KBBI mendefinisikan pesta sebagai “bersuka ria dan sebagainya.” Pesta adalah momen sekaligus tempat di mana orang bersenang-senang untuk waktu tertentu, dan baru memikirkan hal-hal pendukung setelah pesta itu selesai. Tak jarang, penyesalan baru datang setelah pesta berakhir. Euphoria saat pesta berlangsung sering kali membutakan mata orang-orang di dalamnya.
Belum lagi, untuk mengadakan pesta itu dibutuhkan banyak hal. Dekorasi, sewa tempat pesta, tema pesta, harus ada uang banyak pula. Belum lagi makanan, minuman, hingga bingkisan buat suguhan para manusia yang hadir di pesta.
Bukan hal aneh kalau tuan rumah atau tuan pesta jadi gila-gilaan buat mempromosikan pestanya. Sudah keluar banyak, masa hasilnya tak gila-gilaan juga? Diagung-agungkanlah pesta itu. Katanya akan jadi meriah, akan penuh kesenangan. Padahal, boleh jadi nanti kenyataannya tak semeriah kalimat jualnya.
Yang terpenting, biasanya, euphoria pesta hanya terjadi saat pesta itu terjadi. Setelah pesta usai, meriah dan indah-indahnya belum tentu berlanjut.
Sebuah perkataan populer yang datang dari Barat mengatakan, “What happened in the club/party, stays in the party.” Yang terjadi di dalam pesta, hanya untuk saat itu saja. Yang terjadi di pesta, hanya berlaku saat pesta berlangsung. Tidak bisa dibawa ke kehidupan nyata, apalagi dimaknai sebagai suatu hal yang berarti.
Berarti, kasarnya, pesta itu bukan kenyataan, kan? Toh, segala hal di dalamnya hanya untuk satu periode tertentu. Hanya untuk sementara, bukan untuk selanjutnya, apalagi selamanya. Namun, nampaknya tidak ada manusia yang sesungguhnya mau melewatkan kebahagiaan temporal yang disuguhkan pesta.
Dulu, di awal-awal kemunculan demokrasi, para pencetus membayangkan kondisi negara atau organisasi yang berkiblat pada kepentingan rakyat. Kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk memilih menjadi komponen utama di dalamnya. Dalam pengertiannya, demokrasi mengutamakan peruntukan bagi kesejahteraan rakyat dalam menyalurkan aspirasi. Lama-lama, muncullah istilah pesta demokrasi, sebuah istilah yang “menjual” demokrasi melalui sebuah pesta.
Salah satu aplikasi demokrasi adalah rakyat bebas memilih pemimpin yang dinilainya paling layak melalui Pemilu. Di lain sisi, seluruh rakyat juga diartikan memiliki hak yang sama untuk menyalurkan aspirasi politiknya, baik melalui pilihan dalam pemilu, maupun dengan melakukan usaha untuk menjadi pemimpin negara/daerah dan politisi.
Pemilu, sebagai salurannya, menyediakan kampanye sebagai medium bagi para politisi mempromosikan dan “menjual” dirinya. Tak ada yang salah dari hal itu selama apa yang dijanjikan dilaksanakan. Sayangnya tak sedikit politisi yang mengumbar janji-janji palsu. Seperti pesta, yang indah-indah ditampilkan saat masa kampanye. Setelah terpilih, saat pesta usai, tak ada realisasinya. Yang satu senang, yang satu senang untuk sesaat saja.
Tak terhitung para penguasa dan rakyat kelas atas yang justru berusaha membungkam rakyat kelas menengah yang seharusnya mengoreksi dan mengkritisi perilaku mereka. Kecenderungan melakukan hal secara sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi sebuah praktik yang tak seharusnya terukir di negara demokratis. Padahal, tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh kelas menengah kepada kelas atas adalah wujud dialog demokratis antara masyarakat dengan pemerintah.
Tak jarang, usaha kelas atas membungkam kelas menengah itu berhasil. Tak sedikit yang justru tenggelam di dalam belenggu janji, menjadi hitam atau abu-abu ketika awalnya adalah putih.
Jangan bilang “pesta demokrasi” bila kenyataannya yang berpesta dan bersenang-senang hanyalah para penguasa. Ramai sana-sini menggembor-gemborkan keunggulannya. Janji-janji manis jadi strategi, mulai dari bisa ambil rumah gratisan, sampai janji perbaiki hidup rakyat miskin.
Bila sudah terpilih nanti lupa dengan janji yang sendiri ditulisnya. Kalau semua begitu, hanya satu pihak yang senang. Lantas, kenapa disebut pesta demokrasi kalau yang senang hanya pemerintahnya? Kalau mengacu dengan pesta demokrasi, seharusnya rakyat juga senang dan diuntungkan.
Jadi, kalau melihat realitanya sekarang, sepertinya patut kita pertanyakan manfaat dari merayakan, mempestakan demokrasi. Apanya yang mau dirayakan? Siapa yang bersenang-senang? Toh, yang diuntungkan hanya bapak-ibu yang namanya bakal dicetak buat hiasan meja-meja di Senayan.
Bila pesta demokrasi dijadikan kata ganti dari Pemilu, rasanya itu perlu terus dikaji ulang. Apakah kita sudah layak untuk berpesta, mempestakan demokrasi, ketika hukum memenjarakan orang-orang kecil yang kalah dimata hukum karena tak punya kekuasaan?