Satu perusahaan penyedia aplikasi jasa antar mencatat jumlah pengemudinya mencapai 175.000 orang, meningkat 9.000 orang dalam tiga pekan (Kemhub, Maret 2018). Data tak resmi lain menyebut angka satu juta pengemudi total dari seluruh penyedia jasa, didominasi oleh kendaraan roda dua- popular dikenal sebagai ojek online.
Secara sederhana data tersebut menampakkan fenomena meningkatnya permintaan (demand) atas jenis transportasi tersebut dan melambungnya demand pencari kerja disi lain.
Jasa ojek motor berbasis aplikasi telepon pintar memang memudahkan mobilitas manusia. Maka kemudian menjadi sangat diminati. Bagaimana tidak, semua dijangkau segenggaman tangan. Hanya perlu sentuhan satu jari diatas layar kecil. Tak butuh waktu sepeminuman teh, cukup sepelemparan batu kemudian, abang ojek sudah nangkring manis dihadapan pemesan.
Bukan cuma mudah, tarifnya pun relatif dibawah standar yang dikenakan ojek konvensional untuk jarak yang sama. Apalagi yang diperlukan konsumen transportasi selain kemudahan, kehandalan dan tarif bersaing.
Tidak heran serbuan ojek daring-populer disebut ojol begitu massif, mungkin melampaui jenis ojek konvensional. Apalagi ragam jasa yang ditawarkan meluas, tidak sekedar jasa antar manusia dan paket. Tapi hingga jasa yang dulu tak pernah terpikirkan, bebersih rumah, pijat, perawatan kecantikan, beli tiket hingga berbelanja rupa-rupa kebutuhan. Jika begitu, masihkan kita butuh ojek non-online–sebut saja ojenol? Buat saya iya. Setidaknya untuk sejumlah alasan.
Pertama, saat tertentu, ojenol lebih bisa diandalkan. Semisal ditengah kerumunan, dimana penumpang tidak familiar dengan lokasi. Sulit menentukan titik bertemu. Sering pula tidak mudah menyepakati titik bertemu sebab rute jalan yang rumit. Butuh waktu dan usaha esktra untuk mencari lokasi penjemputan yang disepakati. Sementara dengan keberadaan ojenol yang setia di pangkalan, hanya perlu selambaian tangan untuk memanggil pemberi tumpangan.
Kedua, atas nama kemanusiaan. Keberadaan ojenol memberi akses mencari nafkah bagi pengemudi ojek yang memiliki keterbatasan. Bisa dari sisi kemampuannya untuk melek teknologi telepon pintar atau memahami sistem yang diberlakukan pemilik aplikasi. Sebagian pengemudi ojek adalah Bapak-bapak sepuh atau orang muda dengan kemampuan terbatas. Bagi kelompok ini, pilihan utama mereka mengandalkan prosedur ojek kovensional: panggil, sebut tujuan, sepakati harga, naik dan bayar setiba ditujuan.
Kelompok ojenol setia menanti dipangkalan ojek dekat kampung , halte, stasiun dan fasilitas umum lain. Saya bahkan sekali dua pernah memanfaatkan jasa abang ojek tuna rungu yang susah payah menangkap gerak bibir untuk tahu tujuan penumpang. Untuk mereka, ojenol patut diperjuangkan kehadirannya.
Ketiga, tidak semua konsumen ojek adalah pengguna telepon pintar. Mamak-mamak bersahaja, bapak-bapak tua atau penyandang disabilitas butuh ojenol. Generasi mereka jelas bukan target pasar telepon pintar. Tidak mudah juga untuk memulai memahami cara kerja telepon pintar di usia renta, atau bagi mereka yang berkebutuhan khusus.
Kelompok khusus ini selalu hadir diantara pengguna transportasi. Ojenol selalu bisa diandalkan untuk memudahkan langkah mencapai tujuan.
Perebutan pasar konsumen ojek memang semakin kompetitif. Bahkan beberapa kali terdengar cara bersaing dengan saling menutup ruang diantara keduanya. Padahal ojol dan ojenol berusaha sama kerasnya untuk bisa pulang kerumah membawa cukup hasil.
Bukankah kita percaya selain usia dan jodoh, rezeki adalah rahasia Tuhan yang ketiga dan mustahil tertukar. Untuk berbagai alasan diatas, saya bersikukuh, kita butuh ojenol. Saya meyakini sepenuhnya yang kita perlukan adalah pengaturan, bukan peniadaan. Biarkan keduanya hadir bersisian.