Palu Ketua MK sudah diketuk. Kompetisi resmi sudah usai. Selamat saya alamatkan pada Pak Jokowi dan Kiai Ma’ruf. Arah Negeri ini 5 tahun ke depan ada dalam tangan dan kepala dan hati Bapak berdua. Sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT, saya doakan.
Begitu pula pada Pak Prabowo dan Mas Sandiaga, terima kasih. Tanpa Anda berdua, pertarungan tentu tak seru. Kompetisi tentu tak panas. Demokrasi tentu tak ditempa. Dan media-media kita tentu tak punya konten yang jelas sexy.
Tugas saya sebagai warga Negara dan umat beriman yang diajarkan sejak TKK untuk harus dengan gagah memberi apresiasi, sudah yah. Sekarang mari kita beralih ke pokok lain.
Sebagian besar dari kita tentu sudah membaca berita di berbagai media, yang ramai-ramai dibagikan. “Pesan Mahfud Md ke Prabowo: Mengabdi Tak Harus Jadi Presiden”. Elok nian. Dibagikan, lengkap dengan balutan pesan moral turunan, meski bully-anlah yang tersurat dengan lebih jelas. Sungguh netizens sok arif dengan napsu bully di atas rata-rata!
Saya temukan caption-caption itu bunyinya begini. “Setuju Prof, kasihan juga kalah. Terstruktur. Sistematis & Masif”. Atau, “Sudahlah Pak, kembali jadi Ketua Partai saja..”. Lain lagi, “Hahaha… ayo dong, legowo Pak, legowo..”
Tidak hanya ini. Mahabenar netizens dengan segala bacotannya itu juga menyasar Pak Mahfud. Mahfud disarankan untuk memeriksa kembali gagasan tentang “Pengabdian” yang dia maksudkan. Mahfud dituduh bersikap pura-pura manis agar juga dapat jatah setelah gagal dipilih jadi wakil. Atau malah, Mahfud diklaim dapat bicara apa saja intinya bayaran.
Pihak pertama jelas Cebong tulen. Pihak kedua, sudah tentu Kampret yang belum move on atau yang memang sedang haus kritik saja.
Lepas dari itu semua, saya pribadi menemukan pada kita — yah, netizens — dua sikap yang saling kontradiktif.
Pertama, kita menuntut terlalu banyak hal dari Pak Prabowo. Yah, kita: saya, Anda, dan Mahfud sendiri. Sudah kalah kedua kalinya, dituntut macam-macam pula. Apes! Kita menuntut Prabowo untuk legowo, untuk ikhlas, untuk sebaiknya tak usah maju dalam kontestasi mana pun lagi.
Kita menuntut Prabowo lewat slogan tua, “Di balik suami yang hebat, ada istri yang setia mendukung!” Kita menuntut Prabowo lewat foto Jokowi bersama keluarga intinya. Kita memaksa Prabowo lewat video Jokowi main sama cucunya. Dan lain-lain, dan lain-lain.
Mahfud juga. “Medan pengabdian sangat luas di negara kita. Untuk mengabdi kepada bangsa dan negara tidak harus menjadi presiden. Prabowo bisa memimpin koalisinya di DPR untuk mengawasi pemerintahan dan membenahi berbagai UU. Bisa juga bergabung ke eksekutif dengan mengirim kadernya di kabinet.” Bijak sekali, Prof.
Bila Prabowo tidak mau menerima pesan Anda, mau Anda katai lagi beliau tidak rendah hati, Pak Mahfud? Kalau semua paksaan kita itu, Prabowo tolak, kita mau apa? Kalau Prabowo bilang, keluarga itu urusan privat dia dan kita tidak punya hak untuk ikut campur, kita bisa apa? Cobalah sesekali, kita tempatkan diri kita sebagai Pak Prabowo. Saya tidak kuat. Anda? Kuat? Omong kosong!
Kedua, kita alpa menuntut diri kita sendiri. Kita alpa menuntut diri kita sendiri untuk legowo, sehingga tawuran di lapangan karena tim kita kalah, pasti akan terjadi lagi. Lihat saja nanti. Kita lupa menuntut diri kita sendiri untuk ikhlas, sehingga bila kerja keras kita tak berbalas, Tuhan pun kita ancam macam yang pernah Neno Warisman lakukan.
Bila karya kita tak lolos seleksi karena memang buruk, kita tak mau legowo, dan menuding panitia atau redaktur memilih orang yang itu-itu saja. Bila kita tak kunjung ketiban rejeki, tetangga yang punya mobil pun kita tuduh memelihara tuyul.
Bila kita tak pernah juara satu di kelas karena memang lebih sibuk online daripada belajar, teman alim yang jadi jawara pun kita gosipi sebagai anak emas guru. Bila jagoan kita tak lolos Pileg atau Pilgub, lawan pun kita isukan money politic, kasus-kasus pribadinya dengan semangat 45 kita gembar-gembor.
Kita memang suka menuntut orang lain untuk harus ini, harus itu, tapi gagal bahkan tak mau menuntut diri kita sendiri. Cebong yang lagi tertawa macam bos penjahat di film-film, pasti bilang, “Yah sudah, jangan tuntut macam-macam ke Pak Jokowi juga yah..”
Hak apa Anda bicara begitu? Sebagai Presiden, jelas akan selalu saya tuntut sesuai janji-janjinya. Tidak sebagai ayah atau opa.
Dan akhirnya, pesan Mahfud di atas bukan untuk Prabowo saja, tapi juga untuk kita semua. Mengabdi tak harus jadi orang nomor satu. Juga pada diri Anda sendiri yah, Pak Mahfud. Bila tak terpilih jadi menteri, slow yah Prof. Pakai cara lain untuk mengabdi. Masukan lamaran jadi dosen, atau makin mantap jadi buzzer intelektual.