 persen penduduk masih mengonsumsi jamu. Temuan lapangan di Kabupaten Bandung dan West Manggarai memperlihatkan pola serupa, di mana masyarakat mengombinasikan berbagai sistem perawatan berdasarkan akses layanan, biaya, dan nilai budaya (Febriyanti, 2024; Dewi, 2025), menegaskan bahwa pluralisme medis merupakan bagian dominan dari praktik kesehatan masyarakat Indonesia.

Indonesia sendiri telah mengembangkan klasifikasi dan tata kelola pengawasan obat bahan alam, termasuk jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Namun, dalam praktik layanan kesehatan, obat bahan alam belum sepenuhnya memperoleh posisi institusional yang setara dengan terapi biomedis. Paradigma biomedis tetap menjadi rujukan utama dalam pembiayaan, pendidikan tenaga kesehatan, dan praktik klinis, sementara obat bahan alam lebih sering berada di luar sistem layanan formal. Kondisi ini memperlihatkan belum optimalnya pengetahuan lokal yang telah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Bagi Indonesia, pluralisme medis sangat relevan sebagai strategi pembangunan kesehatan jangka panjang. Ketahanan sistem kesehatan nasional menuntut diversifikasi pendekatan terapeutik dan optimalisasi sumber daya domestik, termasuk pemanfaatan obat berbahan alam. Ketika dikelola secara tepat dalam kerangka kebijakan kesehatan, pengobatan tradisional berkontribusi pada penguatan layanan kesehatan primer, perluasan akses masyarakat, dan pengurangan ketergantungan struktural terhadap rantai pasok farmasi global.

- Advertisement -

Perancangan kebijakan yang adaptif terhadap kondisi ini memerlukan pendekatan lintas disiplin yang mengintegrasikan ilmu kesehatan, ilmu hayati, serta ilmu sosial dan budaya, agar pengambilan keputusan mempertimbangkan dimensi klinis sekaligus dinamika sosial masyarakat.

Dalam kerangka tata kelola kesehatan nasional, pluralisme medis dapat ditempatkan sebagai bagian integral dari sistem yang resilien dan inklusif. Pendekatan ini membuka ruang bagi pengembangan layanan kesehatan berbasis komunitas yang kolaboratif, di mana pengobat lokal, tenaga medis, dan institusi kesehatan berinteraksi dalam ekosistem pelayanan yang terstandar dan saling menguatkan.

Di tengah tantangan masa depan seperti pandemi, peningkatan penyakit tidak menular, dan dampak krisis iklim, pengelolaan pluralisme medis berpotensi memperkuat ketahanan sistem kesehatan melalui pemanfaatan sumber daya lokal, pelibatan masyarakat, dan dukungan pembiayaan publik yang memadai, sekaligus meneguhkan arah pembangunan kesehatan yang adaptif dan berkelanjutan.

Referensi 

  • Febriyanti, R. M. (2024). Knowledge, attitude, and utilization oftraditional medicine and medical pluralism in Indonesia. BMC ComplementaryMedicine and Therapies. https://doi.org/10.1186/s12906-024-04368-7
  • Lock, M., & Nguyen, V.-K. (2018). Medical pluralism. In TheEncyclopedia of Medical Anthropology. https://www.anthroencyclopedia.com/entry/medical-pluralism
  • World Health Organization. (2023). Traditional medicine holds promise for global health. Website
Ernani Kusumawati
Ernani Kusumawati
Pharmaceutical and Food Inspector, BPOM RI/ Student at Master of Arts in Digital Transformation and Comeptitiveness, UGM
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.