Jumat, April 19, 2024

Pertarungan Ulama Sana Versus Ulama Sini

Alfarisi Thalib
Alfarisi Thalib
Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies/ Mahasiswa Doktor Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK)

Presiden Joko Widodo dalam jumpa pers di Restoran Plataran, Menteng, Kamis (09/08/2018) lalu, telah mengumumkan disepakati sebagai calon wakil presidennya adalah KH. Ma’ruf Amin. Menurut Jokowi, dipilihnya Kiyai Ma’ruf merupakan hasil kesepakan partai koalisi, dan dinilai sebagai “sosok utuh” sebagai tokoh agama yang bijaksana.

Pilihan terhadap Kiai Ma’ruf bukan tanpa alasan, ia seorang ulama karismatik dan berpengaruh di kalangan NU. Menjabat sebagai Rais ‘Am PB NU, Ketua Umum MUI, dan dengan fatwanya menjadi dalil Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI memobilisasi jutaan massa aksi.

Ketika ditanya wartawan apa yang ingin ditawarkan dengan menggandeng Kiai Ma’ruf , Jokowi menjawabnya singkat: “kami ini saling melengkapi: nasionalis religus!”, terangnya. Senada dengan Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy, mengaku pemilihan Kiai Ma’ruf juga mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat saat ini rentan terpecah belah melalui isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). “Kira-kira melambangkan religiusitas dan meredam kebencian (atas nama agama) yang muncul di media sosial,” kata Romahurmuziy.

Di hari yang sama, partai oposisi juga mengumumkan menjadi pasangan Prabowo Subianto adalah Sandiaga Salahudin Uno. Pemilihan sosok Sandi sebagai wakil Prabowo merupakan hasil keputusan partai koalisi Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Selain itu, Sandi juga merupakan pilihan alternatif dari beberapa nama yang muncul hasil ijtima’ ulama. Di samping hasil pilihan ulama, Sandi juga saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Pengumuman kedua pasangan calon ini menegangkan dan mengagetkan semua pihak. Di kubu Jokowi, nama Ma’ruf Amin di luar prediksi. Karena nama yang lebih santer terdengar adalah Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, dan Romahurmuziy. Di detik terakhir nama Ma’ruf Amin diputuskan. Dengan pertimbangan bahwa ia ulama kharismatik dan dihormati dalam ormas Islam terbesar di Indonesia, suaranya sering dijadikan rujukan oleh para ulama-ulama. Diharapkan akan mampu meraih suara kalangan umat Islam.

Keputusan telah diambil, dan kini mulai menggalang dukungan. Demikian juga dengan kubu Prabowo, munculnya nama Sandi di luar prediksi, karena yang santer di publik justru Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Anies Baswedan, Salim Segaf Al-Jufri dan Ustat Abdul Somad. Namun, baik “kubu sana” maupun “kubu sini”, dari semua pilihan-pilihan yang diputuskan, masing-masing diklaim sebagai pilihan dan representasi ulama.

Menguatnya Pengaruh Islam Politik

Pilihan politik dan alasan-alasan yang muncul dipengaruhi oleh variabel-variabel yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, salah satunya adalah menguatnya isu Islam politik, baik di kalangan masyarakat umum maupun dunia akademis secara khusus. Terutama meningkatnya kesadaran beragama yang diikuti oleh kesadaran berpolitik umat Islam.

Indikatornya adalah munculnya GNPF MUI jelang akhir tahun 2016. Mengorganisir aspirasi dan menggalang dukungan umat Islam untuk menuntut Ahok di penjara akibat pidatonya tentang Al-Maida ayat 51 yang dinilai menista agama Islam. Penggalangan ini berhasil menciptakan gelombang aksi massa Islam yang besar, dengan jutaan massa dari berbagai daerah dan komunitas yang dipimpin oleh para ulama, kiai dan habaib. Gerakan ini menyebut dirinya sebagai Aksi Bela Islam (ABI) 411 dan 212. Selain itu, kemunculan da’i sejuta ‘viewer’ seperti Ustaz Abdul Somad (UAS), Ustaz Bahtiar Natsir, dan habib-habib, yang dalam setiap ceramahnya kerap menyuarakan pentingnya umat Islam aktif berpolitik.

Hal ini selain meningkatkan kesadaran berpolitik, juga memperbesar pula jumlah pasukan (oposisi). Tiga jama’ah ini: jama’ah UAS, Habaib dan alumni ABI, memiliki kecenderungan berpihak pada pasangan Prabowo-Sandi. Secara politik mereka merupakan pemilih muslim, sebagai pemilih terbesar dalam pemilihan umum di Indonesia. Bahwa dengan persatuan mereka telah memberi buki kongkrit yang menghasilkan kemenangan telak bagi pasangan Anies-Sandi di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Akibatnya, selain pasangan Ahok-Jarot kalah, juga porsentase suara partai pendukung (yang mayoritasnya pendukung pemerintah saat ini) merosot tajam di banyak daearah pemlihan pada pilkada 2018. Ini menjadi warning dan kekhawatiran yang besar bagi pihak istana.

ABI terus dipelihara dan diorganisir dengan baik, dengan misi baru yaitu mengkampanyekan #2019GantiPresiden. Misi baru ini memicu ketegangan baru pula di masyarakat, keduanya saling menghadang dan menentang. Anehnya, baik pihak pendukung atau penentang, sama-sama punya dalil dan argumentasi, juga sama-sama didukung barisan para ulama serta habaib.

Ulama yang sana menganggap kelompok sini sebagai “bringas”, sebaliknya ulama sini menilai kelompok sana sebagai “radikal”. Dengan dalil dan ayat kedua kubu ulama “saling bertarung”. Seberapapun kuat ketegangannya, sepakat atau tidak kedua kubu sama-sama menggunakan narasi “Islam politik”. Hal itu telah menjadi tonggak kekuatan dan persatuan gerakan Islam di Indonesia.

Tetapi di sisi lain, kekuatan dan persatuan umat dan ulama tersebut bersifat oposisional terhadap pemerintah. Bagi mereka, pemerintah saat ini dinilai sangat diskriminatif terhadap Islam dan melakukan kriminalisasi terhadap ulama-ulama yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Selain itu, pemerintah Jokowi dan partai pendukungnya juga dinilai sebagai kelompok anti-Islam dan pro kebangkitan PKI. Pendek kata, pemerintah dinilai telah banyak mengingkar atas janji-janji politiknya dan gagal menciptakan kesejahteraan rakyat . ABI, pemilih Anies-Sandi, jama’ah UAS, dan pengikut #2019GantiPresiden itu telah melebur menjadi kelompok ‘oposisi’, bersamaan dengan partai-partai oposisi yaitu Gerindra, PKS, Demokrat. Elemen-elemen itu telah mengkristal menjadi semacam persekutuan, dalam rangka mendukung Prabowo-Sandi dan melawan pemerintahan Jokowi.

Pada kondisi seperti itulah cawapres kedua kubu diputuskan. Hal itu sebagai strategi untuk memenangkan Pemilu 2019. Formula yang dipandang efektif: “kubu sana” dengan didukung partai koalisi dan “ulama” sepakat mengambil ulama sebagai wakil, demikian juga “kubu sini” berdasarkan hasil ijtima ulama mengambil “santri post-Islamisme” (meminjam istilah Presiden PKS M. Sohibul Iman) sebagai wakil.

Bagi pihak Jokowi, dengan cara itu, diharapkan dapat menghilangkan ketegangan politik SARA yang menguat sejak 2014 lalu. Yang berdampak pada terpolarisasinya identitas politik masyarakat antara pendukung Jokowi dan pendukung #2019GantiPresiden atau yang lebih populer dengan istilah “Cebong vs Kampret”. Selain itu, faksinasi ini juga menciptakan isu politik baru yaitu antara Pancasila dan anti-Pancasila, Bkhineka dan anti-Bhineka, dll. Demikian juga, bagi pihak Prabowo, memilih Sandi merupakan kehendak para ulama, menjalankannya merupakan suatu amanah yang harus ditunaikan.

Namun apapun alasan kedua kubu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah format seperti itu merupakan strategi politik untuk meraih kekuasaan, bukan yang lain. Dengan tujuan itu, umat Islam sedang dikomoditi dalam berbagai slogan dan simbol politik guna memperoleh dukungan umat Islam. Dukungan umat Islam sangat penting, mengingat jumlah mereka mayoritas, tentu menjadi perhitungan khusus bagi “kubu sana” dan “kubu sini”.

Alfarisi Thalib
Alfarisi Thalib
Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies/ Mahasiswa Doktor Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.