Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menyunat vonis Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Alasan yang diberikan dalam putusan bermuatan narasi domestikasi perempuan. Sekilas, argumentasi hukum hakim menjunjung tinggi kesetaraan perempuan dan memuliakan posisi Pinangki sebagai ibu. Tentu harapannya adalah untuk menarik simpati semua aliansi perempuan yang selama ini menuntut kesetaraan.
Perjuangan mendapatkan keadilan yang ramah perempuan dan sesuai dengan kondisi kodrati perempuan seringkali menggunakan teori Feminist Jurisprudence Hary Chand sebagai landasan gerakannya. Dalam kajian feminist jurisprudence, problematika subordinasi perempuan dipelajari untuk mengetahui sifat dan jangkauannya, proses terjadinya serta persoalan-persoalan yang selalu menempatkan perempuan pada posisi tersubordinasi (Hans Kelsen:1971).
Teori ini digunakan untuk menganalisis kasus perkosaan terhadap perempuan yang selama ini seringkali berperspektif laki-laki. Perempuan korban perkosaan acapkali disalahkan karena dianggap penampilannya menarik syahwat laki-laki, atau kegiatan diluar rumah yang ia lakukan di malam hari. Dalam kasus seperti ini perlu tinjauan mengenai perspektif perempuan ketika memutuskan vonis pada terdakwa.
Contoh lain adalah perlunya memberikan fasilitas penjara yang berbeda bagi narapidana laki-laki dan perempuan. Perlu dilakukan pemetaan mengenai perbedaan fasilitas yang berkaitan dengan fungsi biologisnya. Perempuan mengalami menstruasi setiap bulan sehingga membutuhkan kamar mandi dan toilet dengan rasio lebih banyak dibanding laki-laki. Perempuan juga harus menyusui jika masih memiliki balita, maka perlu ruangan khusus laktasi. Perempuan juga membutuhkan tempat pembuangan pembalut yang aman dan bersih.
Maka untuk hal-hal tertentu, hukum bagi laki-laki dan perempuan memang harus dibedakan berdasarkan kodrat biologisnya yang tak tergantikan. Dan ada beberapa pertimbangan dengan perspektif perempuan seperti dalam pemberian vonis bagi single parent yang mencuri untuk memenuhi kebutuhan pokok anaknya.
Peduli Perempuan atau Peduli Pinangki?
Pinangki memang seorang perempun dan sekaligus ibu namun sama sekali tidak dalam kondisi tersubordinasi. Ia melakukan kejahatan tindak pindana korupsi dengan penuh kesadaran. Sebagai seorang jaksa yang seharusnya memberikan tuntutan pada koruptor, ia justru bertemu dengan Djoko Candra seorang buronan koruptor yang saat itu ia temui di Malaysia.
Memberikan potongan hukuman hanya karena Pinangki adalah seorang perempuan justru bertentangan dengan tujuan perjuangan kesetaraan gender. Menurut Graham D.S dalam buku Keberagaman Gender di Indonesia, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan juga berlaku dalam perlindungan hukum represif. Ketika keduanya tidak taat hukum dan melakukan perbuatan yang masuk dalam ranah tindak pidana, akan diberikan hukuman yang sesuai dengan kesalahannya. Kesetaraan gender sama sekali tindak menghendaki untuk men-previlage kan salah satu jenis gender dan mensubordinasi gender lainnya.
Ambiguitas dalam memaknai kodrat dan tradisi juga sangat kentara dalam kasus ini. Membebankan pendidikan anak hanya kepada ibu seolah memang kodratnya. Kodrat adalah sesuatu yang bersifat given dan tidak bisa diganggu gugat. Untuk perempuan, yang termasuk kodrat adalah menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, menyusui. Sedangkan meletakkan perempuan diranah domestik adalah tradisi patriarkis.
Narasi domestikasi yang hanya meletakkan ibu sebagai aktor tunggal dalam pendidikan anak sekilas memang sangat pro terhadap perempuan. Namun justru mengindikasikan ketidakpahaman hakim terhadap peran orang tua dalam memberikan pendidikan anak. Dalam Qs. Al Lukman ayat 13 jelas disebutkan bahwa kewajiban mendidik anak ada pada kedua orang tuanya. Pasal 45 ayat 1 UU Perkawinan no 1 Tahun 1974 juga menegaskan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Sebagaimana seorang suami yang menjadi narapidana meskipun sebagai tulang punggung keluarga, namun ketika ia menjalani hukuman, maka istri yang mengantikan perannya dalam mencari nafkah. Pun seharusnya demikian dengan Pinangki, ia masih memiliki suami maka pendidikan dan pengasuhan anaknya harusnya digantikan oleh suaminya. Pun ia melakukan korupsi bukan karena ia kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Ia dengan sangat sadar berkeinginan untuk memperkaya dirinya dengan menerima suap dengan nilai milyaran rupiah. Sebuah kejahatan kemanusiaan yang mengorbankan jutaan rakyat Indonesia.
Putusan hakim Pengadilan Tinggi atas vonis Pinangki syarat akan politisasi gender. Menempatkan gerakan perempuan sebagai suatu upaya untuk mendapatkan previlage bukan untuk mendapatkan hak dan hukuman yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Diksi ibu dan perempuan dijadikan tameng untuk menggugah emosional dan psikologis emak-emak di seluruh Indonesia. Namun justru berdampak pada sinisme publik terhadap gerakan kesetaraan perempuan itu sendiri.
Maka perlu atensi khusus dari Komisi Yudisial, seluruh pemangku kebijakan dan ahli hukum dalam menanggapi kasus ini. Termasuk mengusut argumentasi hakim apakah benar karena kepeduliannya terhadap perempuan ataukah ada faktor lain. Namun sayangnya, JPU menerima vonis Pengadilan Tinggi dengan hati legowo. Tak ada kasasi yang diajukan, harapan masyarakat akan tegaknya hukuman bagi koruptor pupus. Dan berakhir dengan menjamurnya meme yang bermuatan peyoratif terhadap perempuan, seperti “hamil dulu aja terus korupsi, biar kaya Pinangki”.