Jumat, April 19, 2024

Piala Dunia 2018: Berkurangnya Kuasa Dominasi Berkat VAR

mutia rizal
mutia rizal
Seorang mahasiswa ilmu sosial dan politik, sekaligus professional writer pada www.birokratmenulis.org

Menarik jika kita mencermati tulisan yang  berjudul “Kuasa VAR di Piala Dunia”, yang ditulis oleh Fajar Junaedi. Tulisan tersebut dimuat oleh Kedaulatan Rakyat di kolom opini pada tanggal 25 Juni 2018. Tulisan tersebut menyoroti keberadaan Video Assistant Referee (VAR) sebagai pesona baru dalam dunia sepak bola.

Dikatakan bahwa dengan adanya VAR pada perhelatan piala dunia 2018 kali ini, keputusan wasit yang kontroversial dapat tereliminasi. Selain itu para pemain tidak bisa lagi bermain-main dengan aturan pertandingan. Para pesepakbola terdisiplinkan dalam normalisasi pertandingan sepakbola dengan keberadaan VAR.

Menyinggung pendisiplinan dan normalisasi kuasa, penulis tersebut menghubungkannya dengan sebuah mekanisme pengawasan berupa panopticon. Penulis mengatakan bahwa VAR dapat disamakan dengan panopticon yang mampu mendisiplinkan para pesepakbola untuk kemudian tidak melakukan tindakan yang melanggar aturan.

Panopticon sebagai mekanisme pengawasan efisien dipopulerkan oleh Michel Foucault (1926-1984) merujuk pada sebuah arsitektur penjara yang dibuat oleh Jeremy Bentham di akhir abad 18. Arsitektur berupa menara pengawas di tengah penjara yang mampu mengawasi seluruh narapidana. Panopticon disebut sebagai pengawasan diskontinyu dengan efek kontinyu. Pengawasan oleh petugas di menara tidak diketahui pasti oleh narapidana (diskontinyu), tetapi para narapidana merasa dirinya selalu diawasi (kontinyu).

VAR bukanlah Panopticon

Apakah VAR lalu dapat disamakan dengan mekanisme panopticon? Saya tidak melihatnya demikian. Ada 3 macam argumen mangapa VAR bukanlah sebuah mekanisme pengawasan berupa panopticon.

Pertama, berkebalikan dengan panopticon, pengawasan VAR justru dilakukan secara kontinyu dengan efek yang diskontinyu. Para pesepakbola di lapangan tahu pasti bahwa VAR akan merekam segala tindakannya dari berbagai sudut di sepanjang permainan (kontinyu).

Namun, para pesepakbola tersebut tidak merasa dirinya diawasi alias tidak terlalu memerdulikannya (diskontinyu). Pelanggaran demi pelanggaran tetap saja terjadi. Kartu kuning dan kartu merah tetap saja keluar dari kantong wasit. Terlalu banyak “residivis” dalam sebuah mekanisme pengawasan menandakan bahwa subjek tidak merasa diawasi secara kontinyu.

Adapun data yang menyebutkan bahwa kartu merah dikeluarkan oleh wasit pada piala dunia kali ini baru pada laga ke 11, yang dibandingkan dengan piala dunia 1986 dan 1990 dimana wasit mengeluarkan kartu merah pada laga pertama, tidak serta merta berarti pemain bertindak di lapangan karena adanya kehadiran VAR.

Bisa jadi justru karena pada piala dunia 1986 dan 1990 VAR belum  hadir, maka wasit memutuskan untuk memberikan kartu merah karena tidak memiliki alat bantu yang akurat. Sebagai catatan, pada piala dunia 1994 sampai dengan 2014, rata-rata kartu merah dikeluarkan wasit pertama kali pada laga ke 10.

Kedua, VAR bukanlah mekanisme pendisiplinan yang sering dicontohkan oleh Foucault dalam panopticon. Pendisiplinan atau yang disebut oleh Foucault sebagai disciplinary power, adalah sebuah jenis kuasa yang yang dijalankan untuk mendisiplinkan tubuh dan membuatnya menjadi tubuh yang patuh dan berguna bukan dengan cara represif. Kekuasaan model ini pada intinya berusaha menciptakan situasi di mana tubuh individu dapat menginternalisasikan penundukan dan menjadikannya seolah sebagai suatu keadaan yang normal.

VAR yang membantu wasit untuk mengambil keputusan atas tindakan pemain, sering memiliki efek berupa hukuman karena adanya sebuah pelanggaran. Cara represif yang ditampakkan secara nyata sebagai akibat langsung dari adanya penyimpangan bukanlah ciri dari sebuah disciplinary power.

Pendisiplinan tubuh dalam dunia sepak bola lebih pada observasi pelatih sepakbola. Melalui kewenangannya, pelatih atau biasa juga disebut sebagai manajer, dapat menentukan pesepakbola mana yang akan dibawa pada tim utama, siapa menjadi starting line up, dan siapa menjadi pemain cadangan yang dinormalisasi melalui pengetahuan yang mewujud dalam sebuah strategi permainan.

Pelatih memiliki berbagai macam indikator tertentu mengenai siapa yang masuk pada kriteria pemain andalan dan pemain bukan andalan. Para pemain mendisiplinkan dirinya, alias menyerahkan dirinya untuk tunduk, dengan cara berlatih dan bermain bagus mengikuti arahan pelatih agar dapat dan tetap terpilih menjadi pemain utama.

Ketiga, jika panopticon sebagai mekanisme pendisiplinan mendukung kuasa yang bersifat dominasi, VAR justru sebaliknya, mampu mengurangi dominasi kuasa wasit atas pemain. Para pemain dan juga pelatih kini merasa lebih nyaman karena penghakiman wasit terbantu dengan teknologi yang ikut menentukan pemain melakukan kesalahan atau tidak. VAR justru mampu mencegah pemain terdiskriminasi oleh keputusan wasit.

Sebelum adanya VAR, pemain yang tidak sependapat dengan keputusan wasit tidak dapat berbuat banyak. Wasit cenderung menentukan keputusnnya berdasarkan pengamatan awal saat meniup peluit tanda pelanggaran terjadi ataupun gol tercipta. Wasit jarang sekali menunda keputusannya. Kekuasaan wasit terlihat mutlak dan sewenang-wenang. Dengan adanya VAR, distribusi kuasa menjadi semakin menyebar. Pemain yang tidak puas dengan keputusan wasit memungkinkan “dibela” oleh VAR, dan wasit lebih banyak mengambil keputusan atas ‘rujukan’ VAR.

Antonie Griezman adalah salah satu pemain yang dibela oleh VAR. Griezman mampu terlepas dari jerat diskriminasi sang wasit. Saat laga Perancis melawan Australia pada fase grup, Griezman mendapatkan perlakuan kasar dari Josh Risdon di dalam kotak penalti.  Wasit yang sebelumnya tidak melihat hal itu sebagai pelanggaran, setelah merujuk pada VAR memutuskan bahwa kejadian tersebut pantas ditindak dan Griezman mendapatkan hadiah penalti. Sebuah kelegaan yang luar biasa bagi Griezman, timnas Perancis dan segenap fansnya.

VAR Tidak Melanggengkan Kuasa Dominasi

VAR juga tidak memiliki andil dalam hirarki kuasa apalagi memegang kuasa tertinggi dalam pertandingan. Wasit pertandingan pada laga penentuan lolosnya fase grup antara Spanyol dan Maroko adalah sebuah contoh betapa VAR tidak mendominasi.

Alih-alih wasit menerima rujukan tim yang memonitor pertandingan dengan VAR, yang menyatakan bahwa Lago Aspas, pemain Spanyol pada posisi onside, wasit justru tidak mensyahkan gol karena hakim garis melambaikan bendera tanda offside. Hal itu adalah sebuah contoh bahwa kekuasaan absolut masih dimiliki oleh sang wasit. VAR hanya memberi rujukan secara visual yang dapat memengaruhi keputusan wasit.

Lebih jauh, VAR tidak membentuk sebuah relasi yang bersifat dominan, yang menjadikan subjek tersubordinasi dan tidak memiliki kapasitas individu dalam menentukan tindakannya. Dengan adanya VAR, pesepakbola tetap memiliki kapasitas indivdu dalam bermain.

Pesepakbola tersebut tetap dapat melakukan berbagai tindakan yang menurut aturan dikategorikan sebagai pelanggaran. Banyaknya tendangan penalti yang terjadi di piala dunia kali ini adalah salah satu bukti bahwa pesepakbola, terutama para pemain belakang, tetap melakukan tackling kepada penyerang yang mengancam gawangnya.

Terima kasih VAR !

mutia rizal
mutia rizal
Seorang mahasiswa ilmu sosial dan politik, sekaligus professional writer pada www.birokratmenulis.org
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.