Sabtu, Oktober 12, 2024

Pesan-Pesan Politik Ahmad Syafii Maarif

Ahmad Sholikin
Ahmad Sholikin
Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif III (SKK - ASM III) dan Penulis di ahmadsholikin.web.ugm.ac.id

Dunia politik Indonesia dalam 10 tahun terakhir dihantui oleh gelombang populisme agama dan politik identitas. Populisme agama ditandai oleh adanya gerakan Aksi Bela Islam mulai jilid satu hingga tiga yang menuntut pemenjaraan Ahok karena tuduhan penistaan Agama, bahkah hingga saat ini tiap tahunnya selalu di peringati dengan reuni 212. Hal ini berlanjut pada Pilpres 2019 lalu yang memunculkan dua kandidat presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Keduanya mencoba menggunakan identitas politik keagamaan untuk menarik para pemilihnya.

Menjelang Pilkada serentak 2020 politik identitas dan populisme agama akan selalu menjadi primadona kampanye bagi para calon kepala daerah yang berkontestasi. Pilkada 2017 dan Pilpres 2019, telah memberikan gambaran yang jelas terkait bagaimana tafsir agama bisa menjadi alat untuk menyerang kubu lawan yang bersebrangan dalam kontestasi politik elektoral.

Ujaran kebencian, politisasi agama dan paham radikal menjadi sebuah alat yang sangat efektif untuk disebarkan pada umat Islam yang berjumlah mayoritas ini. Cara beragama Islam yang seharusnya menjadi sumber welas asih dan kebahagiaan bagi sesama, justru menjadi alat untuk menjustifikasi caci maki dan kebencian sesama umat manusia.

Hal ini tentu saja tidak boleh dibiarkan begitu saja berlalu dalam dunia politik kita, agenda populisme agama dan politik identitas akan berdampak negatif pada kebhinekaan dan pluralitas bangsa Indonesia.

Populisme agama dan politik identitas yang terjadi di Indonesia cenderung berpikir eksklusif dan anti pada keberagaman. Hal ini jelas akan mengancam agenda-agenda demokratisasi  yang sedang berjalan di Indonesia. Agenda-agenda demokrasi yang sedang berjalan seperti pemberantasan korupsi, penegakan HAM, transparansi dan akuntabilitas, reformasi birokrasi dan peningkatan kesejahteraan, hanya akan bisa berlangsung ketika kondisi politik indonesia bersifat inkusif dan non-deskriminatif.

Fenomena politisasi agama dan ujaran kebencian seperti yang mucul dalam Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 harus mendapatkan perhatian yang serius agar tidak terulang dalam Pilkada Serentak 2020 nanti. Harus ada tindakan pencegahan dari pemerintah dan berbagai elemen masyarakat Indonesia agar kasus-kasus politisasi agama dan meningkatnya ujaran kebencian tidak terjadi menjelang Pilkada Serentak 2020. Deteksi dini perlu dilakukan dengan berbagai cara, yang salah satunya adalah dengan tidak memproduksi perundang-undangan yang diskriminatif.

Gagasan Politik Ahmad Syafii Maarif

Dalam Buku “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita” Ahmad Syafii Maarif menulis bahwa bangsa dan negara kepulauan yang terbesar dan terluas hanya terdapat satu di dunia, yaitu Indonesia, sebuah bangsa muda yang belum berusia 100 tahun.

Jumlah pulaunya lebih dari 17.000, bahasa lokal dan etnisitas ratusan, agama pun bervariasi: Islam, Kristen/Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan masih ada kepercayaan-kepercayaan lokal yang tidak dimasukkan dalam daftar resmi pemerintah. Islam yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, dalam sistem iman secara relatif bersifat tunggal, tetapi sebagai ekspresi kultural-intelektual, paham agama, dan lebih-lebih politik, ternyata Islam itu sangat majemuk.

Fenomena serupa juga berlaku pada agama-agama lain. Di lingkungan agama Katolik yang secara teologis terlihat lebih kompak, dalam ekspresi politik umat Katolik Indonesia juga tidak tunggal, tetapi plural, apalagi umat Protestan yang terdiri dari aneka sekte. Penganut Budha pun terbentuk dalam tiga sekte, begitu juga Hindu. Inilah fakta sosiologis yang terbentang di depan kita semua. Tetapi setelah bangsa ini merdeka sejak tahun 1945, semua etnisitas dan penganut agama itu masih setia kepada Indonesia sebagai bangsanya.

Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan harus mendapatkan tempat dalam satu nafas. Sedangkan gambaran politik Indonesia saat ini menjadikan Islam sebagai doktrin pembenar atas perilaku elite politik yang tunamoral. Kondisi ini semakin diperparah dengan berbagai macam dalil agama guna menjadi pembenaran perilaku yang tunasusila.

Perpolitikan Indonesia dalam kaitannya dengan agama (khususnya Islam), memiliki potret yang buram. Akan sulit sekali membedakan antara perilaku orang yang mengaku percaya kepada wahyu dan mereka yang tidak hirau dengan agama, sekalipun slogan syari’ah diteriakkan dimana-mana.

Ahmad Syafii Maarif dalam pesan politiknya mengutip pendapat Bung Karno, setidak-tidaknya dalam teori menekankan prinsip ketuhanan yang berkeadaban atau ketuhanan yang berkebudayaan dalam arti orang beragama dengan berbudi pekerti yang luhur dan dengan sikap saling menghormati satu dengan yang lainnya (Soekarno 2004 : 27-28). Beragama dengan cara yang beradab sama halnya dengan berpolitik secara jujur, tulus dan lapang dada.

Dengan memiliki sikap yang lapang dada maka prinsip-prinsip pluralisme menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan berpolitik. Dengan kondisi ini maka klaim sebagai yang paling benar tidak akan terjadi dalam politik kebangsaan di Indonesia. Maka dari itu ujung dari segala kepentingan elite politik di Indonesia harus bermuara pada Sila ke-2 Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Mengutip kalimat Mahatma Gandhi “My nationalism is humanity” maka keindonesiaan dalam arti kebangsaan Indonesia tidak boleh beralih menjadi kebangsaan yang imperialism, lebih-lebih pada rakyatnya sendiri.

Catatan Akhir

Ahmad Syafii Maarif selalu optimis dalam memandang politik Indonesia di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Kesungguhan dan tanggung jawab inilah yang sering benar dipermainkan oleh orang yang larut dalam pragmatism politik yang tuna-moral dan tuna-visi. Sikap semacam inilah yang menjadi musuh terbesar bagi Indonesia, dulu, sekarang, dan di masa datang.

Kesalahan kita sebagai bangsa, terutama kaum elitnya, adalah kelalaian kolektif dalam memperkuat dan mempercepat proses pembentukan bangsa dan karakternya yang masih labil ini. Sebagian kita dihibur oleh mitos di atas bahwa pilar-pilar kebangsaan kita telah kukuh karena punya akar sejarah yang jauh di masa silam. Maka untuk ke depan saya setuju dengan pendapat sementara orang bahwa Indonesia memerlukan desain ulang berdasarkan fakta sejarah yang kuat, bukan atas mitologi yang menyesatkan.

Ahmad Sholikin
Ahmad Sholikin
Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif III (SKK - ASM III) dan Penulis di ahmadsholikin.web.ugm.ac.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.