Momen pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang selalu menegasi netralitas birokrasi telah meninggalkan pengalaman pahit, sudah jamak terjadi birokrasi yang dibuat untuk eksekusi kebijakan kolektif untuk rakyat justru digunakan untuk mendominasi kebijakan oleh elit tertentu. Berbagai kebijakan aneh sering muncul ketika memasuki proses Pilkada seperti munculnya anggaran dana bantuan sosial yang tiba-tiba dan berjumlah besar guna mengakomodasi kepentingan calon tertentu ataupun mutasi besar-besar, meskipun telah ada usaha pengawasan dan pelarangan akan tetapi momen buruk tersebut masih membekas, alhasil kini kita sebagai rakyat harus tetap selalu curiga. Relasi-relasi negatif seperti itu jelas berpotensi terus terulang ketika menjelang Pilkada, suhu politik daerah akan menghangat yang membuat birokrasi rentan dieksploitasi, birokrasi akan kehilangan kinerjanya yang tentu saja mendegradasi nilai-nilai publik yang seharusnya mereka sediakan. Kita pernah menghadapi 101 Pilkada pada awal tahun 2017 ini. Hasilnya tentu banyak yang mengecewakan ketika roda birokrasi berjalan tanpa nilai publik, transparansi dan akuntabilitas kabur ditambah kinerja birokrasi yang menurun. Parahnya di daerah fenomena ini semakin tak teramati, semua sibuk mengamankan kepentingan untuk Pilkada. Bahkan seringkali para anggota kelompok masyarakat banyak ditarik untuk menjadi tim sukses yang akibatnya titik kritis publik akan mampet, rakyat kecil dapat mengalami periode yang lebih buruk. Padahal tahun 2018 mendatang kita akan kembali menghadapi 171 Pilkada serentak, ongkos pasti yang terhitung sangat mahal ketika melibatkan anggaran Negara akan tetapi biaya sosial yang dihadapi rakyat jauh lebih merugikan.
Moore dan Khagram (2004) menunjukkan bahwa birokrasi melalui berbagai lembaganya harus mampu memberikan kontribusi kepada publik dalam bentuk nilai publik. Nilai ini tidak hanya soal efektivitas dan efisiensi seperti sektor privat akan tetapi juga secara sosial oleh karena itu dalam manajemen strategis menciptakan nilai publik lebih sulit dilakukan oleh sektor publik daripada privat. Sektor publik harus menciptakan nilai publik yang terkadang saling berbenturan seperti saat ini ketika efektivitas pembangunan harus berbenturan dengan keadilan sosial masyarakat terdampak. Hal ini sering terabaikan, bagaimana tidak fakta bahwa seluruh isu-isu penting selalu dijelaskan secara politik tanpa ada penjelasan bahwa mengelola negara itu sulit dan kebijakan publik tidak dapat memuaskan semua pihak. Hal tersebut juga membuktikan bahwa birokrasi yang menciptakan nilai publik yang tepat ternyata tidak dianggap penting oleh masyarakat, sekaligus menepikan hak-hak mereka sendiri seperti ketika mereka sudah membayar pajak akan tetapi tetap mendapati kemacetan jalan raya, ataupun sudah membayar tagihan asuransi BPJS akan tetapi tidak mendapati jaminan kualitas pelayanan kesehatan yang optimal. Itu pun nilai publik yang diciptakan secara strategis oleh birokrasi daerah cenderung masih pada tataran administratif seperti mengejar predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK ataupun menerbitkan laporan akuntabilitas kinera instansi pemerintah (LAKIP) bernilai A dari KEMENDAGRI padahal nilai publik harus lebih dari itu hingga menyentuh bagaimana nilai tersebut diciptakan tentu dengan partisipasi publik, bagaimana mendapatkan legitimasi baik publik maupun politik serta operasionaliasi dalam mencapai nilai tersebut baik secara inovatif ataupun inklusif. Jauh tertinggal memang dan itu akan semakin parah dalam proses Pilkada yang seharusnya menjadi proses yang menguntungkan masyarakat.
Salah satu bentuk nilai publik yang paling sederhana adalah performa birokrasi, payahnya kinerja birokrasi akan cenderung menurun menjelang proses pemilihan, apapun bantahan dari para birokrat hal tersebut tak akan dapat disangkal. Kasus DKI Jakarta dapat menjadi contoh beberapa dimensi aktif birokrasi jauh-jauh hari masih berkinerja responsif akan tetapi menjelang masa kampanye hingga pemilihan akan terasa penurunannya. Seperti rilis Kompas (22/12/2016) menggunakan sumber dari Qlue yang menyatakan empat bulan terakhir tingkat kepuasan pengguna aplikasi pelaporan warga itu terus turun. Pelapor menilai penyelesaian cenderung seadanya bahkan hingga kini ketika memasuki masa pergantian pimpinan daerah. Kasus DKI harus menjadi pembelajaran bagaimana tidak kita sudah memasuki masa-masa genting menurunnya kinerja birokrasi dalam akumulasi nasional. Implikasi pada individu aparatur sipil negara (ASN) daerah dengan intensnya suhu politik daerah adalah pertama, ASN akan bekerja secara santai pada lingkungan yang lebih soft akibat fokus para pejabat politik dan publik yang terbelah, dan kedua, ASN akan terlibat dalam agenda tersembunyi untuk mendukung pasangan calon tertentu, meskipun sudah dilarang akan tetapi interest para pejabat publik yang hendak mengamankan jabatan akan memperlihatkan alokasi mereka untuk dukungan dengan berbagai alasan, misalkan mendukung diluar jam kerja, mendukung sebagai pribadi, mendukung secara moral, mendukung kerabat dan lain lain yang tentu cukup sulit untuk diawasi perbedaannya oleh komisi ASN. Ketiga, ada peluang perubahan kebijakan mikro akan tetapi penting ketika calon incumbent harus tergantikan sementara waktu sebab pola keputusan berubah dan iklim organisasi akan berubah pula yang berimplikasi serius.
Para pejabat publik seharusnya fokus pada upaya mempertahankan dan tetap menciptakan nilai publik tanpa harus memandang kondisi politik daerah sebab itu sudah menjadi tugas mereka apalagi fondasi dasar ASN kita adalah minim intervensi politik. Publik di daerah harus tidak mempercayai statement prasejarah ketika birokrat berkata pada masa Pilkada “kami bekerja seperti biasanya” atau “kami bekerja sesuai aturan”. Jika biasanya saja tidak jelas maka ketika suasana lebih lunak maka tentu performa semakin anjlok, jika sesuai aturan saja maka pukulan telak kepada publik bahwa kerja para birokrat milik mereka tak inovatif. Publik harus tetap kritis pada hak-hak mereka dan tak terbuai rayuan politis sesaat ketika hak mereka yang sebenarnya justru tengah hilang. Ketika nilai ini semakin meredup oleh kepentingan politik maka rakyat perlu semakin cemas sebab kerusakan pada nilai jangka panjang ini akan merugikan publik salah satu akibat pasti adalah korupsi. Pilkada harus menjadi momen yang memberikan harapan baru yang cerah dan bukan sebaliknya seperti menginjak nilai publik demi kepentingan elit.