Jumat, April 26, 2024

Petani dan Ironi Pekerja Informal Pedesaan

Muh Nawir
Muh Nawir
Mahasiswa tingkat akhir Universitas Hasanuddin

Masih teringat di memori pikiran kita peringatan Hari Tani Nasional 2019 dengan aksi besar-besaran di beberapa daerah. Aksi yang dilakukan oleh aliansi yang terdiri dari mahasiswa, petani, dan masyarakat tersebut akibat masih banyaknya ketimpangan pada sektor pertanian.

Salah satu tuntutan yang bersinggungan dengan hajat hidup petani yaitu Rancangan Undang-Undang Pertanahan. RUU Pertanahan tersebut mendapat penolakan dikarenakan justru membuat negara mengamputasi hak konstitusi agraria petani dan setiap warga negara Indonesia.

Pemerintah yang selalu menggalakkan reforma agraria lewat program unggulannya yaitu bagi-bagi sertifikat belum menjawab permasalahan tersebut. Janji pemerintahan Jokowi pun soal redistribusi lahan 9 juta hektare (ha) masih jauh dari kata dapat tercapai.

Buktinya sampai hari ini dengan terpilihnya kembali cuma janji memberikan berbagai kebijakan yang bisa menguatkan pembangunan di sektor pertanian dan kesejahteraan kaum petani. Selain itu, program yang disebutkan diatas diwujudkan dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria.

Dasar hukum ini mengatur subjek penerima lahan agraria dengan tujuan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.Namun, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), organisasi masyarakat nirlaba, Jokowi tak juga berhasil menjalankan janji Reforma Agraria.

Tidak sedikit pun. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mari bongkar  program tersebut. Bagi bagi seritifikat gratis ini hanya akan mempermudah bagi jalannya investor untuk memiliki lahan yang dianggap strategis.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada akhir 2017, sekitar 71 persen luasan lahan di Indonesia di antaranya dikuasai korporasi kehutanan. Kemudian, 16 persen selanjutnya dimiliki oleh korporasi perkebunan skala besar dan tujuh persen dalam genggaman para konglomerat.

Sisanya, kurang dari enam persen dipegang oleh petani kecil yang tersebar di seluruh Tanah Air. Dari data tersebut, cukup menggambarkan bahwa luasan untuk lahan petani semakin menurun akibatnya petani beralih profesi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan jumlah pekerja di sektor pertanian turun dari 35,9 juta orang atau sekitar 30% dari jumlah total pekerja pada tahun 2017 menjadi 35,7 juta atau sekitar 29% dari total pekerja di Indonesia pada tahun 2018. Namun penurunan proporsi petani bukanlah hal yang mengejutkan bagi negara yang ekonominya sedang bertumbuh.

Data menunjukkan bahwa proporsi pekerja sektor pertanian di Malaysia jauh lebih kecil yaitu hanya 11%. Proporsi ini bahkan di bawah 2% untuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris.

Sayangnya, tingkat kesenjangan antara desa dan kota justru meningkat. Di tahun 2018, tingkat kemiskinan di desa sekitar 13,2% sementara di kota hanya 7%. Selain itu proporsi orang miskin yang tinggal di desa adalah 60%: lebih banyak dibanding orang miskin yang tinggal di kota.

Jika dilihat dari pekerjaannya, 53% orang miskin bekerja di sektor pertanian. Artinya sebagian besar kemiskinan di desa berasal dari pekerja di sektor pertanian. Hal ini berkaitan dengan jumlah petani yang berlebih dan rendahnya produktivitas tenaga kerja.

Pekerja sektor  informal dipedesaan Yang dimaksud merupakan pekerja yang tidak dapat payung hukum atau tidak dilindungi negara. Pekerjaan yang meliputi pekerja informal ini seperti buruh tani, sawi, buruh laundri, pekerja bangunan dsb. Pekerja jenis ini tidak mendapat upah minimum, upahnya ditentukan lewat majikan tempat bekerja.

Ada berbagai macam pengupahan pada buruh tani, seperti bagi hasil dsb. Bukan hanya upah yang tak menentu, perlindungan akan hak sebagai pekerja terabaikan, hal libur, hak perlindungan pekerjaan, hak jaminan kesehatan. Ironisnya, petani yang punya lahan banyak (baca: petani kapitalis) tidak peduli nasib buruhnya melainkan terus malakukan akumulasi.

Petani buruh yang bekerja pada petani kapitalis ini hanya berupaya memenuhi kebutuhan sehari-hari atau bertahan hidup. Implikasi lain tidak terjaminnya upah pada pekerja informal didesa ini yaitu adanya urbanisasi penduduk. Perpindahan penduduk dari desa ke kota tidak lain karena bekerja didesa sebagai buruh tani tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya. Pekerja yang tidak memiliki kemamuouan secara spesifik ini kemudian terserap kedalam pekerja manufaktur (industri).

Sebagian akhirnya menetap di perkotaan jadi buruh bangunan atau pekerjaan informal lain. Bagi mereka yang tetap tinggal di desa, mereka kian menggantungkan reproduksinya dari kiriman uang sanak keluarga di perkotaan atau luar negeri.

Mereka semua menjadi bagian dari ‘surplus populasi relatif’ yang tak terserap oleh lapangan pekerjaan layak di Indonesia, terombang-ambing dalam pekerjaan rentan sekaligus menjadi alat pendisiplinan pekerja di sektor inti produktif kapital (formal) agar tidak menuntut upah lebih tinggi maupun kondisi kerja lebih baik (Habibi & Juliawan, 2018).

Kehadiran Dana Desa sekedar memberi uang untuk seluruh segmen sosio-ekonomi di desa tanpa bobot bantuan lebih bagi mereka yang paling lemah seperti Surti. Tidak jarang bahkan Dana Desa itu di korupsi oleh elite desa yang biasanya juga adalah petani kapitalis, atau dana digunakan untuk menambah kenyamanan para elite, seperti misalnya untuk membangun kantor desa yang megah.

Muh Nawir
Muh Nawir
Mahasiswa tingkat akhir Universitas Hasanuddin
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.