Tahun 2024 merupakan kala lima tahunan pemilihan umum (pemilu) dilakukan. 14 Februari kemarin, pemilihan presiden (pilpres) telah dilaksanakan. Selain pilpres, mesti ada pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan setelahnya.
Pilkada tahun 2024 akan dilaksanakan serentak tepat pada tanggal 27 November. Agenda ini merupakan momentum krusial bagi tiap-tiap rakyat di daerah. Terlebih, ke-krusialan itu juga bakal berdampak terhadap nasional jika terjadi ketidaktepatan dalam memilih. Karenanya, langkah bijak pemilih sangat diperlukan di sini.
Pemilih di tahun ini didominasi oleh kalangan generasi muda. Generasi yang kerap disebut Gen Z dan Milenial. Sesuai yang dikatakan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) August Mellaz, persentase pemilih pemuda tahun ini sebesar 55%. Angka ini cukup memainkan peranan penting bagi generasi muda dalam memilih pemimpin yang tepat. Harapannya, kasus pemilihan pada pemilu 2024 kemarin tidak terulang kembali.
Kasus tersebut adalah alasan pemilih muda memilih salah satu calon Presiden karena gemoy. Tentunya, reason tersebut tidak tepat dibawakan ketika memilih pemimpin yang akan memimpin Indonesia 5 tahun ke depan.Alasan yang emosional itu tidak akan melahirkan pemilihan yang logis dan kritis.
Sejatinya, dalam memilih pemimpin, apalagi pemimpin negara, mesti menggunakan alasan yang substansial. Dengan cara menelisik visi misi, gagasan maupun program kerjanya. Maka ketika sudah melakukan itu, niscaya Indonesia akan terhindar dari hal-hal yang menyengsarakan rakyat. Terlebih, agar terwujudnya cita-cita Indonesia emas 2045 yang selama ini digaung-gaungkan oleh berbagai kalangan.
Cita-cita ini hanya dapat terwujud jika pemilih pemimpinnya menggunakan pemikiran yang kritis dan logis. Hal ini dapat direalisasikan menggunakan metode pemikiran filsafat. Filsafat mengajarkan pemikirnya untuk berpikir secara radikal. Radikal berasal dari bahasa latin dengan kata “radix”, yang berarti mengakar. Sehingga, orang yang belajar filsafat mesti melihat sesuatu dengan mendasar. Mendasar di sini jika direlevansikan dengan pilkada, yaitu pemilih ketika sudah mempunyai pemikiran filsafat akan memilih pemimpin berdasarkan substansinya. Bukan berdasarkan emosional semata.
Tidak hanya itu, filsafat juga mengajarkan seseorang untuk berpikir secara skeptis. Skeptis adalah keraguan seseorang terhadap suatu hal. Metode skeptis ini ditekankan pada pemikir filsafat agar mendapatkan kebenaran yang hakiki. Kebenaran yang didapatkan merupakan hasil dari analisis yang mengakar.
Dampak dari tuntutan filsafat itu, menganalisis sesuatu hal sudah menjadi “makanan” sehari-hari bagi seorang pemikir filsafat. Maka, suatu hal yang wajar ketika pemikir filsafat memutuskan suatu pilihan ataupun bertindak dengan bijak. Hal ini sesuai dengan asal kata filsafat, yaitu philosophy (versi Inggris), yang berasal dari kata philo yaitu cinta dan sophia adalah kebijaksanaan. Sehingga, filsafat sendiri berarti cinta akan kebijaksanaan. Karenanya, tidak heran lagi jika pemikir filsafat kerap bertindak dan bercakap dengan bijak.
Argumen yang ditulis penulis ini tentang filsafat bukan hanya “omon-omon” belaka. Penulis merupakan mahasiswa dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pengalaman dalam belajar filsafat membawa dampak yang signifikan pada metode pemikiran penulis.
Dahulu, sebelum mengenal filsafat, penulis dalam memutuskan suatu hal hanya berlandaskan kemauan emosi semata. Tanpa mengandalkan pemikiran yang rasional dan sistematis. Hal ini berdampak pada hasil keputusan atau tindakan yang penulis terapkan. Seringkali hasil yang penulis terapkan jauh dari kata benar. Alih-alih benar, justru membuat penulis terjerumus ke “jurang” kesalahan terus menerus, tanpa adanya perbaikan.
Namun, setelah belajar filsafat, penulis dapat memperbaiki kekeliruan tersebut. Penulis kini dalam bertindak, membuat keputusan dan bercakap sudah jauh dari kata keliru. Hal ini penulis dapatkan dari filsafat itu sendiri, yaitu mengajarkan untuk menganalisa sebelum bertindak dan berpikir secara sistematis, logis maupun komprehensif. Contohnya ketika penulis memimpin suatu organisasi. Terkadang, pemikiran ataupun kepentingan para anggota bermacam-macam.
Karenanya, di situ penulis sebagai pemimpin dituntut untuk menganalisa situasi dan pemikiran atau kepentingan tiap anggota, untuk menemukan jalan tengah. Ketika sudah menemukan jalan tengah, maka sudah sepantasnya penulis di kala itu dinyatakan bersikap secara bijak. Sebab, memenuhi kedua pemikiran atau kepentingan tanpa ada salah satu merasa ditinggalkan.
Oleh karena itu, rakyat Indonesia, khususnya generasi muda sudah semestinya mulai melengketkan metode filsafat dalam pemikirannya. Agar, dalam memutuskan suatu pilihan, termasuk memilih pemimpin dapat lebih bijak. Menggunakan alasan yang jelas, tidak sekedar emosional. Mengingat, tidak lama lagi pilkada 2024 akan dilaksanakan. Masih ada waktu kurang lebih satu bulan untuk mengenal filsafat. Mari belajar filsafat, demi terwujudnya Indonesia Emas 2045 yang selama ini rakyat Indonesia citakan.