Menjelang masa-masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah pada pilkada serentak yang akan dilangsungkan pada 23 September 2020 di lebih dari 270 daerah di Indonesia, geliat politik mulai memperlihatkan persaingan yang cukup dinamis dalam memperebutkan jabatan politik sebagai pemimpin daerah.
Pintu pemilu memang selalu menyajikan peluang bagi siapa pun untuk menjadi calon kandidat. Bahkan, untuk mendukung partisipasi masyarakat dan perwujudan keadilan pemilu, regulasi kepemiluan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan tanpa harus mendapat dukungan dari partai politik.
Kendati demikian, meski pemilu terlihat terbuka dan inklusif, nyatanya dalam konteks pemilu di tingkat lokal (pilkada) selalu berada dalam dominasi calon petahana (incumbent). Calon petahana yang sebelumnya menjabat sebagai kepala daerah, mencoba kembali mencari peruntungan politik dengan mengikuti kontestasi pemilu untuk periode kedua. Tentu saja, keberadaan calon petahana membuat dimensi persaingan menjadi tidak fair.
Hal tersebut tidak lepas dari berbagai previlage yang dimiliki oleh calon petahana. Pertama, dari segi popularitas, calon petahana sudah pasti lebih unggul dibandingkan dengan calon yang masih baru (new comer). Masyarakat di daerah yang sebelumnya pernah dipimpin oleh calon petahana relatif sudah mengenal.
Meskipun popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas, tetapi popularitas menjadi modal politik yang sangat penting bagi calon yang akan maju di pemilu. Pada umumnya sebelum masyarakat memilih calon kandidat tertentu sudah mengenali calon kandidat sebelumnya.
Kedua, calon petahana memiliki akses terhadap anggaran pemerintah daerah. Dengan modus bantuan dana hibah, calon petahana kerap menjadikan bantuan dana hibah untuk mendongkrak popularitas.
Menjelang masa-masa pemilu, pemerintah daerah sering memberikan bantuan kepada masyarakat seperti bantuan dana untuk perbaikan infrastruktur, pendirian rumah ibadah, dan bantuan lainnya baik dalam bentuk sumbangan uang maupun barang.
Tidak heran jika kemudian, pada masa pemilu, rencana anggaran daerah untuk kategori dana hibah pada umumnya akan membengkak. Tentu saja, tindakan tersebut masuk dalam kategori pelanggaran sebab calon petahana menggunakan anggaran daerah untuk melakukan kampanye secara terselubung yang dikemas atas nama dana hibah (sumbangan).
Baru-baru ini, salah satu Bupati di Kabupaten Serang yang juga akan kembali mencalonkan diri sebagai calon petahana memberikan dana hibah berupa bantuan pengadaan mobil ambulan sebanyak 50 unit yang dibagikan kepada desa-desa di Kebupaten Serang. Berdasarkan penelusuran di berbegai media, rencananya bupati akan kembali membagikan 50 unit mobil ambulan di tahun berikutnya. Menariknya, pada mobil ambulan tersebut terdapat gambar figur sang bupati seorang diri.
Logikanya, jika bantuan tersebut adalah murni dana hibah tanpa tujuan kampanye terselubung, seharusnya dalam gambar tersebut juga disertakan gambar figur wakil bupati yang masih menjabat. Bahkan seharusnya, tidak perlu dipasang gambar figur karena sangat kental dengan nuansa marketing figur.
Dua keuntungan tersebut mempertegas bahwa pilkada cenderung didominasi oleh petahana. Tidak heran jika partai berbondong-bondong mengusung calon petahana karena dianggap memiliki peluang kemenangan yang cukup tinggi. Elit partai sebagai aktor yang rasional tidak akan membuang banyak energi untuk mendukung calon yang kecil kemungkinan untuk menang.
Akibatnya, fenomena borong partai menjadi sebuah keniscayaan dalam perhelatan pilkada. Bahkan dalam tingkat yang lebih ekstrim, beberapa daerah justru menghasilkan calon tunggal karena nyaris semua partai politik mendukung calon petahana. Sebagai contoh, pada pilkada serentak tahun 2018 lalu, dari empat kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada di Provinsi Banten, tiga diantaranya (Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang) adalah calon tunggal.
Di lain pihak, calon kandidat yang berasal dari jalur perseorangan tidak mudah mengalahkan dominasi calon petahana. Persyaratan dukungan yang begitu kompleks bagi calon perseorangan membuat mereka sering kali harus kalah sebelum berperang. Dalam arti dinyatakan gagal untuk menjadi peserta pemilu karena tidak terpenuhinya persyaratan.
Kendati pun beberapa calon perseorangan ada yang sampai menjadi calon kandidat, presentase kemenangannya sangat minim. Meskipun pernah ada yang berhasil memenangkan pertarungan pemilu, tetapi lebih banyak yang harus menelan kekalahan.
Pada dasarnya tidak ada masalah ketika calon petahana kembali melenggang di pentas pemilu dengan harapan terpilih kembali menjadi kepala daerah untuk periode kedua. Sebab konstitusi dengan tegas memberikan hak tersebut secara sah.
Dengan prisnip keadilan dan kebebasan untuk memilih dan dipilih, semua warga negara yang memenuhi syarakat memiliki peluang yang sama untuk maju di Pilkada, termasuk calon petahana. Namun, dari pemaparan ini, penulis melihat bahwa secara empiris menunjukkan anomali. Dimana, Pilkada adalah panggung politik milik petahana.