Kamis, Maret 28, 2024

Pilkada dan Pergulatan Idealisme

Amirul Wahid
Amirul Wahid
Freestlye Writer dan Ketua Umum Intellectual Movement Community (IMC) IAIN Jember

Invasi Covid-19 memang tak henti-hentinya memborbardir aspek kehidupan manusia secara komprehensif. Belum usai kegamangan pemerintah terkait preferensi mitigasi utama yang harus didahulukan antara keselamatan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi, kini pelaksanaan pilkada turut serta membuat pusing para elite. Di tahun politik 2020, sebagian besar daerah di Indonesia kedapatan agenda perhelatan kontestasi politik pemimpin daerah kota madya dan kabupaten setempat. Salah satu program substitusi kepala daerah untuk meneruskan tonggak kepemimpinan di tingkat lokal.

Perhelatan pilkada di masa pandemi tentunya berbeda dengan perhelatan serupa di tahun-tahun sebelumnya. Jika dahulu, pilkada merupakan pesta demokrasi yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat setelah pemilihan presiden (pilpres), dewasa ini pilkada justru menjadi isu kontroversial yang diperdebatkan pelbagai golongan masyarakat. Kedua belah pihak berseteru menyoal pelaksanaan pilkada di masa pandemi. Satu pihak mendukung dan pihak yang lain menentang untuk ditunda pelaksanaanya.

Di kubu pendukung, terdapat pemerintah yang diwakili DPR dan KPU bersikukuh untuk tetap melaksanakan pilkada serentak. Mereka mempropaganda masyarakat dengan jaminan bahwa pilkada nanti tidak akan meningkatkan jumlah pasien Covid-19. Dalihnya, pilkada yang akan dihelat serentak 9 Desember 2020 esok akan tetap memprioritaskan keselamatan jiwa masyarakat dengan melaksanakan protokol kesehatan. Toh, sejak diberlakukanya new normal masyarakat telah akrab dengan kerumunan dan protokol kesehatan. Keadaan dapat dikondisikan sesuai tata cara kehidupan yang baru.

“Kalau sudah diputuskan, laksanakan, amankan.” Begitulah ungkapan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Ia merespon keputusan Presiden Joko Widodo agar tetap melaksanakan pilkada serentak meski menuai pro-kontra di masyarakat. Senada dengan Luhut, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga menolak penundaan pilkada 270 daerah ini. Tentunya jika ditunda, maka sementara daerah akan dimpimpin oleh PLT (pelaksana tugas). Hal ini yang menurut Hasto tidak dapat dilakukan sebab pada masa kritis, daerah tidak boleh dipimpin PLT karena berkenaan dengan pengambilan keputusan yang bersifat krusial dan tidak terduga.

Berkenaan dengan itu, pilkada merupakan fase signifikan dalam manifestasi birokrat dan perpolitikan di tingkat kabupaten atau kota. Penundaan atau peniadaan pilkada tahun ini jelas akan berimplikasi negatif terhadap situasi birokrasi daerah. Sebab salah satu tujuan diadakanya pilkada adalah untuk memberikan kontribusi inovasi terbarukan supaya siklus kehidupan masyarakat daerah dapat terbenahi. Lebih-lebih dapat munculnya ide kreatif untuk segera mengentaskan masyarakat dari belenggu pandemi. Pemimpin daerah yang baru diharapkan cakap nan cerdas dalam memberikan solusi efektif dan membawa angin segar demi harmonisasi kehidupan masyarakat daerah.

Bertolak dengan anggapan pemerintah tersebut, sebagian besar masyarakat justru menolak pengadaan pilkada dan serempak menyetujui penundaan pilkada. Asumsi masyarakat, tak ada suara seharga nyawa. Mencoblos kandidat sama halnya dengan bertaruh keselamatan diri sendiri. Kepanikan masyarakat disinyalir berangkat dari data pasien Corona yang kian menggila hari demi hari. Tidak bisa dipungkiri, awamnya masyarakat akan virus yang tak kasat mata menciptakan suatu paranoid sehingga mereka ketar-ketir untuk melakukan kegiatan yang mengundang datangnya virus.

Penolakan tersebut ternyata tidak berhenti sampai di situ. Masyarakat melalui dua ormas raksasa yakni Nahdlatul Ulama’ (NU) dan Muhammadiyah menyampaikan aspirasi ketidaksetujuan mereka terhadap penyelenggaraan pilkada tahun ini. Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi, pun turut serta mengikuti jejak kedua ormas Islam tersebut. Fachrul menyebutkan bahwa penyelenggaran pilkada akan membuka klaster baru yakni klaster Pilkada 2020. Ia juga menambahkan bahwa terdapat beberapa petugas KPU yang sudah terpapar virus di beberapa daerah.

Demikian, adu argumentasi pada pelaksanaan pilkada tahun ini sangat sarat akan isu pergulatan idealisme. Baik di pihak pro maupun kontra masing-masing memiliki justifikasi yang dapat dibenarkan oleh kedua belah pihak. Keduanya sama-sama kuat karena berlandaskan persepktif logis dan realistis meski terdiferensiasi dari pengambilan sudut pandang. Lantas, jika antara masyarakat dan pemerintahnya terjadi perbedaan bahkan perseteruan paham, lalu kebijakan mana yang akan diambil?

Mengenai urgensi pilkada, setiap pihak harus memahami bahwa pelaksanaan pilkada adalah manifestasi atau perwujudan negara demokrasi sebagai sistem kenegaraan bangsa ini. Spektrum yang harus terbangun adalah bagaimana dapat terlaksana musyawarah antar masing-masing pihak sehingga dapat diambil titik terang dari konflik yang terjadi. Pemerintah tidak bisa semena-mena melaksanakan pilkada tanpa dukungan masyarakat. Sebab, masyarakat bisa saja mengancam untuk golput dalam pilkada nanti lalu berlindung dengan alasan ‘takut ketularan virus’. Selanjutnya, dapat dipastikan esensi demokrasi dalam pilkada akan senantiasa sirna.

Sementara di sisi lain, masyarakat seharusnya juga harus menyadari bahwa kehidupan normal baru telah dimulai sejak beberapa waktu yang lalu. Pemerintah telah mengizinkan dan membuka ruang interaksi publik agar mereka dapat melaksanakan aktivitas dan menggerakkan roda perekonomian rakyat. Bukan hanya sehari, bahkan setiap hari mereka berkumpul. Masyarakat tidak boleh naif dengan menafikan fenomena tersebut yang bahkan sebagian dari mereka belum mematuhi protokol kesehatan. Pertanyaanya, mengapa pilkada yang hanya sehari dan tertib protokol harus dipermasalahkan?

Masyarakat dalam hal ini bisa saja berdalih bahwa aktivitas berkerumun yang mereka lakukan tak lebih hanya sebagai upaya manusiawi menyambung hidup. Namun, bukankah berpolitik dan berdemokrasi juga termasuk upaya dalam menata kehidupan yang lebih baik? Kepekaan paradigma seperti ini harus ditumbuhkan masyarakat dalam benak mereka agar terjadi sinergitas harmoni dan kesepahaman antara pemerintah dan masyarakat itu sendiri.

Jika dinalar seperti ini, saya sependek pemahaman saya akan memilih untuk tetap melaksanakan pilkada serentak. Dengan catatan, pemerintah harus dapat memastikan pengawasan pelaksanaan pilkada agar sesuai protokol kesehatan serta bertanggung jawab terhadap keadaan terburuk yang berpotensi akan terjadi nanti. Apabila para elite telah percaya diri dapat menyelenggarakan pilkada yang bersih dan aman, maka seyogyanya kita sebagai masyarakat harus ikut andil berkontribusi berdemokrasi sesuai asas bangsa yang kita pegang bersama.

Ringkas ulasan, di masa pandemi ini kita seringkali berbeda paham dengan pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum, blunder pemerintah memang mengikis kepercayan publik terhadap kebijakan yang mereka buat. Namun sebagai warga negara yang baik, tidak seharusnya kita lantas berjalan sendiri tanpa ada mobilisasi dari pemerintah. Kita tidak boleh meninggikan egoisme diri maka yang tercipta hanyalah pertikaian, perpecahan, dan perceraian. Mari bersama bangun kesadaran berbangsa dan bernegara dengan terus mendukung langkah pemerintah sejauh dan semaksimal mungkin. Life must go on!

Amirul Wahid
Amirul Wahid
Freestlye Writer dan Ketua Umum Intellectual Movement Community (IMC) IAIN Jember
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.