Sabtu, Oktober 5, 2024

Pilpres dan Diplomasi: Potensi Smart Power Indonesia

joewilliam
joewilliam
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, penggemar studi politik keamanan dan regionalisme ASEAN.

30 Maret kemarin, publik kembali disajikan oleh debat terbuka capres bertemakan ideologi, pemerintahan, hankam, dan hubungan internasional. Masing-masing pihak mengedepankan ideologi pancasila dan inovasi sebagai terapan dasar. Namun, perbedaan pernyataan keduanya sangat tampak dalam diskusi hubungan internasional atau HI.

Jokowi mengutamakan kekuatan perdagangan dan identitas Indonesia sebagai mediator internasional. Sementara Prabowo memproyeksikan pentingnya kekuatan pertahanan keamanan dalam melakukan diplomasi. Pernyataan ini sangat kontradiktif dengan kebijakan luar negeri Indonesia, bahkan cenderung bermanuver total.

Prabowo mempersepsikan diplomasi rezim petahana sebagai model ‘Mr.Nice Guy’, yang dianggapnya lemah dalam dunia internasional. Padahal, diplomasi tersebutlah yang mengantarkan Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020. Ini membuktikkan adanya kepercayaan dunia internasional terhadap konsep kebijakan dinamis yang dikemban Indonesia.

Nyatanya, sindiran ‘Mr.Nice Guy’ oleh Prabowo lebih dikenal dengan istilah diplomasi Middle Power didalam kontestasi global. Gelar Middle Power dimiliki oleh negara yang tidak besar maupun kecil, baik secara ekonomi dan militer. Tetapi, negara Middle Power mempunyai kemampuan istimewa yang tidak dimiliki entitas negara lainnya

Kemampuan tersebut adalah kharisma untuk mempengaruhi perkembangan dinamis dunia seperti mediasi konflik dan kebijakan negara besar. Lebihnya, pengkategorian kekuatan tengah hanya diberikan kepada negara yang mendapatkan kepercayaan universal seperti Indonesia.

Lalu, apakah benar sekarang Indonesia merupakan negara yang lemah diplomasinya ? Mari kita lihat terlebih dahulu implementasi kebijakan Middle Power Indonesia sekarang ini.

Diplomasi Middle Power Indonesia

Dalam debat kemarin, Jokowi mengemukakan pentingnya Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim untuk memberdayakan potensinya. Tentu saja, didasari pada posisi geostrategis Indonesia yang terletak diantara banyak isu konfliktual global. Seperti konflik Palestina, teror ISIS, persekusi Etnis Rohingya, dan konflik Mindanao di Filipina Selatan.

Nyatanya, pemanfaatan potensi Muslim Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun sebelumnya. Di institut RSIS Singapura Oktober 2018 lalu, KH. Ma’aruf Amin menyatakan pentingnya membangkikan prinsip Islam Wasatiyah atau Islam jalan tengah di Indonesia. Tidak lain demi pembangunan citra Indonesia berkemajuan yang toleran dan dapat diterima keseluruhan pihak regional.

Terbukti implementasinya seperti di Asia Tenggara. Indonesia dipercayai oleh Filipina dan Front Liberasi Islam Moro (MILF) dalam melakukan pembangunan perdamaian di Mindanao. Atau pemberian kepercayaan Myanmar terhadap Indonesia dalam melakukan misi kemanusiaan di Provinsi Rakhine.

Bahkan, Indonesia berencana membentuk agensi kemanusiaannya sendiri hingga pendanaan Rp1 Triliun rupiah untuk jangka panjang. Hal tersebut akan mempermudah kapasitas penyaluran bantuan diluar Asia Tenggara, seperti Palestina dan Afganistan.

Walaupun nyatanya, Indonesia belum mempunyai kapabilitas dalam menjalankan peran negara Middle Power secara penuh, dari sisi pendanaan hingga SDM. Namun, konsistensi ditambah perbaikan internal kedepannya dapat semakin menaikkan kemampuan Indonesia. Tidak menutup kemungkinan, kedepannya Indonesia dapat turut andil dalam misi negosiasi lainnya seperti antara Arab Saudi dengan Iran. Ataupun misi kemanusiaan seperti di Yaman, Mali, dan Somalia.

Perdagangan atau Pertahanan 

Prabowo menyatakan kekhawatirannya akan kedaulatan bangsa apabila perdagangan bebas terus dilakukan. Sehingga menurutnya, perdagangan wajib dirubah prinsipnya menjadi nasionalisme ekonomi yang menguatkan proteksionisme dan swasembada ekonomi, namun akankah efektif kedepannya ?

Kita ambil contoh sektor produksi ekspor minyak kelapa sawit (CPO). Dimana tahun 2016, Indonesia menjadi pengekspor utama CPO hingga mencapai 36 juta metrik ton, atau 65% produksi dunia. Namun, muncul sikap konfrontatif Uni Eropa berupa eliminasi impor CPO global dan sikap proteksionisme India. Dampaknya, 9 juta tenaga kerja dan 10% total ekspor Indonesia terancam kehilangan pemasukannya.

Menurunnya CPO berjalan sejajar dengan menghilangnya FDI. Berimplikasi terhadap hilangnya APBN dan stabilitas wilayah dari segi politis maupun ekonomis. Beruntung, pemerintah menjalankan serangkaian kebijakan diplomasi CPO seperti pembentukan organisasi negara produsen sawit (CPOPC) bersama Malaysia dan PTA dengan Pakistan. Sehingga, negara terselamatkan dari bahaya kehilangan sumber pemasukan negara (FDI).

Artinya, dalam kondisi fluktuatif global justru dibutuhkan akselerasi perdagangan dan bukan kebijakan proteksionisme. Yang notabenenya akan mengancam keberlangsungan investasi dan performa ekonomi, berikut terisolirnya Indonesia dari perdagangan bebas dunia.

Penjagaan kedaulatan tidak hanya selalu melalui peningkatan persenjataan dan proteksionisme ekonomi. Namun, melalui anak bangsa yang disejahterakan dari sektor perdagangan bebas seperti CPO. Demi selanjutnya meneruskan pendidikan dan membanggakan Indonesia di kancah internasional. Apa jadinya apabila puluhan anak juta anak bangsa terpaksa kehilangan masa depannya. Akibat hilangnya potensi negara dan fokus produksi Indonesia untuk alokasi alutsista nasional semata.

Potensi Smart Power Indonesia

Dapat disimpulkan bahwa kedua kandidat mempunyai visi pemikiran yang saling bertolakbelakang. Jokowi memainkan kebijakan diplomasi yang disebut Soft Power, berupa pemanfaatan potensi negara untuk mengejar multilateralisme dan keterbukaan ekonomi. Terlihat dengan dibentuknya prinsip Islam Wasatiyah hingga pelaksanaan peran negara sebagai Middle Power.

Prabowo dilain sisi, menggunakan arah visi yang bersifat Hard Power. Wujudnya berupa peningkatan militerisme yang akan diperankan Indonesia secara koersif didalam diplomasi internasional. Sayangnya, militer semata dewasa ini merupakan wujud koersif atau gunboat diplomacy, yang hanya akan membuat Indonesia semakin termajinalkan dari diplomasi global.

Namun, apabila kedua visi kandidat digabungkan secara maksimal akan menghasilkan konsep yang disebut Smart Power. Didefinisikan oleh seorang pakar diplomasi Amerika yaitu Joseph Nye, sebagai sebuah pendekatan holistik dengan kombinasi keseimbangan antara akselerasi militer dan multilateralisme. Karena tidak dapat dipungkiri, militer kita sangat butuh pembaharuan untuk menghindari bentuk ancaman. Baik dari ancaman negara seperti klaim laut Tiongkok, maupun non-negara seperti pencurian ikan dan penyelundupan komoditas. Lalu, bagaimanakah dampaknya ke dunia internasional apabila konsep ini diterapkan ?

Indonesia dapat mempunyai legitimasi kuat seperti penjagaan kedaulatan dari klaim Tiongkok. Juga disaat bersamaan akan tetap berpengaruh dan dipercaya oleh negara lainnya dalam penyelesaian isu internasional. Serta dipandang tinggi oleh negara Asia Tenggara lainnya sebagai pusat kontemplasi ASEAN dan jalur sentral interkonektivitas Indo-Pasifik. Namun yang pasti, tentunya kita berharap siapapun pemenang pesta demokrasi kali ini, akan membawa inovasi konsep tersebut demi pembentukan Indonesia yang maju, sejahtera, dan tetap dihormati negara lain.

joewilliam
joewilliam
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, penggemar studi politik keamanan dan regionalisme ASEAN.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.