Jumat, Maret 29, 2024

Adilkah Korting Vonis Jaksa Pinangki?

Ayub Simanjuntak
Ayub Simanjuntak
Pengajar di Unity School Bekasi

Seorang  jambret yang kedapatan membawa kabur tas korban yang berisi barang berharga (menurut pikiran si jambret) tiba-tiba dikepung massa, maka kemungkinan besar atau keniscayaan ia akan babak belur bukan tidak mungkin meregang nyawa entah karena dibakar atau kehabisan darah akibat luka disekujur tubuh. Itu realitas sehari-hari yang dipertontonkan di media baik cetak maupun elektronik. Main hakim sendiri adalah tindakan masyarakat yang kecewa mungkin terhadap sistem peradilan kita.

Jerat hukuman dari KUHP yang dikenakan pada kasus-kasus penjambretan biasanya Pasal 365 tentang pencurian dengan kekerasan ancaman pidana paling lama sembilan tahun atau bias lebih berat kalau dilakukan bersama-sama, mengakibatkan korban terluka berat dan mengakibatkan kematian. Yang terakhir dapat diancam dengan pidana maksimal lima belas tahun penjara.

Bila kita mengamati beberapa kasus yang viral, maka seringkali aksi kriminal itu dilakoni oleh residivis atau seseorang yang katakanlah yang pasti orang kebanyakan, hampir tidak pernah ada seseorang yang memiliki gelar sarjana hukum apalagi doktor bidang hukum melakukan tindak pidana penjambretan.

Tetapi beberapa hari terakhir ini masyarakat kembali shock dengan seorang aparat penegak hukum, seorang jaksa yang bergelar doktor bidang hukum melakukan tindak pidana suap dan pencucian hukum dan telah divonis 10 tahun penjara dengan denda 600 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sebagai masyarakat biasa kita memahami hukuman diatas adalah wajar mengingat yang bersangkutan tentu sadar dan paham bahwa tindakan penyuapan dan pencucian uang adalah menyalahi kodrat sebagai penegak hukum. Tugas penegak hukum adalah memastikan hukum ditegakkan meskipun langit runtuh. Tentu sulit membayangkan seorang dengan tingkat pendidikan tertinggi dan gaji serta tunjangan yang cukup akan mau melakukan hal tersebut kecuali karena nafsu dan keserakahan semata. Only God knows!

Kalau tindakan Kriminalitas jalanan yang diancam pidana penjara umumnya soal perut, maka pada kasus jaksa ini terlihat ada motif yang lebih. Kekuasaan, pride, nafsu. Bisa semuanya!Kemudian kita mendengar bahwa Pengadilan Tinggi DKI memotong vonis 10 tahun penjara menjadi hanya 4 tahun penjara. Adapun pertimbangan majelis hakim adalah:

“Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai jaksa. Oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik,” demikian disebutkan dalam laman putusan Mahkamah Agung (MA) seperti dilansir dari Antara, Selasa (15/6/2021).Hakim juga mempertimbangkan yang bersangkutan memiliki anak berusia empat tahun dan layak diberi kesempatan mengasuh dan merawat anaknya tersebut.

Tentu kita tidak terlalu mengomentari teknis putusan hakim tetapi yang menjadi sorotan adalah mengapa pada kasus Angelina Sondakh misalnya hal tersebut tidak terjadi?

Angelina Sondakh yang disangkakan menerima pemberian uang senilai Rp 2,5 miliar dan 1.200.000 dollar Amerika dari Grup Permai pada tahun 2013 silam.

Belakangan, Angelina melakukan banding ke Pengadilan Tinggi yang justru memperberat vonisnya menjadi 3 kali lipat menjadi 12 tahun penjara dan denda 500 juta ditambah kewajiban membayar uang pengganti senilai 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar Amerika.Merasa tidak puas kemudian sampai ke Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan hukumannya menjadi 10 tahun dan denda 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Saya berpikir Angelia Sondakh waktu itu adalah anggota DPR yang adalah jabatan politis. Ia juga tidak memiliki latar belakang ilmu hukum kebetulan juga memiliki seorang anak berusia 4 tahun pada saat itu, tetapi mengapa vonisnya sangat jauh berbeda.

Logika masyarakat seperti saya adalah makin seseorang itu diminta tanggung jawab lebih seperti penegak hukum: polisi, jaksa, hakim dan anggota KPK semestinya hukuman yang diberikan karena kesengajaan korupsi justru makin memperberat hukuman bukan justru mendapat korting.

Atau kalau memang pertimbangan memiliki anak dan menyesal bias mendapat keringanan tentu penjambret atau copet di terminal-terminal yang sudah menyesal dan memiliki anak kecil bolehlah mendapat sekitar enampuluh persen keringanan hukuman sekali lagi agar memenuhi rasa keadilan masyarakat

Perlu sekali lembaga peradilan dan hukum memberi mungkin semacam penjelasan atau edukasi kepada masyarakat biasa yang masuk logika agar menjadi jelas dan pertanyaan-pertanyaan dalam hati masyarakat bisa paling tidak terjawab.

Ayub Simanjuntak
Ayub Simanjuntak
Pengajar di Unity School Bekasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.