Masyarakat tak begitu terkejut ketika Hakim Agung Artidjo Alkostar yang memimpin sidang peninjauan kembali (PK) mantan Gubernur Jakarta Ahok, mengetok palu usai memutuskan PK Ahok ditolak.
Tak ada alasan yang dikemukakan sang hakim, mengapa PK Ahok ditolak. Usai sidang, suasana senyap, seolah publik yang hadir di sidang maupun Ahok beserta pengacaranya, menerima keputusan itu dengan pasrah.
Juru bicara MA, Suhadi, Senin (26/3/2018) mengatakan, majelis hakim tidak mengabulkan PK yang diajukan Ahok. “Alasannya (mengajukan PK) tidak dikabulkan majelis hakim. Pertimbangan penolakkan belum bisa saya beri tahu” ujar Suhadi kepada awak pers.
Seperti diketahui, Ahok mengajukan PK tanggal 2 Februari 2018 lalu. Sidang perdana digelar Senin (26/2/2018) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Alasan Ahok mengajukan PK, salah satunya ialah soal vonis 1,5 tahun penjara terhadap Buni Yani di Pengadilan Negeri Bandung. Buni Yani adalah orang yang disebut-sebut mengubah video Ahok yang mengutip surat Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu.
Tak terdengar suara nyaring kesedihan dan kekecewaan para pendukung Ahok maupun pengacaranya. Sebelumnya, mereka memang sudah menduga bahwa nasib PK Ahok di tangan Hakim Artijo, posisinya 50:50.
Toh faktanya, Ahok kalah. Tak ada hal lain yang perlu dilakukan Ahok, selain menerima dan mensyukuri keputusan itu, walaupun pahit tapi itu mungkin jalan terbaik.
Seperti diketahui, Artidjo merupakan hakim agung spesialis kasus korupsi. Sejumlah pejabat korup berhasil dijebloskan ke penjara, diantaranya Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, Anas Urbaningrum dan pengacara kondang Otto Cornelis Kaligis.
Sebelum sidang PK Ahok berlangsung, sejumlah media juga sudah santer memberitakan dan menyebut-nyebut bahwa Artijo merupakan sahabat dekat imam besar Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab. Bahkan, Artijo disebut pernah menjadi penasehat hukum FPI, sebuah ormas yang selama ini dikenal anti Ahok.
Di sisi berbeda, kelompok yang anti Ahok merasa puas dengan keputusan Hakim Artijo. Mereka menang dua kali, setelah sebelumnya berhasil menjebloskan Ahok ke penjara dengan tekanan aksi massa, kini Ahok gagal memenangkan PK-nya di MA. Sebagian pihak, mungkin menilai kekalahan PK Ahok merupakan bentuk ketidakadilan hukum.
Sebenarnya, persoalan adil dan tidak adil, tidak serta merta muncul begitu saja dalam penolakan PK Ahok. Hakim Artijo pasti punya alasan khusus untuk menolak PK Ahok. Namun, persoalan menjadi rumit, ketika Hakim Artijo tidak menjelaskan alasan penolakan PK Ahok. Wajar saja, kalau publik bertanya-tanya.
Persoalan lain yang juga tidak kalah pentingnya ialah seandainya PK Ahok diterima dan Ahok divonis bebas, dampak apa yang akan terjadi? Sudah dapat dipastikan, Jakarta akan kembali bergemuruh dengan berbagai aksi demo dari kelompok-kelompok muslim, termasuk FPI yang anti Ahok.
Artijo juga akan menjadi sasaran ‘tembak’ aksi massa. Lebih parahnya lagi, mereka akan menuding sistem hukum tidak adil dan telah direkayasa. Segudang alasan lainnya, pasti akan mereka ungkapkan. Intinya, mereka menolak Ahok dibebaskan. Mungkin, pertimbangan-pertimbangan di atas itulah yang masuk dalam nalar hakim Artijo untuk menolak PK Ahok.
Persoalan pun menjadi panjang, kalau memang alasan-alasan di atas menjadi dasar penolakkan PK Ahok, maka publik akan kembali bertanya, apakah kekuatan hukum kalah oleh tekanan aksi massa?
Terlepas dari berbagai argumen yang disampaikan banyak pihak tentang keadilan dan ketidakadilan terhadap penolakan PK Ahok, ternyata masalah keadilan dan ketidakadilan hukum sangatlah kompleks. Plato seorang pemikir idealis abstrak berpendapat bahwa keadilan berada diluar kemampuan manusia biasa.
Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Dengan kata lain, ketidakadilan menurut Plato sangat terkait dengan perubahan masyarakat. Apa yang disampaikan Plato sangat tepat untuk melihat kasus penolakan PK Ahok. Artinya, perubahan masyarakat (terutama kelompok yang anti Ahok) akan melakukan perlawanan, jika PK Ahok dikabulkan. MA dinilai tidak adil.
Aristoteles dalam bukunya Nicomachean Ethics, menyebutkan bahwa keadilan sebagai bagian dari nilai sosial yang memiliki makna amat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial.
Terkait dengan pemikiran Aristoteles ini, apabila PK Ahok dikabulkan, maka MA bisa dinilai telah melanggar hukum karena dianggap menodai nilai sosial versi kelompok-kelompok yang anti Ahok.
Sedangkan menurut paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dan ketidakadilan hukum dapat dilihat secara luas. Cara satu-satunya untuk mengukur sebuah keputusan hukum itu dinilai adil atau tidak adil adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare).
Nah, dalam konsep hukum utiliranianisme ini, masyarakat sebenarnya sudah bisa menyimpulkan alasan hakim Artijo menolak PK Ahok.