Tidak terasa pergelaran pemilihan kepada daerah yang akan dilaksankan pada 9 Desember mendatang sebentar lagi akan dijalankan. Pilkada serentak dilaksanakan di 270 daerah di Indonesia dengan rincian 9 provinsi (untuk memilih Gubernur), 37 Kota (pemilihan Walikota) dan 224 Kabupaten (untuk memilih Bupati).
Pilkada tahun 2020 merupakan salah satu pergelaran pilkada yang mesti dicatat dalam sejarah perhelatan pesta demokrasi atau pesta rakyat di Indonesia, dikarenakan banyaknya jumlah daerah yang akan memilih kepala daerah, serta pelaksaan pilkada ini yang telah kita tahu secara bersama dilaksanakan di tengah musibah yang melanda negara Indonesia maupun negara-negara dunia yaitu covid-19.
Hal yang menjadi ciri khas dari Pilkada tahun 2020 ini adalah dengan dikeluarkannnya berbagai kebijakan baru dari KPU, khususnya berupa beberapa larang tentang teknis pelaksanaan pilkda tahun 2020 ini mulai dari tahap pendaftaran calon hingga pada pengesahan kepala daerah.
Salah satunya adalah larangan menghadirkan massa pendukung di dalam dan di luar ruangan pelakasanaan pengundian nomor urut pasangan calon. Hal lain yang dicatat dalam pelaksanaan pilkada serentak 2020 adalah segala kegiatan dituntut untuk dilaksanakan secara daring. Mulai dari kempanye virtual, debat dilaksanakan secara virtual dan banyak peraturan lainya. Adapun tujuan dari dikeluarkannya kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk mencegah terjadinya penyebaran covid-19 di TPS.
Terlepas dari adanya berbagai atauran-aturan dan pelarangan tersebut yang pasti pilkada serentak tahun 2020 harus tetap dilaksanakan sedemokratis mungkin sebagai wujud dari kedaulatan rakyat khususnya ditingkat lokal. Pilkada yang demokratis adalah hal yang sangat diharapkan untuk melahirkan pemimpin yang bekualitas dalam menahkodai daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) sehingga cita-cita kemakmuran rakyat dapat tercapai.
Lantas apa yang dimaksud Pilkada yang demokratis itu? Dalam tataran ideal, pemilu dilaksanakan untuk menciptakan pemerintah yang representatif. Represntatif dalam artian mewakili suara rakyat dan kepentingan rakyat.
Salah satu persyaratan adanya pemilu atau pilkada yang demokratis adalah kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan. Masyarakat pemilih pada semua lapisan diberi keleluasaan untuk tahu figur-figur yang mereka pilih. Tentu saja keleluasaan itu harus diperlengkapi dengan kekuasaan lain: kekuasaan menentukan pilihan (E.S. Fatah, 1998:102).
Kebebasan dalam menentukan pilihan bagi saya merupakan faktor utama kesuksesan pilkada atau pemilu pada umumnya. Mengapa demikian ? karena pemilihan umum adalah wujud nyata kedaulatan rakyat dan wujudnya kebebasnya dalam berpolitik.
Jika berbicara tentang kebebasan, maka yang berperan disini adalah suara hati rakyat itu sendiri. Praktik politik uang dalam mencari dukungan massa Yang sering ditemukan selama ini dalam dunia perpolitikan kita mulai tingkat lokal hingga tingkat nasional sudah masuk dalam kemunduran dalam berdemokrasi.
Mengapa demikian? Karena adanya usaha untuk membatasi kebebasan seseorang dalam dalam menentukan pilihan politiknya. Sehingga dalam politik seperti ini, suara hati sudah diabaikan demi kebutuhan material dan pilihan politik sudah tidak lagi menggambarkan kebebesan suara hati untuk menentukan pilihan politik.
Praktik-praktik kekerasan terhadap seseorang atau sekelompok orang juga merupakan praktik yang sebenarnya menunjukan menurunkan demokratisasi dalam pemilu atau pilkada. Meskipun praktik ini jarang ditemui namun kita tetap berhati-hati agar praktik menggunakan kekerasan oleh sekelompok golongan tertentu untuk mengikuti pilihan politik dari golongan tertentu tidak terjadi dalam pilkada tahun 2020.
Salah satu ciri Pemilu atau pilkada yang demokratis adalah panitia pemilih yang independen. Sebuah pemilu yang sehat tentu membutuhkan komite yang tidak memihak. Sebuah komite yang tidak berpresentasi untuk merekayasa hasil akhir pilkada ( E.S. Fatah, 1998:102 ).
Hal ini sangat penting untuk diperhatikan juga sehingga pilkada kita tahun 2020 tidak menjadi suatu konflik karena ditemukan adanya penyelenggara pilkada yang tidak berimbang dan tidak netral. Bagi saya, masyarakat juga mempunyai hak penuh untuk melihat secara bersama kinerja penyelenggara pilkada di daerah kita masing-masing.
yang tidak demokratis tentu akan berakibat buruk pada rakyat itu sendiri. Hal yang paling dirasakan nantinya adalah tersendatnya berbagai pembangunan daerah dan melahirkan banyak kebijakan yang berdampak buruk pada kehidupan masyarakat pada berbagao sektor. Hal seperti inilah yang menurut saya menjadi musuh kita bersama.
Bagi saya, pilkada tahun 2020 merupakan pilkada yang mesti dilakukan secara jeli. Jeli dalam memenuhi aturan teknis pelaksanaan pilkada,hingga jeli dalam melihat figur yang cocok untuk menahkodai daerah sehingga akan keluar dari keterpurukan yang terjadi selama ini khususnya selama massa pandemi covid-19.
Pilkada yang demokratis adalah pilkada yang benar-benar bersih, baik itu dari praktik gelap seperti politik uang dan transaksi lainnya, praktik kekerasan, praktik menghina pendukung dan paslon tetentu, praktik membenci lawan politik dan masih banyak prakti-praktik lainnya.
Semoga hal-hal seperti ini tidak ditemukan dalam praktik politik lokal kita pilkada kita, pilkada sehat. Biarlah rakyat yang memilih. Sehingga diharapkan bahwa pemimpin lahir murnia berasap dari tangan rakyat dan akan membawa kepentingan rakyat menuju pada kesejahteraan bersama.