Sabtu, April 20, 2024

Pilkada 2018: Waspadai Politik Uang

Ikhbal gusri
Ikhbal gusri
Analis Perkara Peradilan di Mahkamah Agung

Pesta demokrasi lokal untuk ketiga kalinya akan digelar serentak pada Juni 2018. Sejak tahun 2015, sedikitnya 367 daerah telah menggelar kontestasi politik ini yang terdiri dari 269 daerah pada tahun 2015 dan 101 daerah pada tahun 2017. Pada tahun ini, dipastikan 171 daerah akan menggelar pilkada serentak pada juni mendatang.

Joseph Schumpeter, seorang ahli politik dalam buku Capitalism, Socialism, and Democracy menyatakan bahwa demokrasi merupakan mekanisme untuk mengisi jabatan politik melalui kompetisi untuk merebut dukungan rakyat.

Dalam kompetisi inilah, elite politik yang bersaing tak jarang mengambil jalan pintas dengan melakukan politik uang. Demi kemenangan, prilaku koruptif ini terus dilakukan. Motif dan caranya pun kian bervariasi, seiring dengan ketatnya regulasi. Lalu bagaimana dengan Pilkada serentak yang akan digelar pada Juni mendatang?

Pilkada dan Kedaulatan Rakyat

Secara Bahasa, kedaulatan merupakan terjemahan dari sovereignity (Bahasa inggris), souverainete (Bahasa Prancis), superanus (Bahasa latin) yang berarti supremasi atau di atas dan menguasai segala-galanya (F Isjwara, 1966).

Sedangkan secara etimologi, kedaulatan berarti superioritas belaka, namun dalam konteks negara, superioritas memiliki arti khusus yaitu superioritas yang mengisyaratkan adanya kekuasaan untuk membuat hukum (C.F. Strong, 2004). Sehingga kedaulatan rakyat berarti rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi  di negara ini. Adanya pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian, pasal 18 ayat (4) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Bentuk pemilihan yang demokratis ini diwujudkan dengan adanya Pilkada yang dilegitimasi melalui UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).

Pemilihan yang dilakukan secara langsung dalam Pilkada merupakan wujud dari demokrasi representatif. Sebagai konstituen (pemilih), rakyat merupakan subjek yang paling penting, dimana rakyatlah yang menentukan siapa yang berhak menang dan siapa yang kalah.

Dengan harapan perubahan yang lebih baik, yang dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat, maka idealnya pemimpin yang dipilih harus mempunyai kompetensi dan intergritas yang baik. Hal ini menjadi penting, mengingat kompetensi sebagai kemampuan untuk membawa perubahan yang lebih baik bagi daerahnya.

Sedangkan integritas bermakna kejujuran dan etika moral yang baik dari pemimpin tersebut, mengingat saat ini, masih banyak kepala daerah yang korupsi dikarenakan tidak memiliki integritas.

Oleh karena itu Pilkada tidak bisa dimaknai sebagai proses pemungutan suara semata, sebagai wujud formalitas demokrasi. Namun lebih lebih jauh, ada harapan besar dari rakyat agar kepala daerah yang terpilih dapat membawa perubahan yang lebih baik.

Potret Politik Uang dalam Pilkada

Melihat pada praktek penyelenggaraan pilkada pada tahun sebelumnya, hingga hari ini, politik uang tampaknya masih menjadi musuh utama demokrasi. Bagaimana tidak, sepanjang tahun 2015 Bawaslu mencatat terdapat 311 kasus. Pada tahun 2017 justru lebih buruk lagi, Bawaslu menemukan 600 dugaan politik uang (Kompas.com, 14 Februari 2017).

Bahkan, awal tahun ini, meskipun helatan Pilkada 2018 belum dimulai KPK telah menerima laporan adanya indikasi politik uang (Liputan6.com, 9 Januari 2018).  Suburnya prilaku koruptif ini juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat yang masih permisif. Hal ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan oleh pengamat politik Teguh Yuwono, ,sebanyak 70 persen pemilih mengharapkan adanya politik uang (Tempo.co, 19 September 2016).

Praktik politik uang yang kian menjamur merupakan salah satu penyebab mahalnya “ongkos” yang harus dikeluarkan oleh para calon dalam kontes demokrasi ini. Hasil kajian Litbang Kemendagri menunjukkan bahwa untuk menjadi walikota/bupati membutuhkan biaya 20 – 30 miliar. Sementara itu, untuk menjadi gubernur, biayanya lebih mahal lagi, bahkan mencapai 100 miliar (Tirto.id, 7 Oktober 2016).

Sehingga dengan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, kepala daerah yang terpilih tak jarang melakukan korupsi dikemudian hari. Data yang dilansir KPK menunjukkan, sejak tahun 2004 hingga tahun 2017 sebanyak 87 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi (acch.kpk.go.id, 30 November 2017).

Praktik politik uang di bangsa ini memang mengerikan. Maka tak salah, jika seorang pakar politik dari University of California, Gary Jacobson pernah menyatakan “Money is not sufficient, but it is necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do have impact on election results and campaign cannot be run without it” ( Fahmi Bado & Lucky Djani, 2010). Sehingga cita-cita demokrasi yang diharapkan pun belum bisa diwujudkan sepenuhnya karena implementasi sistem demokrasi yang belum matang.

Terhadap pelaku pelaku politik uang, UU yang berlaku saat ini sudah memberikan sanksi yang tegas. Pasal 187A UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota memberikan pidana penjara terhadap pelaku paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Selain itu, pelaku juga dikenakan pidana denda yaitu sebanyak 200 juta – 1 miliar rupiah. Kemudian pada pasal 187B, terhadap anggota partai politik yang menerima imbalan juga dikenakan pidana penjara yang sama dengan denda 300 juta – 1 miliar rupiah.

Meskipun pemungutan suara dalam Pilkada Serentak tahun ini tinggal beberapa bulan lagi. Namun, tahapan penyeleggaraan Pilkada sudah dimulai sejak saat ini. Sebagai pemilih, suara yang kita berikan akan sangat menentukan arah dan perkembangan daerah dalam lima tahun mendatang. Oleh karena itu sudah seharusnya kita menjadi pemilih cerdas. Memilih pemimpin yang berkompetensi dan berintegritas.

Ikhbal gusri
Ikhbal gusri
Analis Perkara Peradilan di Mahkamah Agung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.