Hajatan besar bagi bangsa ini sudah kita lewati bersama, yakni pemilihan presiden (pilpres) 2019. Padahal pada pemilihan umum (pemilu) 2019 ini bukan hanya ajang untuk menentukan presiden dan wakil presiden semata.
Akan tetapi, seolah-olah kita hanya sedang menyaksikan pilpres. Padahal sebenarnya kita juga menentukan siapa calon wakil rakyat kita yang duduk di bangku DPR RI, DPRD Daerah Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD RI.
Faktanya sebagian besar energi kita tercurahkan penuh pada pilpres, apapun itu pokoknya tentang siapa presiden dan wakil presiden kita periode 2019-2024. Hal ini tentu sangat wajar, sebab sistem pemerintah kita ini sangat unik. Dimana presiden kita itu ya kepala negara juga kepala pemerintahan.
Jadi wajar kalau perhatian masyarakat Indonesia cukup teralihkan ke pilpres saja, karena ini menyangkut nasib dan hajat banyak orang. Semua hajatan kita sebagai warga negara di akomodir oleh kedua paslon dengan janji-janjinya yang manis.
Bukan berarti pemilihan legislatif (pileg) tidak penting lho, tetap sama-sama penting. Karena bagaimana pun wakil rakyat kita di DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD RI lah yang akan memperjuangkan hak-hak kita sebagai warga negara yang sudah semestinya dijamin oleh undang-undang.
Jadi tidak bisa dikatakan mana yang penting dan mana yang tidak, karena semuanya sama-sama penting demi terselenggaranya pemerintahan yang adil dan berdaulat untuk rakyat.
Pemilu serentak ini ternyata menuai pro dan kontra. Sebab Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama kalinya dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada pemilu 2014 masih sebatas wacana dan hanya sekadar wacana tanpa realisasi nyata, karena ditentang oleh MK.
Akhirnya di tahun ini pemilu serentak bisa dilaksanakan dengan tujuan agar efektif dan efisien dari segi waktu maupun biaya. Walau praktiknya di lapang tidak bisa dihindarkan dengan berbagai kendala, bahkan membuat petugas lelah dan letih, juga sampai ada yang meninggal dunia.
Di tahun-tahun politik ini para pengguna media sosial semakin jauh dari kata beradab. Saling meluapkan amarah, menghujat, mengujar kebencian (hatespeech), menyerang, dan menulis apa saja tanpa rasa iba sedikitpun.
Bahkan yang sebelumnya berteman, bersahabat, atau sekeluarga kini menjadi bermusuhan gara-gara beda pilihan politik. Hanya gara-gara beda pilihan, hanya gara-gara ajang 5 tahunan kita bermusuhan. Sedangkan pertemanan, persahabatan, dan hubungan keluarga yang telah terjalin bertahun-tahun lamanya kandas begitu saja.
Kenapa bisa terjadi polarisasi (pecah) di tengah masyarakat? Karena isu-isu SARA yang menyebar dan mewabah di tengah masyarakat. Boleh jadi ada unsur kesengajaan oknum tertentu yang ingin memecah belah masyarakat kita agar gaduh.
Ditambah gejala atau fenomena post-truth (pasca kebenaran) yang sedang mewabah di Indonesia. Dimana masyarakat hanya mencari informasi yang sesuai dengan kepentingan golongannya semata. Asal itu sesuai hatinya dianggap benar, meskipun itu salah.
Anehnya akademisi sekelas profesor, dosen, atau bahkan mahasiswa dengan segala idealismenya turut larut di dalamnya. Bahkan mereka tidak sungkan-sungkan untuk menyatakan keberpihakannya, walaupun tidak secara terang-terangan mendukung kubu manapun.
Tak jarang kata-kata serampangan, atau bahasa yang menyudutkan orang yang berseberangan pilihan politiknya dengan mudah berselancar di media sosial. Hal ini mudah kita jumpai di akun facebook, twitter atau instagram mereka.
Tidak semua kalangan akademisi seperti itu, masih banyak mereka yang memainkan peran semestinya yakni memberikan edukasi, mencerdaskan pikiran masyarakat dan mencerahkan hati.
Selain itu juga meluruskan berbagai pemberitaan atau informasi yang bohong dan tidak benar. Tak hanya akademisi, budayawan seperti Cak Nun dengan Kiai Kanjengnya juga turut meredam panasnya gejolak pilpres di akar rumput dengan maiyahan. Kehadiran tokoh-tokoh yang bersifat netral ini sangat diperlukan, sehingga polarisasi yang terjadi di masyarakat tidak semakin parah.
Para ahli atau tokoh yang memiliki banyak pengaruh tanpa keberpihakan politik sangat dinantikan, agar pendapat atau apapun yang disampaikan di dengar oleh masyarakat luas. Bukan malah informasi atau berita hoaks yang dijadikan rujukan namun isinya sangat provokatif dan menyesatkan.
Jangan sampai fenomena The Death of Expertise (Matinya Kepakaran) di Amerika seperti yang dikemukakan Tom Nichols dalam bukunya terjadi di Indonesia secara masif. Belakangan fenomena ini menggejala di Indonesia, semua orang mendadak menjadi politisi, pakar politik, dan ulama. Namun mereka yang benar-benar pakar politik atau ulama justru malah tidak didengarkan suaranya, tak lain karena dianggap beda pilihan politik, tidak sesuai kepentingannya atau netral.
MK kini sudah memutuskan hasil sidang perkara pilpres. Dugaan adanya kecurangan TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) di pilpres sudah dilayangkan ke MK oleh kubu Prabowo melalui jalur hukum.
Kendati semua yang diajukan oleh pemohon (kubu Prabowo) ditolak oleh MK karena alat bukti yang diajukan tidak cukup untuk membuktikan terjadinya kecurangan. Artinya, pasangan 01 sah menjadi pemenang pilpres 2019 dan berhak menjabat untuk periode 2019-2024. Bahkan KPU RI sudah menetapkan pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai calon terpilih.
Tugas kita selanjutnya sebagai rakyat Indonesia adalah menerima keputusan MK dengan berjiwa besar, kita terima Pak Jokowi sebagai Presiden dan Pak Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden yang sah. Kita kawal bersama janji-janji manisnya, itu tugas kita sekarang. Jikalau nanti ada janji-janji yang tidak ditunaikan, atau kebijakan yang dibuat tidak pro rakyat mari kita kawal bersama.
Mari kita sudahi kebencian, hujatan, tuduhan, dan setiap kata yang serampangan di media sosial yang sudah kita lakukan setahun lebih lamanya. Rekatkan kembali persaudaraan antar anak bangsa, kita kuatkan kembali kesatuan dan persatuan NKRI. Tidak ada lagi 01 atau 02, yang ada sekarang adalah 03, yaitu Persatuan Indonesia.
Ah gara-gara membahas pilpres kita jadi ketinggalan. Padahal anak-anak bangsa di luar sana sedang membicarakan, berinovasi, dan berkreasi seputar Internet of Things (IoT), Big Data, percetakan 3D, Artifical Intelligence (AI), kendaraan tanpa pengemudi, rekayasa genetika, robot dan mesin pintar. Sedangkan kita masih ribut terus perkara pilpres setahun lebih. Mereka sudah menghasilkan banyak produk canggih, kita sudah menghasilkan apa?
Bahkan bangsa lain sudah mewacanakan Revolusi Industri 5.0, sedangkan kita Revolusi Industri 4.0 saja masih banyak belajar. Kapan majunya negara kita? Pilpres 2019 usai, Ayo Move On! Jangan terjebak pada pusaran politik semata, kita bagi-bagi peran untuk memajukan negara kita sesuai dengan profesi kita masing-masing. Mari ambil peran, mari ambil bagian untuk Indonesia yang Berkemajuan. Kita optimis pasti bisa!