Selasa, April 16, 2024

Pesan untuk Calon Mahasiswa baru

Fadil Maengkom
Fadil Maengkom
Alchemist !

Sebentar lagi pendaftaran untuk masuk kuliah akan dibuka. Pada April mendatang, setiap sekolah akan menyelenggarakan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer). Para siswa pastinya akan bersorak gembira saat pengumuman kelulusan dikumandangkan.

Saat itu pasti selalu ada yang bertanya “setelah lulus, mau melanjutkan studi ke mana?” dari pertanyaan ini, ada siswa yang sudah membuat rencana. Sementara siswa yang lain masih bingung melanjutkan di mana dan mau apa.

Tercatat untuk tahun 2018 ada 2.29 juta siswa yang akan mendaftar lewat jalur SNMPTN-SBMPTN (Tirto.co.id, diakses pada 20 maret 2018). Dan ada 85 PTN yang akan ditawarkan dari total jumlah keseluruhan PTN (Perguruan Tinggi Negeri) yang ada di Indonesia.

Dengan besarnya jumlah siswa yang mendaftar dan terbatasnya kuota penerimaan, membuat persaingan untuk masuk perguruan tinggi negeri semakin ketat. Universitas, Perguruan Tinggi, Sekolah Tinggi, atau yang sering kita kenal sebagai “Kampus”. Dalam pengertianya merupakan tempat kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Secara umum, kampus kita kenal sebagai tempat untuk melanjutkan studi sesudah dari SMA atau SMK.

Yang terbayang di benak kita, pastilah kampus akan memberikan peluang yang jauh lebih besar ketika kita ingin meraih sebuah cita-cita. Apalagi, gelar sarjana dengan predikat Cum Laude. Tentunya suatu hal yang membanggakan bukan hanya secara pribadi, melainkan keluarga, juga sanak-saudara.

Orang tua mengharapkan dengan dimasukan anaknya di sebuah kampus, anaknya bisa lebih mudah untuk meraih kesuksesan, yang dibekali dengan gelar seorang sarjana. Namun sayang, hal itu hanya bayang-bayang saja di benak kita dan orang tua.

Tentu saja hal ini dapat dilihat bahwa ternyata ada 1 juta pengangguran terdidik yang bergelar Diploma dan Sarjana (BPS:2017). Mengapa bisa demikian? Dari pra mahasiswa hingga sarjana, Sebelum selebrasi wisuda dimulai kita harus melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah hingga administrasi serba susah.

Hal ini kemudian memunculkan istilah “uang administrasi” dan “uang partisipasi” di beberapa kampus. Yang sebenarnya tidak pernah diatur secara baku dari kedua istilah ini. Sehingga memiliki tafsiran yang tidak jelas bagi para mahasiswa. Dan selalu ada saja perkataan dari mereka (birokrasi kampus) “ini adalah proses sebagai mahasiswa”.

Jikalau dulunya para mahasiswa zaman orde baru bergelut dengan diktatornya penguasa. Saat ini mahasiswa harus melepaskan diri dari penjara pragmatis dunia mahasiswa. Ketika di dalam kampus berdandan seperti artis K-Drama dan diluar apatis seperti tidak melihat apa-apa.

Pungutan liar atau Pungli yang belum pernah usai, bukan hanya hari ini saja mencoreng wajah kampus. Bahkan, sering terjadi dan diketahui oleh seluruh komponen yang ada di dalam kampus.

Ditambah lagi praktek jual-beli nilai yang sering kali di tawarkan oleh para dosen membuat mahasiswa lebih memilih sisi pragmatis ketimbang harus mencari nilai akan sebuah kebenaran. Padahal kampus bertanggung jawab secara moral atas kebenaran objektif.

Lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2017 tentang rincian APBN 2018. pemerintah mengalokasikan Rp. 444,13 triliun untuk pendidikan dari total anggaran belanja senilai Rp. 2.220 triliun di 2018.

Dari dana ini, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mendapatkan Rp 40,39 triliun dari total 20 kementrian atau lembaga yang dialokasikan anggaran pendidikan.

Namun saat fakta berbicara, tiap tahun jumlah pengangguran bertitel sarjana selalu meningkat. Tercatat dari tahun 2015 sudah ada 400 ribu jumlah sarjana yang menganggur, hingga pada tahun 2017 mencapai 1 juta pengangguran dengan gelar sarjana (BPS:2017).

Upaya dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, kampus beserta komponen yang ada di dalamnya haruslah berorientasi pada nilai hidup yang bersifat aplikatif sesuai dengan konteks zaman.

Nilai yang di berikan harusnya bukan hanya apa yang tertuang dalam Kartu Hasil Studi (KHS). Tapi juga harus tercerminkan secara kepribadian mahasiswa. Karena kampus bukan hanya sekedar melahirkan seorang sarjana, tetapi juga sosok pemimpin yang bertanggung jawab atas gelar yang diperolehnya.

Pendidikan dipersiapkan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan melalui peluang kesempatan kerja yang ada. Pendidikan dipandang perlu sebagai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bukan untuk menjarah harta apalagi hak warga negara.

Pendidikan didedikasikan untuk seluruh warga negara, maju mundurnya sebuah negara bisa dilihat dari kualitas pendidikan yang dimana sebagai salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Namun, perbaikan di bidang pendidikan; mulai dari sistem penjaminan mutu atau di kenal Akreditasi hingga bantuan berupa dana dari pemerintah, belum bisa menjamin kualitas dari para sarjanawan yang ada di Indonesia.

Pemerintah melalui regulasi dalam perbaikan dan penguatan terhadap sistem pendidikan. Harus lebih banyak untuk terjun ke lapangan dalam artian pengawasan secara keseluruhan.

Apalagi masih ada saja praktek-praktek kecurangan yang bisa mencederai wajah pendidikan di Indonesia. Sangat di sayangkan kampus yang di gadang-gadangkan sebagai gudang ilmu pengetahuan menjadi tempat kerakusan para oknum yang tidak bertanggung jawab.

Selebihnya, kampus harus di maknai sebagai wadah pembentuk karakter mahasiswa yang akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini. Maka dari itu sistem pembelajaran di kampus serta kegiatan-kegiatan yang ada di dalam harus bersandar pada nilai-nilai kejujuran dan selalu mencintai pada kebenaran dan keadilan.

Fadil Maengkom
Fadil Maengkom
Alchemist !
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.