Isu sampah plastik kembali menghangat menjelang KTT G20 di Bali. Hasil kajian Sungai Watch, sebanyak 90 ton sampah plastik mencemari sungai di Bali setiap harinya. Ditilik dari data OurWorldinData, di dunia secara umum, jumlah sampah plastik sudah mencapai angka 9,54 trilliun ton. Angka yang sangat fantastis mengingat plastik baru ditemukan 70 tahun yang lalu.
Apabila tidak dikendalikan, bukan tidak mungkin angka ini akan bertambah dengan signifikan. Salah satu upaya pengendalian sampah plastik di Indonesia, yang telah dilakukan, adalah dengan menggunakan plastik biodegradabel. Penggunaannya pun semakin menjamur di Indonesia. Ini pertanda yang bagus, terutama untuk mengurangi penggunaan plastik konvensional yang sulit terurai. Walaupun demikian bukan berarti plastik biodegradabel menjawab semua masalah tentang plastik. Di sisi lain, penggunaan plastik jenis ini justru menimbulkan masalah lain, yang mungkin, lebih serius.
Mudah terurai
Plastik biodegradabel didesain untuk mudah terurai oleh lingkungan. Plastik jenis ini akan terurai oleh aktivitas mikroorganisme di tanah menjadi air, karbon dioksida dan biomassa. Waktu penguraiannya pun bervariasi antara 14 hari sampai 2 tahun. Jauh lebih singkat daripada sekitar 20 sampai 450 tahun yang perlukan oleh plastic konvensional. Setelah hancur, biomassa sisa plastik ini akan menyatu dengan tanah. Inilah keunggulan platik biodegradabel dibandingkan dengan plastik biasa. Volume setelah terurai di tanah jauh lebih kecil sehingga tidak “memenuhi” lingkungan.
Tidak dapat dimakan
Meskipun mudah terurai oleh lingkungan, bukan berarti plastik ini aman untuk dikonsumsi. Dalam hal ini, plastik biodegradabel sama bahayanya dengan plastik konvensional. Plastik biodegradabel terutama dibuat menggunakan bahan-bahan seperti asam laktat, butylene succinate, hidroksi alkanoat, propilen karbonat dan butylenadipate-co-terephthalate. Bisa juga plastik ini dibuat dari bahan alam seperti serat bambu dan selulosa. Namun, pada proses pembuatannya plastik jenis ini juga masih menggunakan bahan tambahan kimia untuk memperkuat dan mempercantik tampilannya. Mayoritas komponen-komponen ini bersifat toksin atau racun untuk makhluk hidup.
Bukan plastik sekali pakai
Yang perlu dipahami, plastik biodegradabel bukanlah plastik sekali pakai. Plastik jenis ini memang biasanya lebih rapuh daripada plastik konvensional, namun bukan berarti plastik ini harus segera dibuang. Plastik ini masih bisa digunakan berulang kali (reuse) sampai rusak, baru kemudian dibuang di tempat yang semestinya. Jadi jangan takut untuk menggunakan plastik ini berulang kali hingga rusak. Plastik ini hanya akan terurai apabila ditempatkan di kondisi tertentu seperti bak pengomposan, tanah dan di air yang kaya akan mikroorganisme pengurai.
Bukan solusi yang baik untuk Indonesia
Hasil kajian terbaru pada jurnal Applied Soil Ecology menunjukkan bahwa plastik biodegradabel memberikan dampak buruk pada lingkungan terutama pada lahan pertanian. Sifat mudah terurai dari plastik ini akan memudahkan migrasi bahan tambahan plastik yang bersifat toksin ke tanah dan air. Migrasi ini tentunya akan menambah toksisitas tanah dan meningkatkan peluang bahan kimia tersebut terserap oleh tanaman dan dikonsumsi oleh hewan dan manusia.
Akibatnya, pertumbuhan tanaman akan terganggu yang menyebabkan berkurangnya produktivitas serta secara berangsur-angsur akan menurunkan tingkat kesuburan tanah. Selain itu, besar kemungkinan hasil uraian dari plastik ini adalah berupa partikel plastik berukuran mikro dan nano. Partikel dalam ukuran ini sangat berbahaya karena dapat dikonsumsi secara tidak sadar oleh hewan dan manusia karena ukurannya yang sangat kecil. Hal ini tentunya akan sangat membahayakan kesehatan kita.
Dengan demikian, penggunaan plastik biodegradabel bukan merupakan solusi yang sesuai untuk Indonesia yang notabene adalah negara agraris. Terlebih lagi, pengelolaan sampah di Indonesia pun masih carut-marut. Sebagian besar sampah di Indonesia diolah dengan metode sanitary landfill, yaitu ditumpuk di tanah secara berlapis. Kontak dengan tanah dan kompos yang intensif terjadi pada tempat pembuangan sampah akan mempercepat migrasi komponen kimia berbahaya ke lingkungan.
Selain itu, sebagian masyarakat kita belum terbudaya untuk membuang sampah secara selektif (organic dan anorganik) di tempat yang semestinya. Masih banyak sungai, tanah dan laut yang bermasalah dengan polusi sampah, terutama sampah plastik. Dengan alasan ini, penggunaan plastik biodegradabel di Indonesia mungkin akan justru memperkeruh masalah lingkungan hidup terutama di bidang agraria.
Pola pikir perlu dirubah
Plastik biodegradabel bukanlah satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi sampah plastik. Plastik ini juga bukan solusi sapu jagat yang akan mengatasi masalah sampai ke akarnya. Pola pikir masyarakat perlu dirubah dengan edukasi yang terus menerus. Kebiasaan untuk reuse plastik untuk keperluan sehari-hari perlu dibudayakan untuk mengurangi volume pemakaiannya. Harus dibudyakan untuk membuang barang hanya apabila sudah tidak layak pakai. Penggunaan wadah dari bahan-bahan alam seperti goni, anyaman bambu, tas kertas dan tas kain katun juga bisa jadi solusi untuk menghindari penggunaan plastik.
Pemerintah juga tentunya punya andil besar dalam penanganan sampah plastik. Edukasi kepada masyarakat perlu dilakukan secara massive diikuti dengan penambahan infrastruktur pengolahan sampah yang memadai. Kebijakan regulasi pun perlu didesain sesistematis mungkin untuk masyarakat beralih dari produk plastik secara berangsur-angsur. Jika tidak, bukan tidak mungkin solusi yang ada sekarang ini adalah bom waktu yang siap meledak dahsyat di masa depan.