Ada 270 daerah akan menyelenggarakan pilkada serentak pada 23 September mendatang. Salah satunya daerah kelahiran saya, Sumenep. Genderang perang mulai ditabuh dan terompet pertempuran mulai ditiup, sebagai pertanda bahwa, perang politik akan segera dimulai.
Para kontestan sudah bersiap-siap turun ke gelanggang pertempuran, memoles dirinya dengan gincu dan beragam bedak harum semerbak. Janji-janji politik kian ramai dipublikasikan melalui spanduk, baliho dan media-media sosial untuk mendapatkan simpati publik. Dan yang tak kalah spektakulernya, gambar-gambar para kontestan bertebaran di pinggir-pinggir jalan dengan senyum manisnya bak iklan sabun mandi.
Mereka juga mulai rajin mengunjungi rakyat jelata yang sudah lama berjibaku dengan kemiskinan dan kemelaratan. Mereka tebar senyum dan janji manis perubahan, seraya berharap mereka akan terbuai denga bualan-bualan politiknya. Padahal selama berpuluh-puluh tahun mereka berkelai sendirian dengan kemiskinan yang menjeratnya. Nyaris tak ada elite politik yang sudi menanyai akan melarat yang menjeratnya itu.
Sungguh malang nasib rakyat kita!
Hajatan politik atau yang lebih masyhur disebut pesta demokrasi ini merupakan satu instrumen menuju perubahan suatu daerah yang lebih baik. Ada banyak harapan digantungkan di atas langit-langit pilkada. Persoalan kesenjangan sosial dan ekonomi adalah salah satu bagian terpenting dari sekian persolan yang harus dientaskan. Karena hal itu adalah momok paling menakutkan bagi rakyat kita.
Pilkada harus benar-benar menjadi pesta demokrasi, yang berarti pesta rakyat. Segala kerian-gembiraan harus dirasakan oleh rakyat. Segala manfaat harus kembali pada rakyat karena demokrasi sejatinya “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat,” bukan untuk yang lain. Bukan untuk para elite politik, birokrat, dan apalagi korporat.
Rakyat tidak boleh hanya dijadikan tunggangan politik, yang apabila kepentingan politiknya tercapai, maka tunggangan itu akan dihempaskan entah ke mana. Atau tidak boleh hanya dipandang sebagai komoditas politik, yang bebas diperjual-belikan sesuai kepentingan pasar politik para elite. Tidak boleh.
Meski begitu, saya tetap akan ber-khusnudzan kepada para kontestan pilkada kita hari ini bahwa, mereka adalah putra-putra terbaik daerah yang memiliki i’tikad baik membangun daerahnya, menciptakan perubahan, dan membebaskan rakyatnya dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan. Saya meyakini itu.
Mewaspadai Gerakan Investor Politik
Sebagaimana kita mafhum, bahwa ongkos politik kita amatlah mahal. Harus ada banyak dana yang digelontorkan demi suksesnya ia merebut kursi kekuasaan. Ada dana kampanye, dana tim sukses, dana atribut dan dana-dana tak terduga lainnya. Alhasil, tidak lah cukup mengandalkan kecerdasan, popularitas, dan elektabilitas. Dana yang memadai menjadi nomor wahid di alam gebyar dan artifisial ini. Yang beruang berpeluang lebih besar ketimbang yang cekak.
Permasalahan pilkada kita menjadi pelik memang ketika dikaitkan dengan ongkos politik. Dan di sini lah peran investor politik menjadi urgen. Alfan Alfian lebih suka menyebut investor politik ini dengan bosisme politik (political bossism).
Dalam bukunya “Demokrasi Pilihlah Aku: Warna-Warni Politik Kita” (2013), Alfan Alfian mengartikan bosisme politik sebagai sebuah sistem politik yang menempatkan sosok tunggal dengan kekuatan penuh mengontrol jalannya politik. Dengan kekuatan modal dan dan jejaring yang kuat di segala lini serta dengan tekhnik kecanggihan tertentu, si bos bisa mendiktekan kemauan politiknya kepada kontestan.
Investor politik akan menginvestasikan uangnya untuk memenangkan salah satu pasangan kontestan pilkada. Anekdot “tidak ada yang gratis di dalam politik” menjadi berlaku di sini.Yang namanya investasi, maka ia harus menguntungkan, baik secara politik maupun ekonomi.
Kebijakan-kebijakan politiknya harus berpihak pada kepentingan sang investor, bukan pada rakyat. Juga kekayaan alamnya akan dengan mudah dijarahnya melalui regulasi yang dibuat untuk kepentingan ekonominya. Politik balas budi itu benar-benar ada dalam konstelasi perpolitikan kita.Jika begini, maka jangan berharap akan lahir perubahan, kesenjanagan sosial-ekonomi akan segera teratasi, infrastruktur akan merata dari kota hingga ke pelosok desa, dan rakyat rakyat di akar rumput akan dipikirkan. Karena rakyat tak lebih hanya dipandang sebagai komuditas politik.
Pemilih Cerdas
Istilah pemilih cerdas acapkali kita dengar setiap perhelatan pesta demokrasi. Ia begitu akrab di telinga kita. Karena di tangan pemilih cedas lah nasib rakyat selama lima tahun digantungkan. Pemilih cerdas adalah pemilih yang berani memilih pemimpin sesuai hati nuraninya, memilih pemimpin yang menguntungkan rakyat banyak.
Menjadi pemilih cerdas tidak lah amat mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Tidak. Ada banyak godaan untk menjadi pemilih cerdas itu, di antaranya adalah pragmatisme. Di mana keuntungan materi yang besrsifat sangat pribadi lebih didahulukan ketimbang keuntungan yang ideal dan bersifat sosial. Pragmatisme adalah virus berbahaya yang menjangkiti sebagian besar pemilih kita selama ini, sehingga tidak melahirkan pemimpin yang visioner dan merakyat.
Kita mafhum bahwa, rakyat kita butuh materi, butuh uang tetapi bukan berarti halal menukar idealisme kita dengan uang atau pun materi-materi yang lain. Nasib rakyat masih jauh lebih penting dari sekedar uang seupil itu. Idealismemu lah yang akan menghantarkan bangsa ini pada masa keemasannya. Jika ingin perubahan hindarilah politik uang!