Rabu, April 24, 2024

PJJ dan Ketimpangan Akses Pendidikan

Oman Baiturrahman
Oman Baiturrahman
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Terhitung semenjak Maret 2020, Indonesia tengah mengalami wabah virus Corona/Covid -19. Akibatnya, hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat Indonesia mengalami disrupsi. Semua pola interaksi normal berubah menjadi new normal (normal baru). Tak terkecuali sektor pendidikan. Mau tidak mau, PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) harus diterapkan sebagai solusi untuk memutus rantai penyebaran virus.

Kini memulai tahun ajaran baru terasa sangat berat. Karena, proses belajar-mengajar yang kerap dilangsungkan seluruh lembaga pendidikan harus berubah polanya. Melalui daring atau PJJ. Tetapi kondisi ini sangat dilematis bagi para guru. Pasalnya selain masalah infrastruktur sekolah, tak semua murid memiliki alat untuk melangsungkan pembelajaran jarak jauh. Sedangkan pemerintah memastikan kelangsungan pendidikan harus tetap berjalan.

Perkara kelangsungan pembelajaran sendiri, Kementerian Pendidikan dan Kebubudayaan (Kemendikbud) memberikan opsi. Pertama, membolehkan sekolah dengan tatap muka hanya kepada daerah yang berzona hijau, namun tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ketat dan pembukaan sekolah dilakukan secara berskala dimulai dari SMP dan SMA/SMK. Kedua, Kemendikbud memberikan otoritas kepada Kepala Daerah terkait pembukaan sekolah. Selain Kepala Daerah, Kepala Sekolah dan Orang Tua juga punya pilihan antara pembelajaran tatap muka atau jarak jauh.

Namun sampai saat ini banyak sekolah yang masih menggunakan metode PJJ sebagai alternatif untuk tetap melangsungkan pembelajaran selama Pandemi. Walaupun, metode ini kerap mendapatkan kritik dan masukan soal ketersedian gawai dan akses yang memadai di beberapa daerah di Indonesia.

Data Kemendikbud pada April 2020 menunjukan sekitar 40.779 atau sekitar 18% sekolah dasar dan menengah tidak ada akses internet dan 7.552 atau sekitar 3% sekolah belum terpasang listrik, sedangkan akses peserta didik dalam pembelajaran daring lebih rendah lagi karena ketidakpunyaan gawai sebagai syarat PJJ.

Di Papua pada April 2020, LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) mendata dari 915 sekolah hanya 45,9% bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh. Selebihnya menggunakan pembelajaran luring (luar daring). LPMP juga mendata ada 14 daerah yang sama sekali tidak melaksanakan pembelajaran jarak jauh, diantaranya daerah Puncak, Puncak Jaya, Yalimo, Mamberamo Tengah, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, Lanny Jaya, Nduga, Asmat, Boven Digul, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Mamberamo Raya (Kompas/13/07).

Alasannya adalah, selain akses internet yang susah, ketidakpunyaan gawai/HP menjadi kendala utama PJJ. Bahkan di kota, seperti Jayapura dan Mimika tidak semua orang tua mampu membelikan anaknya gawai sebagai sarana pembelajaran.

Selama pembelajaran daring, kepemilikan gawai terhadap setiap individu tentu menjadi syarat mutlak. Ditambah lagi akses internet yang harus memadai. Hal ini menjadi tekanan tersendiri bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan selama pembelajaran daring. Tentu saja ini menjadi pukulan bagi orang tua dengan status ekonomi lemah. Bagaimana tidak? untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja harus putar otak, ditambah lagi harus membelikan perangkat pembelajaran bagi anaknya, seperti gawai dan kuota internet.

Seperti dilansir dalam Harian Kompas, kesulitan dialami salah seorang wali murid, Dance Latumutuani (41) warga desa Taniwel, Maluku. Dance mengeluhkan bahwa pembelajaran daring sangat memberatkan baginya. Karena perangkat yang harus digunakan oleh anaknya, Alan Latumutuani (11) sebuah ponsel genggam lengkap dengan aplikasi internet harganya 1,8 juta, belum lagi biaya kuota internetnya. Tentu saja warga dengan garis kemiskinan di bawah sangat sulit mendapatkan ponsel dengan harga segitu (Lihat: Jangankan Beli HP, Beli Beras Saja Susah).

Kondisi ini akhirnya memaksakan sebagian guru untuk terjun ke lapangan langsung menemui anak muridnya satu persatu. Agar memastikan bahwa muridnya tetap mendapatkan pendidikan. Namun, metode seperti ini tentu tidak bisa dilakukan terus menerus selama Pandemi. Sedangkan negara dituntut untuk menjamin bahwa warganya tetap mendapatkan pendidikan yang layak. Sesuai dengan amanah UUD 1945 tentang hak mendapatkan pendidikan.

Peran Mencerdaskan 

Disrupsi terhadap dunia pendidikan di Indonesia selama Pandemi menimbulkan ketimpangan sosial yang monohok. Para pengajar dituntut keras untuk meninggalkan pola lama dalam proses pembelajaran, istilah populer sekarang disebut sebagai normal baru. Pertanyaannya, normal baru (new normal) yang seperti apa yang telah dilakukan dalam keberlangsungan pendidikan di Indonesia? sejauh ini, pembelajaran daring secara jarak jauh menjadi paling banyak dilakukan beberapa sekolah di Indonesia. Baik di kota maupun di desa sekalipun.

Di era new normal seperti ini, inovasi dalam mereformasi aktivitas pendidikan adalah suatu hal yang mutlak diperlukan. Inovasi tersebut mampu direalisasikan ketika pemerintah secara maksimal melibatkan segala komponen masyarakat, seperti komunitas  pendidikan, lembaga-lembaga swasta yang aktif dalam penyadaran literasi masyarakat dan yang tak kalah penting adalah peranan media khususnya stasiun televisi (TV).

Dalam pikiran penulis, selain mengelaborasi elemen masyarakat untuk terjun langsung dalam pelaksanaan pendidikan, nampaknya tak ada cara lain dalam masa Pandemi ini selain mengevaluasi kurikulum yang normal diterapkan. Pasalnya, banyak para guru/pendidik yang masih memikirkan ketuntasan belajar anak. Maka, dalam kondisi seperti ini seharusnya kurikulum yang diterapkan bukan kurikulum yang mengejar standar nilai akademik/kriteria ketuntasan minimal (KKM) melainkan soft skill akademik siswa. Oleh sebab itu, evaluasi kurikulum menjadi suatu hal yang harus segera dibahas oleh pemerintah.

Hari ini, peran civil society menjadi suatu hal yang sangat diperlukan. Jika hanya menggantungkan pemerintah untuk menuntaskan masalah pendidikan dalam kondisi seperti ini, sama saja menggantungkan sebuah harapan yang semu. Sebab, jika mau jujur, masalah pendidikan di Indonesia selalu didorong oleh kekuatan organisasi masyarakat (civil society) jauh sebelum pembentukan negara Indonesia. Seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis dll.

Oleh karena itu, peran mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama di tengah-tengah situasi yang mengekang seperti saat ini, diperlukan kekuatan extraordinary dari berbagai macam elemen masyarakat. Kita perlu memastikan jangan sampai hanya karena akses pendidikan dengan pembelajaran jarak jauh seperti saat ini para siswa harus berhenti belajar apalagi sampai putus sekolah.

Oman Baiturrahman
Oman Baiturrahman
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.