Senin, Mei 6, 2024

Pilkada dan Politik Uang, Dampak terhadap Masyarakat Daerah

Chikal Akmalul Fauzi
Chikal Akmalul Fauzi
Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) adalah pemilihan yang dilakukan secara langsung dan dipilih oleh seluruh warga negara Indonesia, minimal sudah berusia 17 tahun. Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, serta diawasi oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten/Kota. Sebagai dari pada bentuk demokrasi di tingkat provinsi, kabupaten atau kota, tentu, pemilihan kepala daerah penting untuk di selenggarakan oleh negara Indonesia.

Namun, persoalan dan permasalahan pemilihan kepala daerah sampai saat ini adalah salah satunya politik uang. Menurut Juliansyah, politik uang adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik, kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih. Di negara Indonesia banyak sekali fenomena-fenomena politik uang di berbagai provinsi, kabupaten atau kota, baik politik uang melalui kampanye atau pun serangan fajar yang biasanya marak di kalangan masyarakat daerah.

Secara garis besar kepemiluan, politik uang termasuk kedalam pola politik transaksional, dimana ada praktek praktek mentransaksikan suara dengan barang atau jasa. Karena dalam undang-undang disebutkan yang namanya politik uang adalah seseorang dengan sengaja memberikan atau menjanjikan uang, barang atau jasa untuk mempengaruhi pemilih untuk memilih atau tidak memilih, sehingga politik uang tidak mesti sebagai alat transaksionalnya, namun bisa berupa apapun termasuk barang atau jasa.

Begitupun pelaku politik uang tidak terbatas pada peserta pemilu atau kontestan, namun siapa saja yang bertransaksi. Oleh karena itu politik uang termasuk prilaku politik yang mencederai demokrasi karena merusak orientasi pemilu yang berkualitas.

Dengan politik uang maka potensi yang bisa memenangkan pilkada adalah mereka yang memiliki banyak uang memiliki banyak jaringan, memiliki banyak akses pada wilayah-wilayah transaksional, padahal kita semua sepakat berharap bahwa pemimpin yang di hasilkan oleh mekanisme pilkada adalah pemimpin yang kaya dengan gagasan untuk membangun sebuah daerah yang lebih baik.

Kondisi politik transaksional dalam lingkup pilkada ini menggambarkan bahwa metodologi kampanye yang di tawarkan oleh peserta pemilu maupun oleh kontestan yang berkontestasi di pilkada bukanlah tawaran politik gagasan, namun lebih pada tawaran pragmatisme yang lebih dominan untuk mencapai kekuasaan.

Efek nya adalah ketika jadi kepala daerah janji-janji transaksionalisme atau praktek-praktek transaksi yang sudah dilakukan, harus di tebus dan digantikan, padahal gaji yang di dapatkan oleh seorang kepala daerah sangat kecil dibandingkan dengan biaya kampanye yang harus di keluarkan oleh para calon kepala daera, maka tidak aneh ketika prilaku-prilaku koruptif tumbuh subur di kalangan kepala daerah di seluruh Indonesia.

Dampak politik uang yang dilakukan sebagai metodologi kampanye oleh kontestan pada pilkada tidak lah sederhana bahkan berdampak buruk bagi pembangunan sebuah daerah. Beberapa dampak di masyarakat adalah:

1. Kerangka berfikir masyarakat, bahwa pilkada adalah uang. Dalam hal ini masyarakat berpandangan bahwa yang mampu berkontestasi di pilkada adalah mereka yang mempunyai banyak uang, karena harus membeli suara untuk kepentingan kemenangan pilkada.

2. Masyarakat ditumbuh kembangkan dengan tradisi serba permisif (serba boleh) melakukan berbagai macam kejahatan pemilu yang akan membuat kualitas demokrasi melalui pemilu cacat, baik secara metodologis maupun substansial.

3. Ketika yang melakukan politik uang menjadi kepala daerah, rakyat akan di tinggalkan, tidak akan menjadi hitungan atau daya tawar dalam berpartisipasi mengembangkan daerah setempat. Hal itu di sebabkan suara rakyat sudah dibeli, dengan demikian masyarakat tidak bisa menuntut apapun ketika kepala daerah tersebut tidak melaksanakan kepemimpinannya dengan baik.

4. Program pemerintah daerah tidak akan pernah optimal dilakukan karena politik uang dalam kampanye akan menumbuh suburkan prilaku koruptif dan itu sangat merugikan masyarakat.

5. Masyarakat tidak akan pernah menjadi pemilih yang cerdas dan bertanggung jawab dalam menentukan dan mengawal pemimpinnya. Hal itu di sebabkan pembodohan terhadap masyarakat melalui mekanisme politik transaksinoal.

Praktek Politik uang saat pemilihan kepala daerah menggambarkan bahwa, angin politik di berbagai provinsi, kabupaten/kota tidak lagi berada di tempat yang semestinya, karena maraknya politik uang sama saja mencederai demokrasi. Maka dari itu masyarakat harus selalu menjadi bagian dari pada pemilih yang partisipatif, agar kondisi pemilihan kepala daerah di Indonesia, dapat lebih baik dan kredibel kedepannya.

Chikal Akmalul Fauzi
Chikal Akmalul Fauzi
Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.