Senin, Oktober 7, 2024

Pilpres 2019: Geliat Oligarki dalam Pesta Demokrasi

M. Nur Fitriansyah
M. Nur Fitriansyah
Penulis Lepas

Sejak 1999, Indonesia telah memulai proses elektoralnya secara lebih terbuka. Pemilihan Umum April mendatang merupakan kali kelima dalam sejarah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini merupakan kabar baik bagi gairah berdemokrasi negeri ini. Hanya saja, meskipun putaran demi putaran pemilihan tersebut telah berlangsung cukup lama, ia bukan tidak menyisakan cacat. Sebaliknya, ia justru meninggalkan banyak celah yang, sayangnya kerapkali di susupi kepentingan segelintir kelompok tertentu untuk memperkaya diri dan golongannya.

Beberapa waktu lalu, muncul fenomena tak di sangka-sangka. Jaringan Aktivis Anti Tambang (JATAM) merilis informasi terbarunya tentang pebisnis tambang yang berdiri dalam lingkaran masing-masing Capres-Cawapres. Baik pasangan Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi, keduanya dilingkari pebisnis-pebisnis tambang besar di Indonesia.

Ada banyak nama yang muncul. Di pihak Jokowi-Ma’ruf, ada orang seperti Luhut Binsar Panjaitan, Fachrur Razi, Suaidi Marasabessy, Surya Paloh, Wahyu Sakti Trenggono, Oesman Sapta Oedang, Harry Tanosoedibjo, Jusuf Kalla, dan beberapa lainnya. Sedangkan di lingkaran pasangan Prabowo-Sandi, keduanya juga adalah aktor yang masing-masingnya memiliki tambang. Selain Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), Sudirman Said, Hashim Djojohadikusumo, dan Zulkifli Hasan. Aktor-aktor ini merupakan organ kunci penyedia dana kampanye bagi kedua Pasangan Calon melalui praktek-praktek ijon politik.

Dalam khazanah perpolitikan, meminjam istilah Jeffrey Winters (2011), aktor-aktor kepentingan demikian seringkali disematkan sebagai Oligark. Sederhananya, mereka yang memiliki sumber daya kekuasaan tertentu, khususnya ekonomi. Dengan sumber daya ini, mereka (oligark) dapat dengan mudah meraih kursi dan duduk dalam jajaran struktur kekuasaan sebuah negara.

Bilapun tidak duduk secara langsung, oligark-oligark ini dapat mempengaruhi atau bahkan mengendalikan negara dan aparaturnya sebagai pemilik otoritas tertinggi suatu teritori, dari belakang layar. Upaya pemanfaatan, persekongkolan bahkan pengendalian atas negara ini, dapat dilihat sebagai cara untuk mempertahankan, melindungi, sekaligus mengakumulasi secara lebih masif untuk jumlah kekayaan yang lebih banyak.

Sebagai langkah memperlancar akumulasi kekayaan, oligark terlebih dahulu perlu mengamankan sumber-sumber penting semisal izin usaha, konsesi, akses atas bahan baku dan sumber daya-sumber daya lainnya. Akses terhadap hal ini tentunya di pegang kendali oleh negara. Artinya untuk mendapatkan hal tersebut, aktor-aktor yang menguasai negara mesti di dekati dengan berbagai jalan, baik secara formal-prosedural maupun dengan kesepakatan belakang meja. Perihal yang disebutkan terakhir, dalam kenyataanya telah menjadi rahasia umum di berbagai negara, tak terkecuali negara dunia ketiga seperti Indonesia.

Seringkali negara kerap memainkan fungsi sebagai agen untuk mempermulus langkah akumulasi kekayaan oligark/pebisnis semata. Hal ini pun ditegaskan Hamza Alavi (1972) dalam analisisnya tentang peran negara Pasca-Kolonial di Pakistan dan Bangladesh. Ia menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, negara memainkan peran fungsionalnya sebagai mediator kepentingan-kepentingan kelas pebisnis. Senada dengan argumentasi di atas, Ziemann dan Landzendorfer (1977) juga menyiratkan titik tekan yang sama.

Negara, pada waktu-waktu tertentu, merupakan instrumen strategis yang dapat dimanfaatkan sebagai perantara untuk mempermulus langkah akumulasi kekayaan segelintir orang. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan, misalnya lewat Undang-Undang, konsesi yang menguntungkan pebisnis/oligark, pemberian izin usaha dan lain sebagainya. Iklim seperti ini tentunya amat diminati oligark, termasuk salah satunya tambang.

Dengan begitu, agenda elektoral tahun ini merupakan momentum krusial bagi oligark-oligark tersebut untuk mengamankan masa depan bisnis dan kegiatan akumulasi. Setidaknya untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Dalam upaya demikian, pilihan politik tentunya adalah hal penting. Pasangan Calon yang dianggap potensial menanglah yang akhirnya dipilih sebagai tempat berlabuh. Dari situ, pertautan ekonomi-politik antara oligark dan birokrat akhirnya dibangun.

Pertautan politik ini dalam beberapa hal merupakan cara untuk menambal biaya percaturan politik tanah air yang tidak sedikit jumlahnya. Alhasil praktek-praktek ijon politik makin marak menjelang waktu pemilihan berlangsung. Pebisnis tambang menyediakan dana untuk kampanye, sebaliknya Pasangan Calon akan melindungi keamanan bisnisnya kelak ketika telah terpilih.

Ini telah menjadi kebiasaan politik yang menggurita di tanah air. Indikasi-indikasi ini, bukan tidak mungkin, justru malah sangat potensial masif terjadi dalam pesta demokrasi tahun ini. Sebagaimana terlihat pada geliat oligark-oligark tambang yang melingkari kedua Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Iklim demokrasi seperti ini sangat fatal akibatnya bagi kepentingan rakyat luas. Dengan sendirinya kesejahteraan massa rakyat terpinggirkan, direduksi menjadi kepentingan segelintir orang belaka. Alih-alih untuk rakyat, pesta demokrasi mendatang menjadi sekedar pertarungan antar elite dan oligark untuk mengokohkan cengkeram kuasa dan kepentingannya.

M. Nur Fitriansyah
M. Nur Fitriansyah
Penulis Lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.