Hampir sulit membayangkan kalau demokrasi harus berjalan tanpa peranan partai politik. Partai politik telah menjadi sarana artikulasi kehendak politik (political willingness) yang sudah menyejarah sedemikian rupa dengan karakteristiknya yang berbeda-beda antara satu partai dan partai lain, dan antara suatu zaman dan zaman lain.
Memang, perkembangan politik akhir-akhir ini demikian kompleks dengan corak kekuasaan yang sama sekali berbeda dengan abad-abad sebelumnya. Hal tersebut menjadi rintangan—jika tidak mau menyebutnya sebagai hambatan—bagi partai-partai baru yang muncul dalam kehidupan politik Indonesia.
Kemunculan partai-partai baru di Indonesia seiring sejalan dengan kian terkonsolidasinya kekuasaan di satu kelompok politik saja. Konsolidasi kekuasaan politik ini tidak mencerminkan kebaruan kehidupan politik Indonesia pasca-otoritarianisme, melainkan sebuah reorganisasi kekuasaan dari kekuatan politik lama yang diinkubasi sejak Orde Baru, dan berhasil nmenyesuaikan diri dengan era demokratisasi (Robison & Hadiz: 2004). Bisa dibilang, kelompok politico-business alliance inilah yang banyak mengambil untung dari demokratisasi tersebut.
Sebagian kalangan pro-demokrasi mencoba masuk partai politik sebagai wadah artikulasi kehendak politiknya, sebagian lagi tetap berada di arena masyarakat sipil. Yang pertama ini, dengan mengadopsi strategi go-politics tidak dapat berbuat banyak, alih-alih merubah sistem dari dalam, justru terserap dalam koalisi elite prodatoris. Sedangkan kelompok yang kedua, tetap menjadi bagian subordinat dari kekuasaan negara.
Aktor-aktor pro-demokrasi, dalam konteks politik Indonesia hari ini, layaknya Sisyphus, mereka mengalami kebuntuan dalam politik. Tetapi angin pemecah nihilisme tersebut muncul tatkala sekelompok anak muda yang peduli kemudian membangun sarana artikulasi politik baru yang tujuannya mencoba mengimbangi kekuatan-kekuatan politik lama yang telah mapan.
Sarana artikulasi politik itu muncul dalam bentuk partai-partai politik. Partai-partai tersebut sebagian adalah aktor-aktor baru yang di dominasi anak muda, sebagian lagi adalah partai pecahan dari partai yang telah mapan, yang elite-elitenya mencoba peruntungan baru di luar partai lama.
Ada baiknya kita memberikan nasehat politik bagi partai-partai baru ini, agar cita-cita mulianya bisa terwujud, dan impian menjadi alternatif politik tidak berakhir dengan utopia.
Pertama, partai-partai baru harus bisa menjadi pembeda dari partai-partai mapan. Selama ini, partai-partai yang telah mapan nyaris tidak ada yang bisa muncul sebagai pembeda. Hampir semua memiliki kemiripan dalam program partai, ideologi partai, dan kasus korupsinya. Partai-partai baru harus mengambil jarak tegas yang membedakannya dengan partai lama, semisal program partai, kaderisasi, imajinasi politik, dan moral-etika politiknya.
Kedua, kader partai harus dibekali dengan kecakapan pengetahuan, terutama pengetahuan politiknya. Sudah cukuplah selama ini ruang publik dipenuhi oleh retorika kosong para politisi yang minim pengetahuan, baik itu secara koseptual maupun teoritis. Dengan memoles argumen mengatasnamakan rakyat, dustapun bisa terdengar indah ditelinga. Mereka kebanyakan mengedepankan statusnya sebagai politisi, daripada argumen rasional. Masih ingatkan, seorang politisi-menteri yang mengatakan ke publik bahwa “kalau pemerintah bilang hoax, ya hoax!”. Hal itu menggambarkan betapa politisi kita kekurangan argumentasi rasional, apalagi pengetahuan.
Ketiga, partai politik baru harus mempunyai basis massa yang nyata. Hal ini penting karena menjadi salah satu faktor sukses atau tidaknya sebuah partai. Partai politik baru harus menebarkan ‘jaring’ politiknya hingga ke pelosok-pelosok, tidak hanya di kota-kota besar saja. Salah satu faktor kegagalan partai-partai baru selama ini karena mereka terkonsentrasi di kota-kota besar, dan hanya mendapatkan dukungan dari sebagian kecil segmen masyarakat saja.
Keempat, partai-partai baru harus mampu membuat partainya sebagai partai yang inklusif, yang menampung semua segmen-segmen masyarakat. Dalam perkembangan dunia yang kian kompleks hari ini, sudah bukan zamannya lagi partai buruh berjuang dengan partai buruh, partai, partai Islam berjuang dengan partai Islam, dan seterusnya. Ini mengharuskan partai politik baru untuk menyesuaikan strategi dan agenda politiknya ke arah yang lebih inklusif dan tidak sektoral.
Kelima, partai politik baru harus mampu menjawab berbagai persoalan yang secara aktual terjadi di masyarakat. Isu-isu mengenai hak-hak sosial dan ekonomi, kesetaraan politik, keberlanjutan lingkungan, ketidakadilan gender, kebebasan berpendapat, keamanan cyber, diskriminasi ras dan etnis, afirmasi terhadap nilai-nilai keyakinan dan kebudayaan, hingga isu intoleransi keagamaan dan terorisme. Semua isu ini harus menjadi kata kunci utama bagi partai-partai baru untuk merancang program-program kepartainnya agar bisa menjawab permasalahan aktual di atas.
Keenam, partai-partai baru harus mempunyai sumber pendanaan mandiri yang dapat menghidupi mesin partainnya. Memang, masalah dana bukanlah satu-satunya indikator kesuksesan partai politik. Tetapi, mau tidak mau, kita semua tahu dan paham bahwa ongkos politik Indonesia sangatlah mahal. Pendanaan mandiri dan mencukupi ini mencegah partai-partai baru untuk terjerat dalam relasi klientelistik dengan sumber-sumber pendanaan eksternal yang berketergantungan, yang nantinya dikhawatirkan akan mendegradasi independensi partai politik baru.
Ketujuh dan yang terakhir, partai-partai politik baru harus mampu menembus persyaratan administratif yang sulit sebagaimana telah di atur dalam undang-undang. Suka atau tidak suka, perspektif legal-institusional ini sudah menjadi konsekuensi dari pengadopsian negara hukum modern, di mana semuanya di atur dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Faktor ini penting sebagai legitimasi juridis partai-partai baru, agar supaya partai bisa beroperasi di dalam kompetisi politik elektoral.
Dengan nasehat politik di atas, semoga partai-partai baru bisa merealisasikan cita-cita politiknya di tengah reorganisasi kekuasaan politik dari kekuatan-kekuatan lama yang telah mapan dan kian terkonsolidasi. Mereka harus bisa mengambil posisi penentang dari tindakan-tindakan politik yang selama ini sebernarnya adalah anti-politik. Jika mereka berhasil memenuhi nasehat di atas, bukan tidak mungkin kendala-kendala struktural maupun institusional tersebut bisa dilalui—dan cita-cita politik tidak berakhir dengan tragedi.
Referensi
Richard Robison & Vedi R. Hadiz. (2004). “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets”. London: Routledge